Jumat, 06 Desember 2013

Motif dan Sikap






 

A.    Motif
1.    Pengertian Motif
Baik hewan maupun manusia merupakan makhluk yang hidup, makhluk yang berkembang, makhluk yang aktif. Hewan dan manusia dalam berbuat atau bertindak terikat oleh faktor-faktor yang terdapat dalam diri organisme yang bersangkutan. Oleh karena itu baik hewan maupun manusia dalam bertindak selain ditentukan oleh faktor luar juga ditentukan oleh faktor dalam, yaitu berupa kekuatan yang datang dari organisme yang bersangkutan yang menjadi pendorong dalam tindakannya. Dorongan yang datang dari dalam untuk berbuat itu yang dinamakan motif. Motif berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak atau to move (Branca, 1964). Karena itu motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat atau merupakan drive force.[1]
Pada dasarnya, motif merupakan pengertian yang melingkupi penggerak. Alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusialah yang menyebabkan manusia itu berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Juga tingkah laku yang disebut tingkah laku secara fefleks dan yang berlangsung secara otomatis mempunyai maksud tertentu meskipun maksud itu tidak disadari oleh manusia. Motif manusia bisa bekerja secara sadar dan juga secara tidak sadar. Untuk mengerti dan memahami tingkah laku manusia dengan lebih sempurna, patutlah kita pahami dan mengerti terlebih dahulu apa dan bagaimana motif-motifnya dari pada tingkah lakunya.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian mengenai motif. Sherif & Sherif (1956), misalnya menyebut motif sebagai suatu istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah pada berbagai jenis perilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal , seperti kebutuhan (needs) yang berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi dan selera sosial, yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut. Giddens (1991:64) mengartikan motif sebagai inpuls atau dorongan yang memberi energi pada tindakan manusia sepanjang lintasan kognitif/perilaku kearah pemuasan kebutuhan. Menurut Giddens, motif tak harus dipersepsikan secara sadar. Ia lebih merupakan suatu “keadaan perasaan”. Secara singkat, Nasution menjelaskan bahwa motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
R.S. Woodworth mengartikan motif sebagai suatu set yang dapat atau mudah menyebabkan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan  tertentu (berbuat sesuatu) dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Jadi, motif  itu adalah tujuan. Tujuan ini disebut insentif (incentive). Adapun insentif bisa diartikan sebagai suatu tujuan yang menjadi arah suatu kegiatan yang bermotif.
Secara etimologis, motif atau dalam bahasa inggrisnya motive, berasal dari kata motion, yang berarti “gerakan” atau “sesuatu yang bergerak”. Jadi istilah “motif” erat berkaitan dengan “gerak”, yakni gerakan yang  dilakukan oleh manusia, atau disebut juga dengan perbuatan atau tingkah. Motif dalam psikologi berarti ransangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.
Selain motif, dalam psikologi dikenal pula istilah motivasi. Sebenarnya motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkannnya, dan tujuan atau akhir dari gerakan atau perbuatan. Karena itu, bisa juga dikatakan bahwa motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan.[2]

2.    Bentuk-bentuk Motif
Dalam masalah motif terdapat ada bermacam-macam motif, namun ternyata pendapat ahli yang satu dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain. Disamping itu ada ahli yang menekankan pada sesuatu macam motif, tetapi juga ahli yang menekankan pada macam motif yang lain. Namun demikian para ahli pada umumnya sependapat bahwa ada motif yang berkaitan dengan kelangsungan hidup organisme, yaitu yang disebut sebagai motif biologis (Gerungan, 1965) atau sebagai kebutuhan fisiologis (Maslow, 1970)
1.      Motif fisiologis
Dorongan atau motif fisiologis pada umumnya berakar pada keadaan jasmani, misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan seksual, dorongan untuk mendapatkan udara segar. Dorongan-dorongan tersebut adalah berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Karena itu motif ini juga sering disebut sebagai motif dasar (basic motives) atau motif primer (primary motives), juga da motif yang dipelajari.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif itu timbul apabila adanya kebutuhan yang diperlukan. Apabila ada kebutuhan, maka hal ini memicu organisme untuk bertindak atau berperilaku untuk memperoleh kebutuhan yang diperlukan.
2.      Motif sosial
Motif sosial merupakan motif yang kompleks, dan merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Dikatakan sosial karena motif ini dipelajari dalam kelompok sosial (sosial group), walaupun menurut kunkel dalam diri manusia adanya dorongan alami untuk untuk mengadakan kontak dengan orang lain.karena motif ini dipelajari, maka kemapuan untuk berhubungan dengan orang lain satu dengan yang lain itu dapat berbeda-beda. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka memahami motif sosial adalah merupakan yang penting untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku individu kelompok. McCelland berpendapat bahwa motif sosial itu dapat dibedakan dalam :
a.       Kebutuhan akan berprestasi
  Kebutuhan akan berprestasi merupakan salah satu motif sosial yang dipelajari secara mendetail dan hal ini dapat diikuti sampai pada waktu ini. Orang yang mempunyai kebutuhan atau need ini akan meningkatkan peformance, sehingga dengan demikian akan terlihat tentang kemampuan berprestasinya.
b.      Kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain
Afiliasi menunjukan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan berhubungan dengan orang lain. Penggunaan alat seperti halnya dalam mengungkapkan n-achievement, maka dalam mengungkap kebutuhan afiliasi ini peneliti juga akan dapat memberikan gambaran tentang besar kecilnya, atau kuat atau tidaknya seseorang dalam kaitannya dengan kebutuhan akan afiliasi ini. Orang yang kuat akan kebutuhan afiliasi, akan selalu mencari teman, dan juga akan mempertahankan hubungan yang telah dibina dengan orang lain tersebut. Sebaliknya apabila kebutuhan akan afiliasi ini rendah, maka orang akan segan mencari hubungan dengan oranglain, dan hubungan yang telah terjadi tidak dibina secara baik agar tetap dapat bertahan.
c.       Kebuthan akan kekuasaan
Kebutuhan akan power ini timbul dan berkembang dalam interaksi sosial. Dalam interaksi sosial orang akan mempunyai kebutuhan untuk berkuasa (power). Kebutuhan akan kekuasaan ini bervariasi dalam kekuatannya dan dapat diungkapkan dengan teknik proyeksi. Orang yang mempunyai (power need) tinggi akan mengadakan kontrol, mengendalikan atau memerintah orang lain, dan ini merupakan salah satu indikasi atau salah satu manifestasi dari power need tersebut.
3.      Teori kebutuhan dari Murray
Murray mengemukakan suatu daftar dari dua puluh kebutuhan yang pada umumnya mendorong manusia untuk bertindak atau berperilaku. Daftar  yang berisi kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat bervariasi, diantaranya  mengandung kebutuhan yang berlawanan satu dengan yang lain, misalnya kebutuhan akan nurturance, yaitu kebutuhan untuk memberikan care, untuk memberikan asuhan, dan kebutuhan succorance (n-succorance), yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan Marry atau juga disebut motif-motif adalah sebagai berikut, merendah atau merendahkan diri (abasement), berprestasi (achievement), afiliasi (afiliation), agresi, otonomi, counteraction, pertahanan, hormat, dominasi, pamer, penolakan perusakan, infavoidance, memberi bantuan, teratur, bermain, menolak, seintence, bantuan atau pertolongan dan mengerti. Kedua puluh motif atau kebutuhan tersebut berkaitan dengan motif sosial.
4.      Motif Eksplorasi
Pembicaraan mengenai motif belumlah  tuntas apabila belum mengemukakan tentang ketiga motif ini, khususnya menyangkut manusia. Ketiga macam motif itu adalah (1) motif untuk mengadakan eksplorasi terhadap lingkungan (2) motif untuk menguasi tantangan yang ada dalam lingkungan dan menanganinya secara efektif, dan (3) motif untuk aktualiasasi diri, yang berkaitan sampai seberapa jauh seseorang dapat bertindak atau berbuat untuk mengaktualisasikan dirinya seperti yang dikemukakan oleh maslow.[3]

3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motifasi
Motivasi sebagai proses batin atau proses psikologis dalam diri seseorang, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain :  
      1. Faktor Ekstern
·         Lingkungan kerja
·         Pemimpin dan kepemimpinannya
·         Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas
·         Dorongan atau bimbingan atasan
 2. Faktor Intern
·           Pembawaan individu
·          Tingkat pendidikan
·          Pengalaman masa lampau
·          Keinginan atau harapan masa depan.

Sumber lain mengungkapkan, bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu rangkaian interaksi antar berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud meliputi :
·         Individu dengan segala unsur-unsurnya : kemampuan dan ketrampilan, kebiasaan, sikap dan sistem nilai yang dianut, pengalaman traumatis, latar belakang kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.
·         Situasi dimana individu bekerja akan menimbulkan berbagai rangsangan: persepsi individu terhadap kerja, harapan dan cita-cita dalam kerja itu sendiri, persepsi bagaimana kecakapannya terhadap kerja, kemungkinan timbulnya perasaan cemas, perasaan bahagia yang disebabkan oleh pekerjaan.
·         Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing individu terhadap pelaksanaan pekerjaannya.
·         Pengaruh yang datang dari berbagai pihak : pengaruh dari sesama rekan, kehidupan kelompok maupun tuntutan atau keinginan kepentingan keluarga, pengaruh dari berbagai hubungan di luar pekerjaan
·         Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu
·         Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu
·         Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita dan tujuan
B.     Sikap
1.      Pengertian sikap
Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan psikologi sosial. Bahkan ada sementara ahli yang berpendapat bahwa psikologi sosial menempatkan maasalah sikap sebagai problem sentralnya. Seperti yang dikemukakan oleh Krech dan Crutchfield (1954: 151):
“as we have already indicated, attitudes lie behind many of the significani and dramatic instances of man’s behavior. It is for this reason that psychologists regard the study of attitudes as the central problem of social psychology.
Pendapat tersebut kiranya cukup beralasan bila dilihat dari segi pentingnya masalah sikap dikaitkan dengan perilaku atau perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui sikap seseorang orang dapat menduga bagaimana respons atau perilaku yang akan diambil oleh orang yang bersangkutan, terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang dihadapkan kepadanya. Jadi dengan mengetahui sikap seseorang, orang akan mendapatkan gambaran kemungkinan perilaku yang timbul dari orang yang bersangkutan. Bagaimana hubungan sikap dengan perilaku akan dipaparkan dibagian belakang.[4]
Istilah sikap yang dalam bahasa inggris disebut “attitude” pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer (1862), yang menggunakan kata ini untuk menunjuk suatu status mental seseorang. Kemudian pada tahun 1888 lange menggunakan konsep ini dalam suatu eksperimen laboratorium. Kemudian konsep sikap secara populer digunakan oleh para ahli psikologi,  perhatian terhadap sikap berakar pada alasan perbedaan individual. Mengapa individu yang berbeda memperlihatkan tingkah laku yang berbeda dalam didalam situasi yang sebagian besar gejala ini diterangkan oleh adanya perbedaan sikap. Sedang bagi para ahli sosiologi sikap memiliki arti yang lebih besar untuk menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan.
Menurut L.L. Thurstone (1946), sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek psikologi. Obyek psikologi disini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya.
Zimbardo dan Ebbesen mengartikan sikap suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive, effective, dan behavior.
            D.Krech and RS. Crutchfield, sikap adalah organisasi yang tetap dari proses  motivasi, emosi, persepsi atau pengamatan atas suatu aspek dari kehidupan individu.
            John H. Harvey dan William P. Smith, sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam bentu positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
            Menurut Gerungan pengertian attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek tertentu, yang dapat merupakan sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi itu. Jadi attitude itu lebih diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.[5]
            Sedangkan Warren (1931) dan juga Cantril (1931) merumuskan sikap sebagai disposisi atau prodisposisi untuk bereaksi; Baldwin (1905) dan juga Allport (1975) merumuskan sebagai kesiapan; sedangkan Allport menyebut sebagai berfungsinya disposisi.[6]
            Dari berbagai defenisi diatas dapat dismpulkan bahwa sikap merupakan kencnderungan bertindak, berfikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecenderungan untu berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, benda, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Dengan demikian, pada kenyataannya, tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri.

2.      Sikap dan perilaku
Pengkajian antara sikap dan perilaku telah banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial. Apakah sikap itu mengungkapkan hal yang berhubungan dengan perilaku ? pertanyaan ini telah menjadi pokok pembahasan dalam suatu perdebatab yang berkelanjutan didalam ilmu-ilmu sosial selama seratus tahun lalu.
Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada  pada orang yang bersangkutan. Namun demikian tidak semua ahli menerima pendapat bahwa perilaku itu dilatar belakangi oleh sikap yang ada pada diri orang yang bersangkutan.
Menurut Meyrs (1983) sampai sekitar tahun 1960 para ahli memandang bahwa adanya kaitan antara sikap dengan perilaku. Seperti apa yang Krech dan Cruthfield (1954) diatas dengan jelas menyatakan hal tersebut. Tetap pada sekitar tahun 1964 dengan penelitian Leon Festinger pandangan diatas mengalami perubahan yang sangat berati, seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa perilaku seseorang tidak dilatar belakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Ini berarti bahwa asumsi bila sikap berubah, akan mengubah perilaku tidak berperilaku lagi. namun  demikian menurut Meyrs (1983) pendapat Festinger tersebut merupakan antitesa terhadap pada pendapat Hegel, yaitu adanya tesa, antitesa, maka ada pula sintesanya, dan ini yang diambil langkah oleh Meyrs. Meyrs (1983) berpendapat bahwa perilaku itu merupakan  bahwa sesuatu yang akan kena banyak pengaruh dari lingkungan. Demikian pula sikap yang diekspresikan juga merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Sedangkan expressed attutudes adalah merupakaan perilaku. Orang tidak dapat mengukur sikap secara langsung, maka yang diukur adalah sikap yang menampak, dan sikap yang menampak adalah juga perilaku. Karena itu bila orang menetralisir pengaruh terhadap perilaku, maka denga jelas bahwa sikap  mempunyai kaitan dengan perilaku. Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Dengan demikian dapat ditarik pendapat bahwa pada dasarnya pendapat Meyrs cenderung adanya kaitan antara sikap dengan perilaku, sikap dengan perilaku saling berpengaruh satu dengan yang lainnya.[7]
Warner & DeFleur (1069, dalam Azwar, 1995) mengmukakan tiga postulat untuk mengidentifikasi tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu: postulate of consistency, postulate of independent variation, dan postulate of contingent consistency. Penjelasan  mengenai postulat tersebut adalah sebagai  berikut :
a.       postulat konsitensi (postulate os consistency)
postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap.
      Jadi, postulat ini mengansumsikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. Bukti yang mendukung postulat konsistensi dapat terlihat pada pola perilaku individu yang memiliki sikap ekstrem. Hal ini terjadi karena individu yang memiliki sikap ekstrem cenderung untuk berperilaku yang didominasi keekstreman sikapnya itu; sedangkan mereka yang sikapnya lebih moderat akan berperilaku didominasi oleh faktor-faktor lain.
b.      postulat variasi independent (postulate of independent variation)
postulat variasi independent mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. Mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku. Dukungan  yang jelas pada  postulat ini adalah hasil studi klasik yang sangat terkenal yang dilakukan oleh LaPierre (1934).
      Penelitian ini mengilustrasikan bahwa perilaku ditentukan oleh banyak faktor selain sikap, dan faktor-faktor lain itu mempengaruhi konsistensi sikap-perilaku. Salah satu faktor yang jelas adalah tingkat kendala dalam situasi; kita seringkali bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan apa yang kita rasakan dan yakini.
c.       postulat konsistensi tergantung (postulate of contingent consistency)
postulat konsistensi tergantung menyatkan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan dan sebagainya, merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap, akan berbeda dari waktu kewaktu dan dari satu situasi kesituasi lainnya.
      Tampaknya, postulat terakhir ini merupakan postulat yang masuk akal  dan paling berguna dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilku (Allen, Guy, & Edgley, 1980 dalam Azwa, 1955).[8]

3.      Bentuk-bentuk sikap
1)      Sikap sosial
Sikap  sosial dinyatakan tidak oleh seorang saja tetapi diperhatikan oleh orang-orang sekelompoknya.
Obyeknya adalah obyek sosial (obyeknya banyak orang dalam kelompok) dan dinyatakan berulang-ulang.
Misalnya : sikap berkabung seluruh anggota kelompok karena meninggalkannya seorang pahlawannya.
Jadi yang menandai sikap sosial adalah :
a.          Subyek : orang-orang dalam kelompoknya.
b.         Obyek : obyeknya sekelompok, obyeknya sosial.
c.          Dinyatakan berulang-ulang.
2)      Sikap individual
Ini hanya dimiliki secara individual seorang demi seorang. Obyeknya pun bukan merupakan obyek sosial. Misalnya : sikap yang berupa kesenangan atas salah satu jenis makanan atau salah satu jenis tumbuh-tumbuhan. Individu sangat senang terhadap rujak cingur. Senang yang bersiafat individual. Mungkin orang-orang lain meskipun dalam kelompoknya belum tentu senang akan rujak cingur. Obyeknya  bukan obyek sosial.
Disamping pembagian sikap atas sosial dan individual sikap dapat pula dibedakan atas :
1.      Sikap positif
Sikap yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.
2.      Sikap negatif
Sikap yang menunjukan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana  individu itu berada.
Sikap  positif/negatif itu tentu saja berhubungan dengan norma. Orang tidak akan tahu apakah sikap seseorang itu positif atau negatif tanpa mengetahui norma yang berlaku.[9]
4.      Ciri-ciri sikap
Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapatlah dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut :
1.      Sikap itu dipelajari (learnability)
Siakp merupakan hasil belajar. Ini perlu dibedakan dari motif-motif psikologi lainnya. Misalnya: lapar, haus, adalah motif psikologis yang tida dipelajari, sedangkan pilihan kepada lapangan eropa adalah sikap.
Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu. Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.
2.      Memiliki kestabilan (stability)
Siakp bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap stabil, melalui pengalaman. Misalnya : perasaan like dan dislike terhadap warna tertentu(spesifik) yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi.

3.      Personal-sicietal significance
Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa oranglain menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini akan sangat berarti bagi dirinya, ia merasa bebas dan favorable.
4.      Berisi kognisi dan affeksi
Komponen cognisi dari pada sikap adalah berisi informasi yang Faktual, misalnya : obyek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
5.      Approach-avoidance directionality
Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu obyek, mereka akan mendekati atau membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang unfavorable, mereka akan menghindarinya.[10]
Adapun pendapat lain yang menjelaskan tentang ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut : 1) Sikap itu tidak dibawa sejak lahir, ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap-sikap tertentu terhadap seseuatu objek; 2) sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap, oleh karena itu sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannnya dengan objek-objek tertentu, yaitu melalui  proses persepsi terhadap objek tersebut; 3) sikap dapat tertuju pada satu objek saja, taapi juga dapat tertuju pada sekumpulan objek-objek; 4) sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar; 5) sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.[11]

5.      Pembentukan dan perubahan sikap
Sikap timbul karena adanya stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi oleh perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan misalnya : keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Dalam hal ini keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap putra-putranya. Sebab  keluargalah sebagai kelompok primer bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Siakp seseorang tidak selamanya tetap. Ia dapat berkembang manakala mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar yang bersiafat positif dan mengesankan. Antara perbuatan dan sikap ada hubungan  yang timbal balik. Tetapi sikap tidak selalu menjelma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku. Orang kadang-kadang menampakan diri dalam keadaan “diam” saja.
Ini bukan berarti orang tidak bersikap. Ia bersiakap juga hanya bentuknya : diam. Misalnya : seorang ayah sedang enak-enak membaca koran. Tiba-tiba datang putera laki-lakinya yang berumur lima tahun sambil menangis melaporkan bahwa ia habis berkelahi denag temannya. Melihat hal semacam ini ayah hanya “diam saja” hal ini tida berarti bahwa ayah tidak bersikap. Ayah itu telah bersikap, hanya perwujudan sikapnya diam. Memang dalam kasus ini ada dua  kemungkinan :
1.      Ayah itu diam-diam dengan alasan kalau buru-buru anak itu dilerai, akan menimbulkan kebiasaan tidak baik.
2.      Ayah itu akan cepat-cepat bertindak misalnya menggendong atau membelikan kembang gula dan sebagainya agar anak tersebut berhenti menangis.
Kedua  kemungkinan ini, keduanya merupakan sikap si ayah, baik yang bertingkah laku maupun yang tidak.
          Sikap tumbuh dan berkembang dalam basis sosial yang tertentu, misalnya : ekonomi, politik, agama dan sebagainnya. Didalam perkembangannya sikap banya dipengaruhi oleh lingkungan, norma-norma atau grup. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan sikap antara individu yang satu dengan yang lain karena perbedaan pengaruh atau lingkungan yang diterima. Sikap akan terbentuk tanpa interaksi manusia, terhadap obyek tertentu atau suatu obyek.
          Faktor-Faktor yang menyebabkan perubahan sikap :
1)      Faktor intern : yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar.
    Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap didalam diri manusia, terutama yang menjadi minat dan perhatiannya. Misalnya : orang yang sangat haus, akan lebih memperhatikan perangsang dapat menghilangkan hausnya itu dari perangsang-perangsang yang lain.
2)      Faktor ekstern : yaitu faktor yang terdapat dari luar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok. Misalnya : interaksi antara manusia yang dengan hasil kebudayaan manusia yang sampai padanya melalui alat-alat komunikasi seperti : surat kabar, radio, televisi, majalah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini Sherif mengemukakan bahwa sikap itu dapat diubah atau dibentuk apabila :
a.       Terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia.
b.      Adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari suatu pihak
Ada tiga hal yang paling penting dalam pembentukan sikap yang diperhatikan dalam masa adolesen adalah :
a.       Media massa
b.      Kelompok sebaya
c.       Kelompok yang meliputi lembaga sekolah, lembaga keagamaan, organisasi kerja dan sebagai.[12]
6.      Metode pengukuran atau memahami sikap
Para ahli psikologi sosial telah berusaha untuk mengukur sikap dengan berbagai cara. Beberapa bentuk pengukuran sudah mulai dikembangkan sejak diadakannya penelitian sikap yang pertama yaitu pada tahun 1920. Kepada subyek diminta untuk merespon obyek sikap dalam berbagai cara.
          pada umumnya digunakan tes psikologi yang berupa sejumlah item yang telah disusun secara hati-hati, seksama, selektif sesuai dengan kriteria tertentu, tes psikologi ini kemudian dikembangkan menjadi skala sikap. Dari skala sikap ini diharapkan mendapat jawaban atas  dengan berbagai cara oleh responden terhadap suatu obyek psikologi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan pernyataan (item) didalam skala sikap ini, antara lain :
1.      Hindarkan pernyataan yang menunjuk kepada masa lampau sebaliknya pada masa sekarang
2.      Hindarkan pernyataan yang dapat diinterprestasikan dengan lebih dari satu macam
3.      Hindarkan pernyataan yang tidak relevan dengan obyek psikologi yang akan diungkap.
4.      Hindarkan pernyataan yang mungkin dibenarkan oleh setiap orang atau sebaliknya tidak seorangpun
5.      Pilihlah pernyataan yang telah anda percaya mampu menjangkau skala effeksi
6.      Jagalah agar penggunaan bahasa dalam pernyataan itu sederhana dan jelas
7.      Pernyataan diusahakan singkat, pendek, tidak lebih dari duapuluh kata
8.      Satu pernyataan diusahakan berisi hanya satu masalah yang sifatnya lengkap
9.      Pernyataan berisi suatu yang sifatnya umum misalnya : semua, selalu, tidak seorangpun
10.  Jika mungkin, pernyataan disusun dalam kalimat yang sederhana, tidak dalam kalimat yang kompleks.
11.  Hindarkan penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh responden
12.  Hindarkan penggunaan istilah yang double   negatives
Pengukuran sikap secara langsung yang sering digunakan :

1. skala Thurstone (L.L Thurstone, 1928)
    Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1.      Langkah pertama thurstone memilih dan mendefenisikan setepat mungkin “sikap” yang akan diukur.
2.      Kemudian merumuskan sejumlah pernyataan tentang obyek sikap. Dalam hal ini perlu diadakan perbaikan serta editing untuk penyempurnaan pernyataan itu. Dalam proses editing ini Thurstone mengemukakan 5 kriteria, yaitu :
a. pernyataan harus pendek
b. pernyataan harus merumuskan sedemikian rupa sehingga  responden dapat membenarkan atau menolak
c. pernyataan harus relevan dengan masalahnya.
d. pernyataan harus tidak mengandung pengertian ganda
e. pernyataan harus dapat menggambarkan semua kemungkinan secara lengkap suatu pendapat terhadap masalah
3.      Langkah Thurstone berikut thurstone membagikan daftar pernyataan itu kepada sejumlah responden  yang secara obyektif dan bebas akan menyatakan pendapatnya baik positif maupun negatif.
4.      Kemudian, nilai skala menunjukan tingkat kepositifan atau kenegatifan terhadap obyek, yang dihitung untuk setiap pernyataan.

2. Skala Likert (Rensis Likert)
 Rensis Likert mengembangkan suatu skala beberapa tahun setelah Thurstone. Likert juga menggunakan sejumlah pernyataan untuk mengukur sikap yang mendasar pada rata-rata jawaban. Namun memiliki perbedaan disana-sini. Likert didalam pernyataannya menggambarkan pandangan yang ekstrem pada masalahnya. Setelah pernyataan itu dirumuskan, Likert membagikannya kepada sejumlah responden yang akan diteliti. Kepada responden diminta untu menunjukan tingkatan dimana mereka setuju atau tidak setuju pada setiap pernyatan dengan 5 (lima) pilihan skala : sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, sangat tidak setuju. Salah satu pernyataan untuk mengukur sikap terhadap kulit hitam berbunyi : “saya tidak akan pernah kawin dengan orang kulit hitam”
Demikianlah, score 5 diberikan kepada yang menjawab sangat setuju, score 1 diberikan kepada yang sangat tidak setuju. Dengan cara ini setiap pernyataan memberikan nilai skala dari 1 sampai 5. Pernyataan semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan pernyataan yang terasa membosankan atau diinterprestasikan dengan lebih dari satu macam.
Pernyataan seperti : “inteligensi secara historis tak dapat dielakan” mula-mula kelihatan sepintas lalu sebagai pernyataan yang sederhana. Tetapi sebenarnya tidak sebab agak sulit ditafsirkan, atau mengandung lebih dari 1 (satu) penafsiran. Mungkin juga kata-kata itu terasa asing. Likert menghendaki konsistensi atau keajegan dalam pernyataan-pernyataan.
Skala Likert sangat populer saat ini karena skala ini termasuk mudah dalam penyusunannya. Sudah banyak peneliti yang telah mempergunakan akan menyempurnakannya.

3. skala Bordagus
Emery Bordagus pada tahun 1925 menemukan suatu skala yang disebut skala jarak sosial (social distance Scale) yang secara kuntatif mengukur tingkatan jarak seseorang yang diharapkan untuk memelihara hubungan orang dengan kelompok-kelompok lain. Dengan skala bordagus responden diminta untuk mengisi atau menjawab pernyataan satu atau semua dari 7 pernyataan untuk melihat jarak sosial terhadap kelompok etnik group lainnya.

4. skala perbedaan semantik (the simantic differnt scale)
Skala ini dikembangkan oleh Osgood, Suci dan Tannerbaum (1957) yang meminta responden untuk menentukan sikapnya terhadap obyek sikap, pada ukuran yang sangat berbeda dengan ukuran yang terdahulu. Responden diminta untuk menentukan suatu ukuran skala yang bersifat berlawanan yaitu positif atau negatif, yaitu : baik-buruk, aktif-pasif, bijaksana-bodoh, dan sebagainya. Skala ini terbagi atas tujuh ukuran, dan angka 4 akan menunjukan ukuran yang secara relatif netral. Score sikap dari individu diperoleh dengan mentallies semua jawaban. Score yang lebih tinggi berarti lebih positif sikapnya terhadap obyek, orang atau masalah lain yang ditanyakan.[13]







DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.1991. psikologi sosial.Jakarta : PT Rineka Cipta
Sobur , Alex.2003. Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah.Bandung: Pustaka Setia
Walgito, Bimo Walgito.2003. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Penerbit Andi
Walgito.2002.Psikologi Sosial, Yogyakarta : Penerbit Andi



[1] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2003), h. 220
[2] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),h. 267-268
[3] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2003), h.224-232
[4] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002), hal.
[5] Abu Ahmadi, psikologi sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.161-164
[6] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),h. 355

[7] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002), hal.
[8]  Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),h. 380-381

[9]  Abu Ahmadi, psikologi sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.166-167

[10] Ibid, h. 178-179
[11] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002), hal.
[12]  Abu Ahmadi, psikologi sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.170-172

[13] Ibid, h. 182-188