Minggu, 26 Agustus 2012

Ihkwan Penjaga Warnet Itu...



Tugas kuliah semakin menumpuk. Planning ku siang ini adalah mencari tugas ke fresh net. Sebenarnya ada warnet yang lebih dekat dari kos tapi lola alias loading lama. Usai makan siang, ku sambar jelbab pink mini dibelakang pintu kos. Ku sarungkan asal. Aku berangkat ke fresh net.
Pandangan ku menyapu ruangan warnet. Penuh. Satu komputer ada yang digunakan dua orang. Mungkin mereka sahabat. Aku hendak beranjak pergi ketika seseorakang berdiri dan menuju meja operator untuk membayar. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ada juga yang kosong. Komputer nomor 13. paling sudut.
Setelah log in aku segera berselancar dengan google. Mencari tugas yang diberikan Pak Dul minggu lalu. Bicara tentang Pak Dul sangat menakutkan kecuali kumis ala Jojon-nya. Yap, akhirnya tugas itu kudapatkan. Masih ada waktu, kubuka facebook. Hanya mengkonfirmasi beberapa permintaan pertemanan dan update status.  Tepat dua jam. Aku segera meng-close situs jejaring sosial itu
“Berapa Bang? “Aku bertanya pada operator warnet itu dan mencari-cari uang didalam tasku.
“Enam ribu” katanya. Yap, dapat. Uang sepuluh ribuan. Aku mendongak dan…oh my god. Aku bengong. Penjaga warnet itu manis sekali. Tampangnya klimis. Skin white. Masih muda. Kupikir umurnya kira-kira dua puluh satu tahunan. Cukup menunjukkan bahwa ia penuh wibawa. Dan senyum nya…aku melayang.
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.
Ya ampun…antri ternyata. Aku memberikan uang sepuluh ribu itu dan penjaga warnet itu memeberikan kembaliannya. Aku segera keluar dari warnet itu. Penjaga warnet itu masih menari-nari dikepalaku. Eiits, tunggu dulu. Aku merasa ada yang terlupakan. Sesuatu yang sangat penting. Astaghfirullah…aku lupa memprint out tugas yang kucari tadi. Padahal tujuan utamaku adalah tugas itu. Memang benar tugas itu untuk besok siang, tapi mana sempat mencari ulang besok. Besok pagi ada kuliah dasar-dasar konseling, mata kuliah paling penting dijurusanku semester ini.
Aku  kembali ke fresh net. Ragu kembali kemeja operator itu. Tapi kumis ala Jojon Pak Dul ikut serta menari-nari dikepalaku. Membiaskan seketika wajah penjaga warnet itu. Bismillah…dengan langkah pasti aku menuju meja operator itu.
“Bang… bisa nge-print?” Lamat-lamat aku bersuara. Seperti memohon kupikir. Lebay. Masih sibuk dengan komputer didepannya penjaga warnet itu menjawab. “Bisa. Mana flesh nya?”
Aku bingung. flesh? Jangankan punya, ngerti aja gak. Aku diam. Keki. Kak Ifa, kakak ku bilang bisa nge-print tanpa flesh. Asalkan disave di dokumen komputer warnet itu. Nah ini? Aku memang  gaptek. Boro-boro punya flesh disk, berbaur dengan komputer, internet dan sejenisnya baru sekarang ku lakoni. Ketika es-em-a kami memang belajar komputer. Tapi unit komputer yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ada. Bayangkan…satu unit komputer digunakan oleh empat sampai lima orang siswa. Komputer itu digunakan bergantian. Dan aku selalu dapat giliran terakhir. Baru beberapa menit, bel istirahat berbunyi, pertanda pelajaran berakhir. Dan selesailah praktekku dalam beberapa menit itu. Sementara untuk minggu selanjutnya adalah materi baru.
Abang penjaga warnet itu menatapku. Kemudian tersenyum. Senyumnya seakan mentertawakanku. Aku pias.
“Bang…gak di flesh. Tadi datanya disimpan di file computer nomor tiga belas itu. Tadi lupa” Aku menunjuk ke komputer yang ku maksud. Malu. Wajahku mungkin sudah seperti tomat sekarang.
“Oo..ya udah. Apa nama file nya?” tidak marah abang itu ternyata. Mungkin dia tau aku anak baru disini. Hihi…nice and cute sekali penjaga warnet itu.
“Tugas gaul 1,2,3,” aku semangat.
Mesin printer bekerja dengan baik. Tugasku selesai diprint.
“Berapa Bang?”Tanyaku.
“Hitunglah sendiri, “ perintahnya. Nah lho? Mau tidak mau aku menghitung tugas itu. Ya hitung-hitung membantu abang penjaga warnet yang handsome ini. Hehe.
“Sembilan belas lembar, Bang”.
“Oya? Kalikan dua ratus lima puluh.” Lho kog? Tapi ya sudahlah, aku melakukan apa yang disuruh si Abang. Dikepalaku bergelayutan perkalian. Dua ratus lima puluh dikali sembilan belas. Sembilan kali nol sama dengan nol. Sembilan kali lima sama dengan empat puluh lima. Disisip empat. Sembilan kali dua sama dengan….what? tak sengaja mataku beradu pandang dengan si abang penjaga warnet itu. Perkalianku buyar. Grogi. Dan penjaga warnet itu tidak berusaha menyebutkan berapa angka yang harus kubayar. Sial. Aku memang lemah di matematika. Bahkan nilai matematikaku dari es-de sampai es-em-a tidak pernah lebih dari 6. Enam adalah angka paling tinggi. Tapi masak iya aku tidak tahu perkalian anak es-de seperti ini. Aku berharap bisa sehebat Hanif sekarang, kawan es-em-a ku dulu yang selalu juara umum.
Tet..tet..
Handphone ku bergetar. Aku kaget. Syukurlah. Ponsel ini menyelamatkanku. Sebuah pesan dari Asty, sahabatku. Menanyakan apakah tugas yang diberikan Pak Dul itu sudah kucari. Yah, ini adalah tugas kelompok. Aku ingat sesuatu sekarang. kalkulator! Ini dia. Kenapa tidak dari tadi sih…Hhe. Aku langsung mengalikan.
“4750,” kataku.
Orang-orang memandangku aneh. Hmm… apa suara ku terlalu keras ya. Biar sajalah. Aku memberikan uang seribu-seribu lima pada penjaga warnet itu. Ia memberikan kembaliannya. Aku tak berhenti menatap senyuman abang penjaga warnet itu. So sweet euuyy. Bahkan sampai dkos pun masih belum bisa kulupakan. Hmmm…
###@###
Kenapa hatiku cenat cenut setiap ada kamu
Selalu….
U know me soel…
Girl I need u, girl I love u, girl I heart u…
I know u soel..
Girl I need u, girl I love u, girl I heart u…
Entah sudah berapa kali alarm di handphone ku berbunyi. Selalu saja kumatikan. Abang..eh, ikhwan penjaga warnet itu masih terbayang-bayang olehku. Ya, kata Kak Ifa penjaga atau operator fresh net itu adalah mahasiswa. Mereaka adalah anak-anak rohis kampus yang kuliah nyambi kerja. Hitung-hitung nambah uang saku dan ngeringanin beban orang tua, begitu kata Kak Ifa mengutip pernyataan salah seorang temannya yang juga bekerja di fresh net. Aku salut. Dua jempol, eh empat jempol untuk mereka. Dan aku semakin kagum pada ikhwan penjaga warnet itu.  Inikah yang dinamakan cenat cenut cinta? Hhii..aku senyum-senyum sendiri. Lebay. Pukul setengah enam lewat lima. Kulihat Kak Ifa dari kamar mandi. Senyumku buyar. Ia menyuruhku sholat. Rasanya masih enggan meninggalkan kasurku yang empuk ini. Kurang dari lima menit aku selesai membereskan tempat tidur.
Aroma kegiatan telah tercium dikompleks kos. Setiap kamar kos aktifitasnya berbeda. Deburan kecil air, berpadu dengan denting-denting piring yang dicuci oleh tangan-tangan terampil. Plus bunyi desau kain yang beradu dengan brosh, dikombinasikan dengan bunyi air yang ditimba lengkap dengan nyanyian-nyanyian si empunya kegiatan. Sungguh sebuah nada yang unik.
Jarum jam bergerak pelan. Padahal sesungguhnya ia begitu cepat. Maka beruntunglah orang-orang yang menghargai waktu. Belok sana belok sini ternyata hari sudah pukul setengah delapan lewat. Pukul delapan lewat lima-lima ada mata kuliah Dasar-Dasar Konseling. Aku bergegas ke kamar mandi. Antri. Ada seseorang didalam. Entah siapa, yang pasti bukan Kak Ifa. Mungkin Kak Dina, anak kos kamar depan. Ya, dari seluruh kamar kos yang ada di kompleks ini hanya kamar kami yang memiliki satu kamar mandi untuk dua kamar. Sayang, aku tidak tahu apa alasan si empunya kos menyatukan kamar mandi ini.
Sambil menunggu seseorang yang kuduga Kak Dina itu keluar, aku mengirim sms pada Asty. Simple, minta bareng berangkat kuliah. Sms terkirim. Orang yang kuduga Kak Dina itu benar-benar Kak Dina ternyata. Ia keluar. Tanpa buang –buang waktu aku segera masuk kamar mandi. Tak peduli Kak Lila yang sedang menyandang handuk didepan pintu kamarnya memandangku tanpa kata-kata. Sory kak. Kita sama-sama telat. Hhe. Byar byur. Selesai.
Asty tiba di kos ku saat aku sedang memasang jelbab. Ia bersama Amy dan Ai. Dua sahabatku lainnya. Kos mereka berdekatan jadi mereka selalu berangkat bareng. Dan kos ku sebelum kos mereka. Jalan ke kampus. Setiap pergi kuliah mereka pasti menjemputku kekos meski kadang tanpa sms dari ku. Aku selesai memasang jelbab. Perfecto. Lets go guys. We go to campus. Sepanjang perjalanan kekampus tak ada hal menarik yang kami bicarakan selain pangeran berbaju biru-nya Asty. Ya, Asty ternyata diam-diam suka pada kakak firqah-nya ketika marhaban (baca: ospek). Ia sibuk mencari-cari alamat facebook sang pangeran. Dan kami juga ikut  membantu. Sayang, sampai sekarang belum bertemu.
A little bit about my friendship. The first, Asty. Aku kenal dia pada mata kuliah intensif bahasa inggris. Masih awal-awal kuliah waktu itu. Dosen pengampu mata kuliah itu menugaskan kami membuat sebuah dialog. Dan aku dipasangkan dengan Asty. Asty orangnya ramah. Tidak sombong. Dan kami cocok. Jadilah kami bersahabat sampai sekarang. next, Amy. Dia dari Bengkulu. Aku sering bertanya-tanya tentang bengkulu padanya. dan juga alasannya memilih kuliah jauh dari orangtua. Amy, dia adalah seorang anak broken home. Masa es-em-pe dan es-em a dihabiskannya di Padang Panjang. Sekolah jauh dari orang tua adalah sebuah pilihan yang harus dilakoninya. Ayahnya menghendaki ia menjadi seorang anak yang mandiri dan tahu agama. Dan Padang Panjang adalah pilihan yang ada difikiran sang ayah waktu itu. Kalimat inilah yang selalu dikatakan Amy” anak broken home tidak selalu berperilaku negatif, contohnya aku”. Dan kami selalu memberikan applauss padanya setiap kali ia selesai mengatakan itu. Salut. Sungguh, ia memiliki motivasi yang begitu kuat dari dalam dirinya. Kupikir ia pasti akan menjadi orang hebat. Minimal untuk sang ayah.
And the last one, Ai. Tidak bisa dipungkiri, berasal dari kota yang sama adalah faktor utama kedekatan kami. Ai menghabiskan masa es-em-a nya di Padang Panjang. Sama halnya Amy, tapi di sekolah yang berbeda. ia lebih dulu mengerti bagaimana suka duka anak kos. Berbeda tiga ratus enam puluh derjat denganku. Aku baru sekarang merasakan bagaimana rasanya kos, jauh dari orangtua. Untung ada Kak Ifa, kalau tidak sudah bisa dibayangkan aku menangis bombay setiap malam. Hiks…lebayy.
Tak terasa ternyata kami tiba dikampus. Kami langsung menuju gedung I 3. lantai bawah pustaka. Dulu, waktu masih es-em-a ketika libur sekolah aku juga sering di ajak Kak Ifa kekampus ini. Ketika Kak Ifa kuliah, aku sering keperpustakaan sendiri. Memanfaatkan komputer pustaka yang sudah menggunakan jaringan internet. Memang kampusku sudah memiliki hotspot yang juga bebas di akses mahasiswa sekitar kampus. Dulu ini sangat hebat menurutku. Ini juga salah satu alasan kenapa aku memilih kuliah disini. Tapi aku tak pernah menduga ada sebuah lokal dibawah pustaka ini. Ruangannya lumayan besar. Berkapasitas empat puluh orang mahasiswa kurang lebih.
Teman-teman sekelasku sudah datang lebih awal. Mereka duduk-duduk didepan kelas. Untunglah kami tidak terlambat. Tidak lama kemudian datang Bu Hana, dosen pengampu mata kuliah ini bersama dengan asistennya. kami memasuki ruangan. Dan aku lupa menceritakan tentang ikhwan penjaga warnet itu kepada sahabat-sahabatku. Padahal planningku ikhwan penjaga warnet itu adalah headline news pagi ini.
Bu Hana membagi kami menjadi sembilan kelompok. Sesuai dengan materi hari ini, layanan konseling. Sepanjang mata kuliah Bu Hana pikiranku hanya tertuju pada sang ikhwan. Aku tidak begitu mendengarkan jalannya diskusi. Tidak juga saat kelompok ku tampil. Beruntung ada kakak-kakak senior semester sembilan yang mengambil mata kuliah di kelas kami. Mungkin nilainya c, d , atau d sehingga dia harus mengulang. Sepertinya mereka yang menyelamatkan kelompok ku ini. Thanks bro. kulihat Asty, dia sama seperti ku. Mungkin dia juga sedang memikirkan pangeran berbaju biru-nya itu. Hanya Amy dan Ai yang kulihat serius. Ai bahkan mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya didepan kelas. Juga menjawab beberapa pertanyaan. Hebat dia.
Jam habis. Mata kuliah tiga sks itupun berakhir. Setiap orang seakan ingin mencapai pintu keluar lebih dulu. Aku membiarkan semua mereka. Tak ingin ikut serta dalam arus berdesak-desakan itu. Apalah arti seorang mahasiswa jika budaya antri, hal semudah itu saja tak bisa dilakukan. Pantaslah negara ini tak pernah besar, karena ternyata orang-orang berpendidikan itu sendiri  tak menyadari arti sesuatu yang terlihat sepele. Aku menarik nafas. Pantas orang-orang seperti gayus tambunan itu menjamur di negri ini. Lho kog? Aku senyum-senyum sendiri. Apa hubungannya ya budaya antri dengan gayus tambunan. Hhe.
Ketiga sahabatku menunggu di luar kelas. topik pembicaraan mereka telah berubah. Kali ini the hot news adalah kosma (baca: ketua kelas). aku bahkan tak ada dalam pembicaraan ini. Amy memulai pembicaraan.
“Gila juga ya tuh si Hadi. Lagaknya dah kayak anak semester sembilan aja. Hebat. Kapan ya kita seperti dia.”
“Makanya belajar semprot Asty.“ Aku mulai mengikuti arah pembicaraan.
“Iya beneran hebat lho dia. Bayangin aja, bahkan dia dapat pujian dari Bu Hana ckckck.” Aku tidak tahu soal yang satu ini. Hmm..hebat juga ya dia.
“Ah..gak kog biasa aja. Lu hebat juga lagi Ai.” Hmm…mending aku memuji sahabatku sendiri.
Ai merendah tak suka dipuji. inilah karakter sahabat-sahabatku. Dan aku semakin salut pada mereka. Tiba-tiba…
“Kosmaku hebat…kosmaku sayang. Kosmaku hebat kosmaku sayang. “ Amy menynyi-nyanyi. Suaranya bahkan terdengar olehku yang berada lima langkah dibelakangnya. Bocah edan. Dan yang terjadi berikutnya sudah bisa ditebak. Lol. Laughing out load. Dan edannya lagi, Asty ikut-ikutan bernyanyi. Seperti paduan suara. Dan aku tidak bisa untuk tidak tertawa. Ya, membuat orang tertawa adalah salah satu kelebihan lain dari mereka.
Aku baru saja ingin menceritakan tentang ikhwan penjaga warnet itu pada Ai, ketika Ai memegang tanganku kuat.
Ada apa sih… “tanyaku.
“I…itu..”
“Itu itu apaan.”
“Itu lho, Fi…” aku mengikuti telunjuk Ai. Deg. Jantungku marathon. Itu kan ikhwan penjaga warnet-ku. Ada apa ya, Ai menunjuk-nunjuknya. Jangan-jangan…aku ngeri membayangkan Ai juga suka pada sang ikhwan. Tabuh perang belum selesai dibunyikan, tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Ya dialah Ai. Ia lebih segala-segalanya dariku. Ia cantik dan juga pintar. Hiyy..aku bergidik. Semoga bukan ini maksudnya.
Kami tiba didepan fresh net. Ai mengajak kewarnet. Sudah lama tidak update status, katanya. Semua setuju. Aku mungkin yang paling setuju. Hhayy. Melongok kedalam, beruntung ada empat komputer kosong. Aku memilih sebuah komputer, komputer nomor tiga belas. Di sudut. Ini strategis. Aku bisa melihat ke sekeliling ruangan. Bahkan ikhwan penjaga warnet itu berada dalam pengawasanku sekarang. Aku buka facebook. Online dengan manusia-manusia dunia maya. Tapi sang ikhwan tetaplah fokus utama. Hmm..kata guru alqur’an hadistku dulu, ini namanya ghadul bashar. Ya gimana lagi…begitulah cinta, ia bahkan bisa melangkahi norma agama. Dan biasanya pada saat seperti inilah pihak ketiga alias syaithon ikut campur pula.
Baru sebentar mataku beranjak dari sang ikhwan ketika kembali aku sudah tidak menemukannya lagi. Hmm…kemana ya dia? Aku beralih ke layar facebook. Sebuah pesan baru dari ai.
Sweety AaYi: aaaaaaaaaaa
Fhy cute: npa?
Sweety AaYi: fi…grogi nih
Fhy cute: ???/
Sweety AaYi: lihat sini dong. K Comp  numb 18. disamping q…
            Aku melongok. Astaga…ternyata ikhwan penjaga warnet ku menggunakan komputer itu. Aku melihat kemeja operator, sudah berganti dengan yang lain. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi. Duuh..gusti.
Fhy cute: JELOUS
            Sweety AaYi: hihihi……..
bkan wktu x cnda
Q serius ni,,
grogi banget euuyyy
            Ihh…ni anak gak  ngerti apa orang serius. Aku gak suka Ai.
            Fhy cute: udahan yuuuk
            Sweety AaYi: lho kog?
            Fhy cute:  iy…udahan.
     Lupa ya ntar lagi qta kul sma pak jojon,
     ntar telat lho
     Dah jam brpa nih
            Sweety AaYi: pak dul kalii…
                                    Iya deh buk..
            Fhy cute: bilang sm asty n amy…keey
            Sweety AaYi: siip dah
            Fhy cute: ^_^
Aku segera log out. Dan langsung membayar kemeja operator. Empat ribu rupiah. Aku menunggu mereka diluar. Setelah mereka selesai, kami langsung ke kampus. Tidak pulang, karena mata kuliah pak dul sebentar lagi. Di perjalanan kekampus, ai sibuk bercerita tentang ikhwan penjaga warnet itu. Dan juga tentang perasaannya. Ai dan asty menanggapi, kadang diselilingi cekikikan. Aku diam. Kesal. Aku benci Ai. Sekarang, mana mungkin aku ikut-ikutan bercerita tentang sang ikhwan. Ntar apa tanggapan mereka. Sahabat macam apa aku ini. Sebenarnya ini juga salahku, seandainya aku yang duluan menceritakan semua itu. Pasti kejadian nya bukan seperti ini, karena aku tahu siapa Ai. Dia bukanlah tipe teman makan teman.
Tidak lama kemudian pelajaran Pak Dul dimulai. Aku tidak bisa konsentrasi. Tiba-tiba Asty menyikut ku.“Napa? Sakit?”
“Heehh..gak kog. Ni lagi mikir aja. Bener pa gak ya apa yang dibilang Pak Dul itu”
“Yeee… “ Asty kembali berkonsentrasi.
Aku bahkan tidak sadar kalau pelajaran telah berakhir. Sepanjang perjalanan pulang yang kupikirkan hanya Ai dan ikhwan penjaga warnet itu. Ai, ikhwan. Ai, ikhwan. Semakin kupikirkan, nama mereka semakin cocok rasanya. Aku makin kesal. Untung diantara mereka tidak ada yang menyadari itu.
Setiba dikos aku langsung memburu Kak Ifa dengan ceramah-ceramah tidak jelas. Kak Ifa yang sedang tidur-tiduran ku buat kaget. Tanpa harus menunggu pertanyaan Kak Ifa, aku langsung menjelaskan semuanya panjang lebar. Dari A sampai Z. Kak Ifa manggut-manggut. Tapi ekspresi yang muncul kemudian tak pernah kuduga. Laughing out load. Nah lho? Bahkan Kak Ifa sampai keluar air matanya. Aku makin kesal. Apanya yang lucu coba. Sedikit berbela sungkawa kek. Huuh. Menyebalkan.
“Dimana lucunya ya,” aku tak bisa menyembunyikan kekesalanku.
“Ya iyalah lucu. Adik ku sayang yang manis yag cantik yang pintar. Gini ya…ikhwan penjaga warnet mu itu suami orang.”
“Masak siih” aku kaget sperti kesambar petir. Tapi kemudian aku yang tertawa.
“Hhha…rencananya sih aku isterinya” aku ikut-ikutan bercanda.
Tapi ternyata Kak Ifa serius. Ia menceritakan semuanya tentang sang ikhwan. Kak Ifa tahu, karena mereka seangkatan tapi beda jurusan. Dan isteri ikhwan penjaga warnet ku itu adalah teman Kak Ifa. Air mataku luruh. Perih. Pantaslah selama ini setiap kali aku melihatnya dia tidak pernah melihat balik padaku. Aku salah sangka, ternyata senyumnya yang dulu bukan untuk ku. Tapi untuk kebodohanku. Aku malu. Bahkan dua ekor murai yang sedang bertengger di atap kos itu seakan mentertawakanku. Bunyi cicitan mereka terdengar seperti mencemooh ku. Duuh.

Aku akan menceritakan semua ini pada Ai. Anggap informasi ini sebagai tanda permintaan maaf ku padanya. Aku menyesal telah membenci Ai, meski itu hanya dalam diam. Aku berharap semoga hal serupa tidak terjadi pada pangeran berbaju birunya Asty. Yah…semoga.