Kamis, 29 Agustus 2013

Bu Kamek dan Pak Lambok (Edisi KKN)



10 Juli 2013 lalu, hari pertama menginjakkan kaki di Korong Bayur, kami langsung dibawa oleh Wali Korong ke Rumah ini. Rumah dengan cat oren gelap. Rumput Jepang rapi terhampar di halaman; menunjukkan betapa pemilik rumah sangat telaten merawatnya. Memasuki ruang tamu kami disuguhi oleh sebuah sofa berwarna krem muda yang sudah tampak tua. Sementara  lemari pembatas berwarna merah kecoklatan berdiri gagah beberapa meter di depan sofa; tepat menyandar ke dinding yang membatasi ruang tamu dengan ruang lain, barangkali ruang keluarga atau mungkin dapur.  TV LG 20 inch menjadi satu-satunya pemuncak kegagahan lemari tua itu; seorang lelaki kira-kira berusia 65 tahunan tampak menikmati acara TV siang itu; sebelum akhirnya kedatangan kami  mengusiknya.
Perkenalan dan serah terima yang singkat dari Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kepada Wali Korong dan pemilik rumah menandai bahwa di sinilah kami akan menghabiskan 45 hari masa KKN ini. Beruntung, kami tak tinggal se rumah dengan teman lelaki. Aku tersenyum geli ketika mengingat bagaimana Pak Asmendri, DPL kami meminta kepada Wali Korong sebaiknya kawan kami yang lelaki tinggal di Musholla namun wali Korong tidak mengizinkan dengan alasan; urang piaman gadang cameeh. Bagaimanapun Pak Asmendri berharap, tetap tak mengalahkan cemeeh urang kampuang dalam pikiran Wali Korong. Walhasil, tiga orang anggota kelompok kami yang laki-laki mendapat tempat penginapan di rumah salah seorang warga, namanya Bu Dayang.
Baik, kita kembali pada rumah dengan cat oren gelap. Usai perkenalan dan serah terima kami langsung dipersilahkan berbenah oleh pemilik rumah dengan menempati dua kamar tidur. Barangkali mengingat kami yang banyak tidak akan muat dalam satu kamar. Ternyata, ruangan lain dibalik dinding itu adalah ruang keluarga dengan satu kamar. Ada ruangan lagi setelah itu; sebuah ruang makan besar yang juga difungsikan sebagai dapur. Di ruangan ini, terdapat dua kamar lagi. Nah, kami ditempatkan di kamar yang terletak di ruang keluarga dan satu kamar belakang.
 Rumah besar itu hanya dihuni oleh sepasang suami isteri tua, Bu Kamek dan Pak Lambok. Tinggal berdua, bukan berarti Bu Kamek dan Pak Lambok tidak memiliki anak. Mereka memiliki empat orang anak yang saat ini merantau di pulau jawa. Tiga diantaranya sudah berkeluarga.
Selama tinggal di rumah ini, banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan. Bu Kamek dan Pak Lambok merupakan pasangan yang sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Oleh karena itu, kami harus pandai-pandai  menjaga hal ini. Pernah suatu ketika aku sedang menyendok nasi dari periuk ke Magic Jar (kebetulan saat itu listrik mati sehingga kami masak nasi di kompor), tiba-tiba saja Pak Lambok menghampiriku sambil membawa sebuah piring dan berkata; ndeh kau piak, aleh jo piriang ko, lodah.
 Terang aku kaget saat itu, apalagi suara Pak Lambok yang lumayan keras. Memang, saat itu aku meletakkan saja tempat nasi Magic Jar itu di atas lantai tanpa alas, karena kupikir sebelum diletakkan kembali ke dalam Magic, periuk itu dilap terlebih dahulu. Aku menyadari bahwa sebetulnya aku yang salah.
Pak Lambok merupakan pribadi yang cepat naik darah. Kami sering secara sengaja bahkan tak sengaja mendengar beliau marah-marah pada Bu Kamek. Kadang pikiran negatifku mengatakan itu karena keberadaan kami di sini. Tapi Bu Kamek mengatakan bahwa apapun yang dikatakan Pak Lambok, jangan dimasukkan ke dalam hati, karena memang pribadi Pak Lambok yang seperti itu.
Suatu hari saat duduk dengan ibu menonton TV, barangkali untuk membuat kami betah di sini dengan kepribadian Pak Lambok yang suka marah-marah, Bu Kamek bilang; Ibu je yang tahan jo apak kau tu , kok ndak  jo ibu nyo a ndak nio ughang lai. Aku tersenyum. Lalu Ibu bilang padaku sebaiknya jangan mencari suami yang suka marah. Aku bertanya; bagaimana cara kita tahu dia pemarah atau bukan. Ibu jawab; lihat bagaimana ayahnya.  Ibu lalu bercerita tentang anak-anaknya yang jarang pulang karena tidak tahan dengan sikap Pak Lambok yang acapkali marah, bahkan hanya karena hal sepele.
Begitulah, lain Pak Lambok lain pula Bu Kamek. Mezna, demikian nama asli Bu Kamek. Wanita yang lahir pada tahun 1958 silam ini pada mulanya tidak tahu asal mula orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kamek. Barangkali memang karena dirinya yang Kamek[1], sehingga panggilan itu lekat padanya sampai hari ini. Meski sudah berusia 55 tahun, garis-garis kecantikan Bu Kamek masih kentara.
Melalui beliau, di sini kami benar-benar merasa memiliki seorang Ibu. Beliau sejatinya sosok penyayang.  Beberapa waktu lalu dua ekor induk kambing Bu Kamek beranak. Masing-masing dengan dua anak. Salah satu induk tak mau menyusui seekor anaknya, sehingga si anak kambing sangat lemah. Nah, Ibu membelikan susu SGM untuk si anak kambing. Tiga kali sehari Ibu memberi susu itu dengan menggunakan dot pada si anak kambing kecil yang malang. Perlakuan Ibu yang sangat menyayangi hewan peliharaan ini, mengingatkanku pada Amak. Aku ingat, dulu ketika kami masih punya kambing peliharaan Amak pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Ibu. Bedanya, dulu Amak menggunakan air didihan nasi. Ketika ternak sapi kami terlihat sakit Amak memberikan obat bahkan meremaskan daun kapuak dan meminumkannya pada si sapi.
Meski begitu, kami juga sering kena marah oleh Bu Kamek. Tapi kami tahu marah beliau karena ulah kami. Pun ketika Nina menangis karena dimarahi Ibu. Walau aku tak menyaksikan langsung kejadian itu, menurut cerita kawan-kawan saat itu kami kehabisan Air Galon. Lalu kebetulan di depan rumah ada penjual Galon keliling yang berbeda dengan langganan yang ditunjukkan oleh Ibu pada kami. Karena air habis, Nina lalu membeli galon itu.
Namun apa yang terjadi? Ibu marah. Nina yang notabene anak tunggal dan barangkali tidak pernah kena marah, langsung menangis. Tapi kemudian aku tahu, kenapa Ibu marah. Galon yang dibeli Nina bertarif lebih mahal dari galon yang ditunjukkan Ibu pada kami. Sejatinya, Ibu hanya ingin menunjukkan yang terbaik, kalau kami membeli galon yang murah, bukankah dapat menghemat pengeluaran?
Sama halnya ketika Ibu marah padaku ketika aku membeli serai dan daun kunyit. Ibu bilang jangan beli serai dan daun kunyit; ibu punya tanaman itu di samping rumah. Tapi aku yang merasa tidak ingin merepotkan selalu membeli dua bahan itu diantara bahan belanjaan lain sehingga ketika ibu melihatnya aku sudah bersiap untuk menerima apa yang akan terjadi.
Satu kalimat yang sering diucapkan Ibu yang menjadi pameo bagi kami; Sumbaghang e kau mah. Diucapkan dengan keras dan pengucapan kata ‘kau’ yang terdengar seperti ‘qou’; huruf o dan u diucapkan tipis sehingga seolah-olah jika diucapkan secara cepat terdengar seperti mengucapkan kata ‘ku”. Nadanya begitu khas. 
Dari sekian banyak yang kuceritakan, kebaikan kedua pasangan ini pun tak terhingga. Ingat, ketika kami ingin sayur, lalu Ibu mencarikannya. Ketika kami tak punya sambal, lalu Ibu membagi sambalnya. Pada bulan ramadhan, Ibu sering menerima orang yang manjalang dan kami selalu kecipratan rezeki. Bahkan suatu ketika aku melihat Ibu memanaskan gulai atau kalio yang kami buat.
Hari ini, Ibu membagi-bagikan jelbabnya pada kami. Cukup banyak.  Anak perempuan beliau dulunya menjual jelbab, sehingga banyak jelbab-jelbab tersebut yang bersisa dan tidak terpakai. Jelbab-jelbab itu masih bagus. Masing-masing kami (tentu hanya yang perempuan) mendapat dua buah jelbab. Bahkan ada yang tiga. Ini tentu kami anggap sebagai kenang-kenangan yang diberikan Ibu pada kami.
 Secara pribadi, aku sungguh merasa seperti di rumah sendiri saat berada di sini. Aku menganggap Bu Kamek layaknya Amak. Ketika beliau marah, akupun ingat Amak. Pernahkah kita dimarahi atau diomeli oleh Ibu kita masing-masing karena kesalahan kita? Lalu ketika jauh dari beliau, ketika kita berbuat kesalahan dan tak ada yang memarahi, bukankah kemarahan itu menjadi sesuatu yang dirindu? ***





[1] Manis, cantik

1 komentar: