Kamis, 29 Agustus 2013

Bu Kamek dan Pak Lambok (Edisi KKN)



10 Juli 2013 lalu, hari pertama menginjakkan kaki di Korong Bayur, kami langsung dibawa oleh Wali Korong ke Rumah ini. Rumah dengan cat oren gelap. Rumput Jepang rapi terhampar di halaman; menunjukkan betapa pemilik rumah sangat telaten merawatnya. Memasuki ruang tamu kami disuguhi oleh sebuah sofa berwarna krem muda yang sudah tampak tua. Sementara  lemari pembatas berwarna merah kecoklatan berdiri gagah beberapa meter di depan sofa; tepat menyandar ke dinding yang membatasi ruang tamu dengan ruang lain, barangkali ruang keluarga atau mungkin dapur.  TV LG 20 inch menjadi satu-satunya pemuncak kegagahan lemari tua itu; seorang lelaki kira-kira berusia 65 tahunan tampak menikmati acara TV siang itu; sebelum akhirnya kedatangan kami  mengusiknya.
Perkenalan dan serah terima yang singkat dari Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kepada Wali Korong dan pemilik rumah menandai bahwa di sinilah kami akan menghabiskan 45 hari masa KKN ini. Beruntung, kami tak tinggal se rumah dengan teman lelaki. Aku tersenyum geli ketika mengingat bagaimana Pak Asmendri, DPL kami meminta kepada Wali Korong sebaiknya kawan kami yang lelaki tinggal di Musholla namun wali Korong tidak mengizinkan dengan alasan; urang piaman gadang cameeh. Bagaimanapun Pak Asmendri berharap, tetap tak mengalahkan cemeeh urang kampuang dalam pikiran Wali Korong. Walhasil, tiga orang anggota kelompok kami yang laki-laki mendapat tempat penginapan di rumah salah seorang warga, namanya Bu Dayang.
Baik, kita kembali pada rumah dengan cat oren gelap. Usai perkenalan dan serah terima kami langsung dipersilahkan berbenah oleh pemilik rumah dengan menempati dua kamar tidur. Barangkali mengingat kami yang banyak tidak akan muat dalam satu kamar. Ternyata, ruangan lain dibalik dinding itu adalah ruang keluarga dengan satu kamar. Ada ruangan lagi setelah itu; sebuah ruang makan besar yang juga difungsikan sebagai dapur. Di ruangan ini, terdapat dua kamar lagi. Nah, kami ditempatkan di kamar yang terletak di ruang keluarga dan satu kamar belakang.
 Rumah besar itu hanya dihuni oleh sepasang suami isteri tua, Bu Kamek dan Pak Lambok. Tinggal berdua, bukan berarti Bu Kamek dan Pak Lambok tidak memiliki anak. Mereka memiliki empat orang anak yang saat ini merantau di pulau jawa. Tiga diantaranya sudah berkeluarga.
Selama tinggal di rumah ini, banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan. Bu Kamek dan Pak Lambok merupakan pasangan yang sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Oleh karena itu, kami harus pandai-pandai  menjaga hal ini. Pernah suatu ketika aku sedang menyendok nasi dari periuk ke Magic Jar (kebetulan saat itu listrik mati sehingga kami masak nasi di kompor), tiba-tiba saja Pak Lambok menghampiriku sambil membawa sebuah piring dan berkata; ndeh kau piak, aleh jo piriang ko, lodah.
 Terang aku kaget saat itu, apalagi suara Pak Lambok yang lumayan keras. Memang, saat itu aku meletakkan saja tempat nasi Magic Jar itu di atas lantai tanpa alas, karena kupikir sebelum diletakkan kembali ke dalam Magic, periuk itu dilap terlebih dahulu. Aku menyadari bahwa sebetulnya aku yang salah.
Pak Lambok merupakan pribadi yang cepat naik darah. Kami sering secara sengaja bahkan tak sengaja mendengar beliau marah-marah pada Bu Kamek. Kadang pikiran negatifku mengatakan itu karena keberadaan kami di sini. Tapi Bu Kamek mengatakan bahwa apapun yang dikatakan Pak Lambok, jangan dimasukkan ke dalam hati, karena memang pribadi Pak Lambok yang seperti itu.
Suatu hari saat duduk dengan ibu menonton TV, barangkali untuk membuat kami betah di sini dengan kepribadian Pak Lambok yang suka marah-marah, Bu Kamek bilang; Ibu je yang tahan jo apak kau tu , kok ndak  jo ibu nyo a ndak nio ughang lai. Aku tersenyum. Lalu Ibu bilang padaku sebaiknya jangan mencari suami yang suka marah. Aku bertanya; bagaimana cara kita tahu dia pemarah atau bukan. Ibu jawab; lihat bagaimana ayahnya.  Ibu lalu bercerita tentang anak-anaknya yang jarang pulang karena tidak tahan dengan sikap Pak Lambok yang acapkali marah, bahkan hanya karena hal sepele.
Begitulah, lain Pak Lambok lain pula Bu Kamek. Mezna, demikian nama asli Bu Kamek. Wanita yang lahir pada tahun 1958 silam ini pada mulanya tidak tahu asal mula orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kamek. Barangkali memang karena dirinya yang Kamek[1], sehingga panggilan itu lekat padanya sampai hari ini. Meski sudah berusia 55 tahun, garis-garis kecantikan Bu Kamek masih kentara.
Melalui beliau, di sini kami benar-benar merasa memiliki seorang Ibu. Beliau sejatinya sosok penyayang.  Beberapa waktu lalu dua ekor induk kambing Bu Kamek beranak. Masing-masing dengan dua anak. Salah satu induk tak mau menyusui seekor anaknya, sehingga si anak kambing sangat lemah. Nah, Ibu membelikan susu SGM untuk si anak kambing. Tiga kali sehari Ibu memberi susu itu dengan menggunakan dot pada si anak kambing kecil yang malang. Perlakuan Ibu yang sangat menyayangi hewan peliharaan ini, mengingatkanku pada Amak. Aku ingat, dulu ketika kami masih punya kambing peliharaan Amak pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Ibu. Bedanya, dulu Amak menggunakan air didihan nasi. Ketika ternak sapi kami terlihat sakit Amak memberikan obat bahkan meremaskan daun kapuak dan meminumkannya pada si sapi.
Meski begitu, kami juga sering kena marah oleh Bu Kamek. Tapi kami tahu marah beliau karena ulah kami. Pun ketika Nina menangis karena dimarahi Ibu. Walau aku tak menyaksikan langsung kejadian itu, menurut cerita kawan-kawan saat itu kami kehabisan Air Galon. Lalu kebetulan di depan rumah ada penjual Galon keliling yang berbeda dengan langganan yang ditunjukkan oleh Ibu pada kami. Karena air habis, Nina lalu membeli galon itu.
Namun apa yang terjadi? Ibu marah. Nina yang notabene anak tunggal dan barangkali tidak pernah kena marah, langsung menangis. Tapi kemudian aku tahu, kenapa Ibu marah. Galon yang dibeli Nina bertarif lebih mahal dari galon yang ditunjukkan Ibu pada kami. Sejatinya, Ibu hanya ingin menunjukkan yang terbaik, kalau kami membeli galon yang murah, bukankah dapat menghemat pengeluaran?
Sama halnya ketika Ibu marah padaku ketika aku membeli serai dan daun kunyit. Ibu bilang jangan beli serai dan daun kunyit; ibu punya tanaman itu di samping rumah. Tapi aku yang merasa tidak ingin merepotkan selalu membeli dua bahan itu diantara bahan belanjaan lain sehingga ketika ibu melihatnya aku sudah bersiap untuk menerima apa yang akan terjadi.
Satu kalimat yang sering diucapkan Ibu yang menjadi pameo bagi kami; Sumbaghang e kau mah. Diucapkan dengan keras dan pengucapan kata ‘kau’ yang terdengar seperti ‘qou’; huruf o dan u diucapkan tipis sehingga seolah-olah jika diucapkan secara cepat terdengar seperti mengucapkan kata ‘ku”. Nadanya begitu khas. 
Dari sekian banyak yang kuceritakan, kebaikan kedua pasangan ini pun tak terhingga. Ingat, ketika kami ingin sayur, lalu Ibu mencarikannya. Ketika kami tak punya sambal, lalu Ibu membagi sambalnya. Pada bulan ramadhan, Ibu sering menerima orang yang manjalang dan kami selalu kecipratan rezeki. Bahkan suatu ketika aku melihat Ibu memanaskan gulai atau kalio yang kami buat.
Hari ini, Ibu membagi-bagikan jelbabnya pada kami. Cukup banyak.  Anak perempuan beliau dulunya menjual jelbab, sehingga banyak jelbab-jelbab tersebut yang bersisa dan tidak terpakai. Jelbab-jelbab itu masih bagus. Masing-masing kami (tentu hanya yang perempuan) mendapat dua buah jelbab. Bahkan ada yang tiga. Ini tentu kami anggap sebagai kenang-kenangan yang diberikan Ibu pada kami.
 Secara pribadi, aku sungguh merasa seperti di rumah sendiri saat berada di sini. Aku menganggap Bu Kamek layaknya Amak. Ketika beliau marah, akupun ingat Amak. Pernahkah kita dimarahi atau diomeli oleh Ibu kita masing-masing karena kesalahan kita? Lalu ketika jauh dari beliau, ketika kita berbuat kesalahan dan tak ada yang memarahi, bukankah kemarahan itu menjadi sesuatu yang dirindu? ***





[1] Manis, cantik

Sesuatu yang Seperti Bekas Gigitan Nyamuk (Edisi KKN)

Pertama kali menginjakkan kaki, aku sudah merasakan betapa panasnya Korong Bayur. Panas laut. Aku butuh menyesuaikan diri dengan kondisi ini, terlebih ketika mengetahui bahwa ternyata air sumur rumah Bu Kamek yang kami gunakan untuk mandi berwarna kuning kecoklatan. Hari kedua di sini, aku sudah mulai merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang seperti bekas gigitan nyamuk, menyebar hampir di seluruh badan. Itu sangat menyiksa. Aku butuh fresh care selalu di tangan.
Awalnya, kupikir ini akan hilang dalam waktu tiga atau empat hari. Tapi ternyata sudah lebih satu minggu belum juga hilang. Aku belum ingin memberitahukan kepada Amak di rumah, karena takut  Amak khawatir. Akhirnya dengan ditemani Jaini, kuputuskan untuk berobat ke bidan desa yang  berjarak 6 buah rumah dari posko.
Bidan desa tersebut mengatakan bahwa aku alergi. Ia memberikan tiga jenis obat untuk dua kali makan pada waktu berbuka dan sahur. Namun, gatal-gatal itu tetap terasa. Bahkan terasa lebih menyiksa dari sebelumnya. Aku mulai khawatir. Hari Rabu malam tanggal 25 Juli 2013, kuputuskan untuk memberitahukan ke rumah. Amak menyuruhku pulang. Aku yang sudah sangat rindu ingin pulang seperti mendapat kesempatan, karena kami boleh minta izin meninggalkan lokasi karena alasan tertentu, salah satunya sakit.
Kamis pukul tujuh pagi, aku pulang. Sendiri melewati Rajang[1] memang membuatku sedikit was-was. Aku enggan minta bantuan pada kawan-kawan untuk mengantar karena tidak ingin merepotkan melihat jarak antara Korong Bayur dengan Pasar Kampung Dalam tempat menunggu angkot ke Pasar Pariaman lumayan jauh. Memang, untuk pulang kami harus naik angkot di Pasar Kampung Dalam sampai ke Terminal Pasar Pariaman. Dari sana, naik angkot lagi ke Simpang Lapai. Di Simpang Lapai naik bus Melsy Trans dengan tujuan Bukittinggi. Nah, dari Bukittinggi baru naik bus Emkazet ke Sawahlunto. 
Sesungguhnya aku tak tahu jalan. Memang beberapa hari yang lalu kami sudah jalan-jalan ke Pantai Gondoriah yang terletak tak jauh dari Pasar Pariaman, tapi mengenai di mana letak  Simpang Lapai, aku belum tahu. Seorang tukang ojek menawarkan jasanya padaku. Setelah berpikir, aku memutuskan langsung ke Simpang Lapai dengan menggunakan Ojek. Tarif yang dimintanya lumayan murah, 10 ribu. Padahal kupikir-pikir, letak Simpang Lapai sangat jauh.
Perjalanan Pariaman-Bukittinggi-Sawahlunto cukup melelahkan. Aku sampai di rumah pukul tiga sore. Rindu itu lepas. Di rumah, Amak merebuskan-ku sedandang air dengan daun sirih dan daun kunyit. Untuk mandi, kata Amak. Sorenya, dengan diantar Etek aku berobat ke Bidan Ari. Bidan Ari merupakan Bidan yang ditempatkan di Pustu desaku. Keluargaku sering berobat ke Pustu sehingga sudah sangat kenal dengan Bidan Ari. Beliau memberiku obat makan dan obat berbentuk butir-butiran halus yang digunakan untuk mencampur air mandi yang digunakan. Butiran-butiran halus tersebut membuat air berubah warna menjadi merah. Gunanya melenyapkan bakteri.
Usai dari Bidan Ari, Etek mengajakku ke kedai untuk membeli sabun Esepso Shoap yang berwarna hijau gelap dan bedak tabur Caladdin, tapi yang ada hanya Herocyn. Pemilik kedai berseloroh, katanya; ha, siapo lho yang dek kodou ko?
Aku cemberut. Ku jawab; dag dek kodou do, Da… gatau-gatau. Tapi urang KKN di Pariaman, ndak suai udaronyo, alergi aia yo lho…
Etek dan Pemilik kedai yang biasa kami panggil Da Dodong ini tertawa.  Memang, kami sudah sangat kenal.
Esok pagi, aku kembali ke Pariaman. Satu malam di rumah, sejatinya belum cukup untuk melepaskan rindu Rencananya aku kembali hari Sabtu pagi, namun karena harus bayar uang semester dulu ke Batusangkar, kuputuskan untuk kembali hari Jum’at. Karena kembali hari Sabtu, kantor pasti tutup. Menunggu Senin, terlalu lama. ***

.



[1]Jembatan gantung (bahasa pariaman)

Mimpi Amak; Adik Tapanggang (Edisi KKN)



Kembali ke lokasi KKN bukanlah sesuatu yang dirindu. Lebaran usai, menandakan habis pula waktuku di rumah. Rencana awal, kami kembali ke lokasi KKN pada hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013. Namun, terasa enggan untuk kembali. Aku minta pendapat pada seluruh orang rumah, mereka bilang; besok (red; senin) saja kembali ke lokasi KKN. Ini sesuai dengan hatiku.
Aku ingin mengabarkan pada kawan-kawan sekelompok bahwa aku akan kembali ke lokasi hari Senin, bertepatan dengan keinginan itu tiba-tiba Yose sms; bilo baliak ka pariaman Nela? Yose merupakan Koordinator kelompok kami.
Kubalas dengan cepat; nela hari senin buliah pai dek urangtuo nyo yose. Buliah kan?
Aku tak sabar menunggu balasan sms itu. Terasa lama sekali. Maka kukirim sms itu banyak-banyak pada Yose. Entah karena smsku yang sudah terlalu banyak atau karena memang ingin membalas smsku, sebuah pesan masuk dari Yose. Tak apa, katanya. Ia juga akan kembali ke lokasi hari Senin. Alhamdulillah.
Senin pagi-pagi sekali aku berkemas. Ketika sarapan, Amak bilang bahwa ia bermimpi tentang aku. Cerita dalam mimpi itu begini; aku tinggal sendiri di rumah. Namun tiba-tiba saja muncul api yang sangat besar. Amak yang saat itu ada di luar rumah berusaha mematikan api. Amak hanya sendiri, tidak ada seorangpun yang membantu; kata Amak. Mati-matian Amak berusaha mematikan api, tapi Amak gagal. Aku tidak bisa diselamatkan. Adik mati tapanggang, Amak manangih sajadi-jadinyo, sadang manangih-nangih tu Amak tasintak; cerita Amak.
Aku tersenyum dan bilang itu mungkin karena Amak terlalu khawatir aku pergi sendiri ke Pariaman. Kebetulan Tek Anih (adik sepupu Amak dari pihak Ibu yang datang dua hari lalu dari kampung) juga duduk bersama kami, ia berusaha menafsirkan mimpi Amak. Katanya dengan logat bicara khas Bukik Sileh; tu berarti ado nan banci ka adik mah. Uni pi Amak o tu iyo Uni nan madaman api o nyoh. Tapi Amak kemudian membantah tafsiran mimpi ala Tek Anih. Menurut Amak, jika bermimpi tentang anak (baik anak kandung, anak orang lain, yang penting bermimpi tentang anak) selalu dikaitkan dengan tenang atau tidaknya padi di sawah. Tenang yang dimaksud berupa tidak ada gangguan baik hama tikus, belalang, wereng, atau kekurangan air. Entah mana yang benar dari kedua tafsir mimpi itu, yang pasti aku percaya bahwa mimpi adalah bagian dari aktifitas alam bawah sadar yang terjadi saat tidur. Barangkali tak semua mimpi memiliki makna.
Pukul delapan aku sudah naik bus Emkazet ke Bukittinggi. Tiba di Bukittinggi pukul 11 kurang. Memakan waktu sedikit lama, karena bus singgah dulu ke Canduang. Ada enam orang penumpang yang turun di Madrasah Tarbiyah Islamiah Canduang; tiga diantaranya remaja perempuan yang terlihat lebih kecil daripada Ita, sepupuku. Sementara tiga lainnya wanita dewasa. Mereka membawa banyak sekali barang bawaan. Yakinku, tiga remaja itu adalah santri baru di madrasah tersebut, sementara wanita dewasa adalah Ibu yang mengantarkan mereka. Usai mengantar ke-enam penumpang tersebut, bus langsung ke terminal.
Bukittinggi tak ramai, barangkali karena masih suasana lebaran. Aku berkeliling sebentar. Cukup letih, karena aku menenteng beras di tangan walaupun cuma tiga liter. Aku langsung menuju bus Melsy. Penumpang masih sepi; hanya ada sepasang suami isteri muda dan anaknya yang kira-kira baru berusia 6 bulan duduk di kursi depan samping sopir. Pasangan itu tampak sangat muda. Ah, sekarang orang suka sekali menikah muda.
Belum sampai setengah jam duduk, sopir bus menyuruh kami pindah ke Bus Melsy yang lebih kecil. Karena kata sang sopir, bus ini akan berangkat pukul dua. Daripada lama menunggu, penumpang dipersilahkan pindah ke bus yang lebih cepat berangkat.
Kuperhatikan, bus itu jauh lebih kecil. Kaca jendelanya tampak tertutup rapat, kecuali yang dibagian dekat pintu masuk. Penumpang tampak berdesak-desakan. Melihat kondisi yang seperti itu, aku bisa prediksi jika bersikeras naik bus yang itu, mabuk daratku pasti kambuh. Kulihat tempat duduk di samping sopirpun sudah di isi; pasangan suami isteri muda tadi ternyata juga pindah dan duduk di bangku depan.
Aku memilih kembali ke bus pertama yang kunaiki. Dan mengambil tempat di depan samping sopir. Sopir yang menyuruh pindah tadi bertanya padaku; baa ndak jadi pindah diak, oto ko lamo barangkeknyo lai ma, jam duo beko, lai ndak tagageh?
 Ku jawab; ndag baa ghai do, pak. Wak pamabuak, kalau lai di muko lai nio wak, pak. Nyo lah panuah bantuaknyo, pak. Sang sopir sepertinya maklum.
Baru pukul setengah satu.
Menunggu itu membosankan, benar. Nge-net sambil makan friedchicken yang dijajakan pedagang keliling tak ampuh menghilangkan kebosanan. Pukul dua lewat lima bus berangkat. Aku tak bisa lagi menahan kantuk. Ketika terbangun kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, tapi bus baru memasuki Padang Panjang. Macet.
Pukul  lima bus tiba di Lembah Anai. Lagi-lagi macet. Beberapa meter dari air terjun, bus tiba-tiba berhenti mendadak. Ada kerusakan pada rem, minyak remnya kurang; kata si sopir. Bus berhenti. Aku mulai khawatir, tapi kucoba yakinkan hati bahwa bus ini pasti tak kan mogok lama. Kami sebentar lagi pasti berangkat.
Beruntung, di dalam bus ada seorang teman yang juga lokasi KKN-nya di Nagari Campago, tepatnya di Kampung Tanjung. Namanya Dian. Mahasiswi Program Studi Bahasa Inggris. Aku benar-benar bersyukur. Jika sendiri, sedikit banyaknya aku pasti menitikkan airmata. Perjalanan masih jauh.
 Senja mulai turun. Bus tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik. Aku berani jamin, si sopir hanya ahli mengemudikan mobil, tidak halnya dengan memperbaiki. Aku memberi kabar ke rumah. Pun ke lokasi. Aku pasti malam sampai di lokasi. Membayangkan ini, cukup ngeri. Mengingat tak ada transportasi yang dapat digunakan pada malam hari untuk mencapai lokasi KKN yang berada di Kampung Dalam selain ojek. Naik ojek malam-malam seperti ini membuat bulu kudukku meremang. Jalan satu-satunya; dijemput. Maka aku minta tolong pada kawan-kawan yang telah berada di lokasi untuk menjemputku di Simpang Lapai.
Aku ingat mimpi Amak tadi pagi. Inikah maksud mimpi itu? Percaya atau tidak, inilah yang terjadi.  Terbakar adalah sebuah musibah, bus mogok diperjalanan juga sebuah musibah. Aktor utamanya adalah aku. Entahlah.
Sudah pukul setengah delapan. Penumpang sudah banyak berkurang. Mereka lebih memilih mencari sendiri mobil lain. Aku dan Dian juga berencana berangkat dengan bus Melsy lain, namun semua bus yang kami lihat penuh. Penumpang banyak yang tidak mendapatkan tempat duduk. Seorang Ibu paruh baya dengan tujuan Sungai Limau menguatkan kami; sopir bus akan mencarikan mobil lain. Kami bertahan, menunggu bus kembali sehat atau menunggu sang sopir mencarikan kami mobil pengganti.
Seorang penumpang yang tadi duduk di sampingku tiba-tiba mendapat tumpangan; Mobil L300 dengan sebuah sepeda motor terikat di belakangnya. Aku bertanya pada penumpang itu, bolehkah kami ikut menumpang dengannya. Ternyata boleh. Sopir bus tadi memberikan ongkos kami pada sopir mobil L300. Penumpang yang tinggal hanya delapan orang dewasa dan tiga anak-anak. Semua akhirnya ikut menumpang. Jadilah kami berangkat ke Pariaman dengan menggunakan L300. Ahamdulillah. Beruntung malam itu hujan tak turun.
Sopir L300 orang yang baik. Ia bersedia mengantar penumpang sampai ke tujuan. Berhubung lokasi KKN-ku lumayan jauh, aku dan Dian minta diantar sampai ke Simpang Toboh; Simpang terdekat mencapai Nagari Campago. Kami sampai di sana pukul 10 malam. Aku berterimakasih pada Yose dan Icha yang telah bersedia menjemputku malam itu.
Bagiku dan barangkali juga Dian; ini adalah pengalaman menarik lain yang kutemui selama masa KKN. Lagi-lagi, sebuah pengalaman yang tak akan pernah dilupakan.***

Tentang Sebuah Film; Baghban (Edisi KKN)

17/08/2013. Ini kali ketiga aku mulai menulis apa yang kurasa selama masa KKN ini; karena jadwal yang padat, tentu. Dua buah tulisan terdahulu yang kuposting di sebuah jejaring sosial sudah kuhapus. Entah, aku malu sendiri membacanya karena terkesan sangat kekanak-kanakan. Pada tulisan kali ini, aku hanya ingin menceritakan sesuatu yang melesat demikian cepat di kepala, sebab aku takut jika lesatan itu hilang dikemudian hari, lalu apa yang akan kukenang nanti?
Baik, aku ingin bercerita tentang film. Ha, film? Ini patut dipertanyakan bukan? Sebab KKN identik dengan serangkaian kegiatan terprogram yang mesti diselesaikan dalam rentang waktu yang telah ditentukan. Hehehe tentu saja. Maksudnya, kali ini aku akan berbagi pengalaman tentang sebuah film yang kutonton bersama rekan-rekan disela-sela waktu senggang; sebuah film India.
Seorang teman anggota kelompok kami adalah penggemar berat film India dan lagu India, namanya Si’u Amri Jaini dari Program Studi Pendidikan Biologi. Sosok yang biasa dipanggil Jaini ini selalu menggunakan waktu senggangnya dengan menonton film India dan memutar video dan lagu-lagu India. Sebenarnya seorang teman lagi yang bernama Icha juga menyukai film dan lagu-lagu India, tapi jika kuperhatikan Jaini lebih fanatik India dibanding Icha. Kami yang setiap hari selalu bersama-sama terpaksa harus rela memberikan telinga ini santapan pendengaran yang baik setiap mereka memutar lagu-lagu India tersebut (heheh piss, girls. But, it is the fantastic experience).
Di waktu senggang hari ini, usai memainkan Game Angry Birds di Laptop Jaini yang kupinjam, Yose pun meminjam Laptop Jaini; ia ingin nonton katanya. Aku kemudian melakukan pekerjaan lain, namun saat berjalan ke ruang keluarga kulihat Yose sedang menonton Film India. Terlihat sangat fokus sekali. Tanpa banyak tanya aku langsung bergabung. Meski sebenarnya di pikiranku tersimpan tanya, apakah Yose memang penggemar film-film India dari awal atau ia terhipnotis oleh Jaini dan Icha. Tidak lama kemudian, Icha dan Jaini pun bergabung. Icha bilang ia sudah berulang kali menonton film ini, tapi saja setiap kali menonton ia menangis. Aku semakin penasaran dengan film ini. Lupa-lupa ingat, dulu aku juga sudah menonton film dengan cerita seperti di film ini hanya saja versi Indonesia. 
Judul filmnya Baghban.
Baghban bercerita tentang keluarga Raj Maholtra (Amith Bachan) yang sangat bahagia. Kebahagiaan itu terlihat meski Raj dan istrinya Pooja (Hema Malini) sudah menikah selama 40 tahun. Pasangan ini dikaruniai 4 orang anak lelaki dengan tiga menantu dan sepasang cucu. Pada ulang tahun ke-40 perkawinan pasangan Raj-Pooja seluruh keluarga berkumpul, kecuali Alok (Salman Khan); anak angkat Raj yang berada di luar negeri. Sebuah party yang digelar atas permintaan ke-empat anak-anak Raj turut memperlihatkan kebahagiaan keluarga ini.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Seperti tak lamanya durasi party yang di-setting dalam perayaan ulang tahun ke-40 pasangan ini. Raj Maholtra pensiun dari pekerjaannya sebagai pejabat tinggi sebuah Bank (ICICI Bank). Raj kemudian mengirim surat pada ke-empat putranya. Inti surat itu mengatakan bahwa Raj sudah pensiun, ia berharap bantuan untuk masa depan dirinya dan sang isteri. Surat ditutup dengan undangan untuk perayaan Holi pasangan Raj-Pooja.
Usai perayaan Holi yang terlihat sangat meriah, keluarga ini berkumpul. Di sinilah Raj mulai merangkai kata, menyampaikan maksudnya pada ke-empat putra. Keinginan Raj tak serta merta disambut baik oleh anak dan menantunya. Mereka meminta waktu untuk berdiskusi terlebih dahulu.
Ketika anak-menantu Raj berdiskusi, sebagai penonton kita dilihatkan betapa durhakanya sang anak. Gigi bahkan gemeletuk saat ke-empat anak itu saling melempar untuk merawat orangtua yang telah membesarkan mereka. Tak ada yang mau menampung pasangan suami isteri tua yang malang itu. Waktu terus berjalan. Mereka belum bisa menyimpulkan ke rumah siapa orangtua malang itu akan dibawa. Sementara pasangan Raj-Pooja menunggu di luar dengan harap-harap cemas. Sebagai orangtua, tentu Raj-Pooja berharap ke-empat anaknya akan saling berebut menginginkan mereka untuk tinggal ditempat salah satu dari ke-empat anak-anak mereka.
Ketika diskusi usai, ke-empat anak Raj-Pooja beserta menantu menemui mereka di luar. Anak-menantu durhaka itu terlebih dahulu bermanis mulut sebelum menyampaikan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Pasangan Raj-Pooja tampak tak sabar menunggu. Tibalah saat salah seorang menantu menyampaikan kesepakatan bersama; Raj-Pooja tidak tinggal bersama, Raj akan tinggal di rumah salah seorang anak selama enam bulan begitupun halnya Pooja dalam waktu bersamaan akan tinggal di rumah anak mereka yang lain dalam rentang waktu yang sama. Ketika masa enam bulan itu habis, masing-masing mereka akan tinggal di rumah anak-anak lain. Begitu seterusnya.
Betapa terkejutnya pasangan Raj-Pooja mendengar keputusan ini. Keputusan yang keluar dari anak-anak yang telah dibesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, anak yang ia telah memberikan seluruh hidup dan hartanya untuk kebahagiaan mereka. Namun, yang didapatkannya dari sang anak, sungguh diluar dugaan.
Raj-Pooja berbincang di kamar mereka. Betapa Raj sangat tidak suka dengan keputusan anak-anaknya. Betapa Raj tidak ingin dipisahkan dengan Pooja. Ah, kisah cinta pasangan ini begitu mengharukan. Benar-benar cinta sejati. Sang istri dengan bijak mencoba menasehati Raj. Akhirnya Raj menerima keputusan anak-anak mereka, semua karena Pooja.
Keesokan harinya mereka telah berkemas, pun memanfaatkan waktu yang singkat sebelum anak-anak menjemput. Sang pemilik rumah tempat di mana Raj-Pooja menghabiskan waktu selama 40 tahun ini juga ikut bersedih atas apa yang terjadi pada pasangan ini. Adegan perpisahan ketika Pooja dibawa Sanjay dan Raj dibawa Kiran begitu menyentuh.
Setelah berpisah, hal yang sama dengan kejadian berbeda terjadi pada pasangan ini. Raj, ia diabaikan oleh anak-menantunya bahkan sejak pertama turun dari mobil yang mengantar mereka sampai ke rumah sang anak. Ia dibiarkan sendiri membawa kopernya. Betapa sang anak sama sekali tak menghargainya. Kejadian lain yang mengejutkan Raj terjadi saat Raj dengan tertatih membawa kopernya lalu ketika membuka pintu ia mendengar kata-kata sang menantu yang intinya mengatakan bahwa ia terpaksa membawa Raj tinggal di rumahnya, tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Raj karena ia sudah pensiun dan tak punya apa-apa lagi. Beruntung, ia memiliki cucu lelaki kecil yang menyayanginya.
Sementara Pooja, ia di tolak oleh cucunya yang bernama Payal untuk tinggal sekamar dengannya karena alasan privasi. Jadilah, Pooja tinggal di kamar pembantu keluarga anak-menantunya. Sang pembantu tidak senang dan berkata kasar kepada Pooja, anehnya hal itu dibiarkan oleh menantunya. Pooja sama sekali tak dianggap sebagai ibu dan mertua di rumah itu.
Pagi hari ketika hendak sarapan dengan wajah yang dibahagia-bahagiakan Raj langsung menempati tempat duduk utama meja makan itu; kebiasaan yang selalu dilakukannya. Namun apa hendak dikata ia harus berbesar hati menerima ketika sang menantu menghardiknya, bahwa tempat itu bukanlah untuknya tapi untuk si anak. Perubahan yang tak disangka bagi Raj.
Kerinduan Raj pada Pooja tak terbendung. Ia ingin minta izin pada anak-menantu untuk menggunakan telpon rumah. Tapi, mereka mengabaikannya. Bahkan sama sekali tak mendengarkan apa yang ingin diucapkannya. Maka dengan kerinduan telah menyusup ke seluruh nadinya, ia menggunakan telpon umum untuk menelpon Pooja. Pasangan ini melepas rindu melalui telpon.
Suatu pagi, ketika Raj berjalan-jalan santai. Seorang pria berlari terengah-engah dikejar anjing. Raj menolong pria itu. Berterimakash atas pertolongan Raj, laki-laki yang bernama Hemant Bhai Patel itu langsung menjadikan Raj sebagai abang. Ia memanggil Raj dengan sebutan Mota Bhai. Hemant Bhai merupakan pemilik sebuah Kafe music tak jauh dari perumahan putra Raj, Sanjay Maholtra.
Kejadian demi kejadian yang sangat menyakitkan diterima Raj dan Pooja setiap harinya. Setiap kejadian itu membuatku menitikkan air mata. Tak hanya kejadian yang menyakitkan, kekuatan cinta mereka yang begitu dalam juga tak luput membuat airmata mengalir begitu saja. Film ini benar-benar menguras airmata.
Suatu hari ketika Raj berkunjung ke kafe music Hemant Bhai -sejak perkenalan pertama pagi itu Raj telah sering berkunjung ke kafe Hemant Bhai. Hemant Bhai dan isteri bahkan beberapa pengunjung remaja yang sudah dianggap anak oleh Hemant Bhai pun tahu kisah cinta Raj dan Pooja- seorang gadis menyarankan pada Raj untuk menuliskan kisah cintanya dengan Pooja.
Saran ini ternyata tak disia-siakan Raj. Ia mulai menulis. Menulis menggunakan mesin tik tua membuat sang menantu merasa gaduh dan tak dapat tidur, lagi-lagi Raj dimarahi. Nah, di Music Café Hemant Bhai inilah Raj menghabiskan waktunya dengan menulis. Menulis kisah hidupnya. Hemant Bhai dan isteri merupakan pasangan yang sangat baik. Mereka menganggap Raj seperti saudara sendiri. padahal mereka tak saling mengenal sebelum ini. Sementara anak-anak kandung Raj yang dibesarkan dengan tangannya sendiri tak menganggapnya sebagai orangtua. Ironis.
Masa enam bulan telah berakhir. Saatnya bagi Raj dan Pooja untuk bertukar tempat tinggal ke rumah anak-anak mereka yang lain. Tapi Raj dan Pooja menggunakan kesempatan itu untuk bernostalgia mengenai masa lalu mereka. Mereka tak ingin kembali ketempat anak-anak durhaka itu. ditengah perjalanan nostalgia itulah, secara tak sengaja Raj-Pooja bertemu kembali dengan Alok, sang anak angkat. Pertemuan itu terjadi di sebuah Showroom mobil. Ketika Raj dihina oleh seorang pegawai showroom, saat itulah Alok yang secara tak sengaja melihat kejadian itu serta merta menampar si pegawai. Ia membawa Raj-Pooja dengan penuh cinta dan kasih sayang ke rumahnya.
Ternyata, tanpa sepengetahuan Raj, tulisan yang tak sadar ditinggalkan Raj di café Hemant Bhai diterbitkan oleh sebuah perusahaan penerbitan. Raj menjadi terkenal. Raj kemudian diundang untuk memperkenalkan dan memberikan sebuah sambutan mengenai tulisan yang dibukukan dengan judul ‘Baghban’ tersebut. ke-empat anak-menantu Raj pun tahu mengenai hal ini. Mereka pun menghadiri acara tersebut. Tapi Raj-Pooja mengabaikan mereka. Ketika acara sambutan dari salah seorang anak, anak tertua Raj-Pooja ingin berdiri namun moderator memanggil Alok.
Diakhir cerita, ke-empat anak menantu Raj-Pooja meminta maaf pada mereka, tapi Raj-Pooja tidak bisa memaafkan. Apa yang telah dilakukan ke-empat anak durhaka itu sungguh tak bisa dimaafkan.
Film ini sarat pesan. Menonton film ini aku dilihatkan bagaimana cinta sejati itu (meski hanya dalam film tapi kisah cinta Raj-Pooja sungguh menginspirasi), bagaimana perlakuan yang seharusnya dilakukan pada kedua orangtua, bahkan aku belajar seperti apa keikhlasan orangtua dalam membesarkan anak yang sesungguhnya.
Meski hanya sebuah film, aku ingin mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan Raj Maholtra ia hanya melupakan satu hal; ia lupa bahwa ia telah menjadikan ke-empat anaknya sebagai simpanan deposit. Investasi untuk hari tuanya sehingga ia lupa pada dirinya. Dialog yang terjadi antara Raj dengan seorang pria di awal film menunjukkan hal itu. Tujuan Raj memberikan apapun pada anak-anaknya hanya untuk masa depannya. Memang seharusnya itu yang dilakukan anak terhadap orangtua, membalas jasa-jasa orangtua yang tak akan pernah terbalas meski seluruh daun-daun gugur berubah menjadi mutiara lalu diberikan pada kedua orangtua.
Namun menurut pendapat saya yang dangkal, barangkali Raj telah dianggap tidak ikhlas dalam membesarkan anak-anaknya sehingga anak-anak merasa tidak perlu membalas susah payah Raj-Pooja dalam membesarkan mereka. Lihat halnya dengan Alok, anak angkat yang dibesarkan dan disekolahkan Raj. Ia menjadi begitu berbakti atas apa yang telah diberikan Raj padanya. Hemat saya itu karena Raj tak pernah berharap apa yang telah ia berikan akan dibalas oleh Alok. Ia ikhlas menolong Alok. Tak pernah terbersit sedikitpun dari pikiran Raj bahwa Alokpun akan menjadi sebuah investasi baginya di masa depan. Memang benar, hukum alam itu berlaku. Siapa memberi suatu saat ia akan menerima. Tapi prinsip memberi-menerima itu hanya benar-benar terjadi jika segala sesuatunya dilakukan dengan ikhlas. Raj ikhlas untuk apapun yang ia beri pada anak-anaknya, namun ia lupa bahwa ia telah menganggap apa yang ia beri sebagai investasi di masa tuanya.
Ah, entahlah.
Bagi mereka yang suka menulispun ada pesan dari film ini; tulislah apa yang ditunjukan kehidupan. Maka mulai hari ini, aku ingin menjadi penulis kehidupan. Mulai menuliskan agar aku tak lupa pada kehidupan yang telah membentukku hingga hari ini; baik itu kebahagiaan, kesedihan, rasa malu, apapun. Bukankah menulis dapat menjadi salah satu media melawan lupa pada kenanganku sendiri? Kenangan yang di masa depan akan membuatku tersenyum, tertawa, menahan malu, atau menangis membacanya. Ya, aku menulis untuk diriku sendiri. Tidak peduli apakah oranglain peduli atau tidak pada apa yang kutulis. Tapi satu hal yang penting, apapun yang ditulis dengan hati akan terasa oleh hati. ***