Rabu, 19 Maret 2014

SIMAWANG (PLKP-S Bagian 1)



Annyong... Apa kabarmu my "A Little Note"? . Sudah lama kita tak jumpa bukan? Hampir satu semester lebih aku tak menyapamu, sejak oktober lalu aku menjadi enggan menemui dan malas menatap layarmu bahkan untuk sekedar menuliskan sebuah sapaan kecut. Tapi, malam ini aku kembali. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Jika hidup adalah sebuah cerita yang patut dikisahkan, maka kau adalah pilihan terbaik untuk menampung kisahku. 

Ah, aku merasa kaku untuk memulai. Mungkin ini karena aku  yang membeku  selama beberapa waktu. Aih, waktu yang lalu itu, acap kuhabiskan dengan menonton drama Korea dan serial kartun buatan Jepang. Kecanduanku pada menonton drama impor dari negeri ginseng itu baru diputuskan dengan paksa saat masa PLKPS (Praktik Lapangan Konseling Pendidikan di Sekolah) dimulai.  Terhitung sejak 03 Februari 2014 lalu. Masa-masa PL ini merupakan masa sibuk, terlebih pertengahan Februari lalu Prodi Alhamdulillah juga telah mengeluarkan pembimbing skripsiku, sehingga tak ada waktu untuk berleha-leha meski hanya menonton sebuah drama. Lebay gak ya? Hhe.

Berbicara tentang PL, Alhamdulillah di Sekolah semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Lokasi PL-ku berada di SMAN 2 Rambatan. Di sekolah ini, aku ditempatkan bersama sembilan orang teman lainnya. Baiklah, kusebutkan saja sembilan teman itu satu persatu. Kita mulai dari prodi tertua di STAIN Batusangkar yaitu PAI, ada Zikril Hamdi dan Mira Hendriani. Lalu di Prodi Bimbingan dan Konseling ada saya, Mifta Hatul Husna, Erma Rani dan Feby Pratama. Kemudian  di Prodi Matematika ada Mulia Ismail dan Arif Affandi. Selanjutnya prodi termuda Fisika,  ada Afrizal dan Milanda Linovia. Sementara prodi lain yaitu Bahasa Inggris, Biologi, dan Bahasa Arab tak ditempatkan di lokasi ini. 

Awalnya, aku merasa senang mengetahui bahwa lokasi PL-ku berada di Tanah Datar. Sebab, aku dan keluarga memang berharap agar ditempatkan di lokasi yang dekat dari kos mengingat biaya. Tapi ternyata setelah observasi lapangan, semua tidak seperti yang kuharapkan. SMAN 2 Rambatan berada di Nagari Simawang.
Untuk mencapai daerah ini, total ongkos yang musti kubayar adalah sejumlah 14 ribu rupiah, sama dengan ongkos pulang kampung ke Sawahlunto. Beruntung, ada teman-teman yang membawa motor ke Sekolah, sehingga ketika pulang akhir pekan dan pulang di kala rest, aku bisa menumpang padanya sampai di Limo Kaum. Beberapa teman memilih berulang, tapi tidak bagiku dan dua teman lain. Kami memilih kos di daerah ini. Beberapa pertimbangan yang membuat kami memutuskan untuk memilih kos adalah; Pertama, kondisi cuaca yang tidak menentu dikhawatirkan akan membuat kami terlambat sampai di sekolah. Kedua, sekolah usai pada pukul setengah tiga, jika kami berulang akan terlalu letih sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pembuatan program dan rencana program layanan nantinya.  

Pulang kampung setelah observasi ketika itu, aku telah bertekad akan menghentikan kos yang di Limo Kaum. Membayangkan kos di dua tempat membuat pikiranku melayang pada orangtua di rumah, membayangkan biaya yang akan dikeluarkan nantinya. Belum lagi biaya-biaya untuk tetek bengek lainnya. Mereka yang sudah pernah menjalani masa-masa PPL, barangkali tahu seperti apa dan bagaimana persiapan yang diperlukan untuk Praktik Lapangan ini. Apalagi, saat itu keluarga kami baru saja mambajak dan hujan yang acap turun membuat Abak tidak bisa bekerja seperti biasa. Aku tak ingin membebani orangtua. Tapi, ternyata Amak melarangku untuk menghentikan kos di Limo Kaum. Yang dipikirkan Amak, setelah habis masa PL aku akan tinggal di mana, tidakkah nanti akan sulit untuk mencari kos dengan biaya yang terjangkau dengan tempat yang tidak terlalu jauh dari kampus. Aku menuruti apa yang dikatakan Amak. Malam itu, benar-benar membuatku menitikkan air mata. Bagaimana tidak, Amak telah menyiapkan jauh-jauh hari sebelum masa ini tiba. Belum lagi Nocha yang menurutku malam itu sangat baik sekali. Ia meminjamkan padaku beberapa barang miliknya, diantaranya tas, HP, jelbab, bahkan peralatan rias. Suasana menjadikan malam itu berbeda bagiku.

Minggu pertama, aku dan dua teman lain masih belum nge-kos. Ini karena cukup sulit mencari rumah yang nyaman untuk di huni. Ada banyak rumah yang telah kami coba cari, namun ada-ada saja yang membuat kami tidak jadi menempati rumah tersebut sebagai rumah kami selama tiga setengah bulan ini. Beberapa orang guru di Sekolah ini turut membantu kami mencarikan rumah, salah satunya adalah Bu Nursan yang menjabat sebagai wakil kesiswaan. Hari pertama, kami diberitahu bahwa ada rumah dekat sekolah yang biasa di tempati oleh anak-anak KKN  atau anak PPL. Sebenarnya, kami sudah setuju dengan rumah ini karena ada pemilik rumah yang juga menempati rumah itu. Namun, setelah menunggu selama tiga hari, pemilik rumah tidak menyetujui kami untuk kos di rumah itu dengan alasan sulitnya air. Memang, Simawang dikenal sebagai daerah yang sangat sulit mendapatkan air. Air PDAM hanya mengalir selama dua hari dalam satu minggu. Tidak semua masyarakat dapat menikmati aliran PDAM, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengalirkan air PDAM ke bak-bak rumahnya. Penduduk lainnya terbiasa beramai-ramai mandi dan mencuci ke Luak atau ke Masjid. Lalu, ketika pulang tangan-tangan mereka membawa jerigen atau ember yang sudah penuh terisi air. 

Sebelum itu, kami juga di tawari sebuah rumah oleh Uni kantin ujung Lapangan. Tapi, setelah melihat langsung rumah itu, kami menjadi enggan karena rumah itu sudah lama kosong. Letaknya cukup terpencil, bayangkan saja di sekitar rumah itu hanya ada tiga buah rumah. Dua diantaranya  merupakan rumah kosong, sedang yang satu dihuni oleh seorang kakek yang sudah tua. Meski Uni kantin bilang, bahwa di rumah itu mengalir air, kami enggan.

Selanjutnya, Bu Anik, seorang Guru Biologi di Sekolah itu turut menawarkan pada kami sebuah rumah. Rumah itu sangat besar. Bagian belakang rumah terdiri dari dua tingkat. Sekilas melihat rumah itu, membuat kami bergidik. Tak bisa membayangkan rumah besar tak berpenghuni dengan tujuh kamar tidur itu hanya kami tempati bertiga. Terlebih, di bagian belakang rumah seperti menempel ke dinding terdapat sebuah kuburan. Kuburan lainnya terlihat di bagian samping rumah. Selain sulit air, tampaknya rumah-rumah kosong juga menjadi icon Nagari Simawang. Bayangkan saja, apabila ada tiga buah rumah maka hanya satu diantaranya yang dihuni. Tak bermaksud apa-apa, hanya saja banyaknya rumah kosong di Nagari Simawang disebabkan oleh jiwa merantau penduduknya. Banyak masyarakat yang lebih memilih hidup di Rantau, lalu memperbaiki rumah mereka di Kampung sedemikian rupa meski tak dihuni. Rumah-rumah kosong itu kebanyakan rumah permanen dan sangat layak huni. Namun, bisa jadi rumah-rumah itu menjadi investasi masa tua bagi sang perantau. Jika badan sudah tak mampu lagi mencari nafkah maka pulang kampung adalah hal terbaik, bukankah hasil kerja selama di rantau telah dikumpulkan di kampung?

Kami masih menunggu informasi rumah yang akan dicarikan Bu Nursan, meski ini sudah hari ke-empat. Sembari menunggu informasi itu, kami tetap berusaha mencari rumah-rumah lain yang barangkali bisa kami tempati. Namun, tetap saja tak ada yang benar-benar bisa membuat nyaman dari rona dan aura yang dipancarkan rumah-rumah itu. Salah seorang kawanku seraya berseloroh bilang;  kita bisa melihat dan merasakan sesuatu dari rona manusia, begitupun dari rona Rumah. Lalu kami tertawa. Tepatnya mentertawakan diri sendiri. Entah, bagiku perasaan nyaman pada saat mulai melihat sesuatu pada pandangan pertama sangat menentukan. Termasuk perihal rumah. Dibalik itu, ada rumah yang memang ditinggali penghuninya, namun mereka tak bisa menyewakan sebuah kamar saja, masih karena alasan klasik: air. 

to be Continued ...
  

Teori-Teori Penguat Psikologi Sosial

(Mata Kuliah Psikologi Sosial)
***


A.    Teori Rangsang Balas Untuk Menerangkan sikap
Teori Rangsang balas (stimulus-response tbeory) yang sering juga disebut teori penguat (reivorcement-tbeory) dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala tingkah laku sosial. Dalam sub-bab ini akan dijelaskan bagaimana teori penguat menerangkan sikap (attitude). Yang dimaksud dengan sikap ini adalah kecendrungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia menghadapi rangsang tertentu.
Salah satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan oleh Daryl Beum (1964) yang pengikuy skinner (berpandangan operant). Ia mendasarkan diri pada pernyataan skinner bahwa tingkah laku manusia berkembang dan di pertahankan oleh aggota-anggota masyarakat yang menberi penguat pada indivudu untuk bertingkah laku secara tertentu (yang dikehendaki oleh masyarakat). Atas dasar pendapat Skinner itu beum mengemukakan 4 asumsi dasar yaitu:
1.    Setiap tingkah laku, baik yang verbal maupun sosial adalah satu hal yang bebas dan berdiri sendiri, bukan merupakn refleksi (menggambarkan) sikap, sistem kepercayaan, dorongan, kehendak ataupun keadaan-keadaan tersembunyi lainnya dalam diri individu.
2.    Rangsang dan tingkah laku balas adalah konsep-konsep dasar untuk menerangkan suatu gejala tingkah laku. Konsep-konsep ini hanya dapat didefenisikan dan diukur secara fisik dan nyata (nampak mata).
3.    Prinsip-prinsip hubungan rangsang balas sebetulnya hanya sedikit. Ia nampak sangat bervariasi karena bervariasinya lingkungan dimana hubungan rangsang balas itu berlaku.
4.    dalam analisa tentang tingkah laku perlu dihindari diikutsertakannya keadaan-keadaan internal yang terjadi pada waktu tingkah laku itu timbul, baik yang bersifat fisiologik (kelelahan, lapar dan lain-lain). Maupun yang bersifat konseptual (dorongan, kehendak dan lain-lain.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut beum mengemukakan teori tentang hubungan fungsional (Functional Relationsbip) dalam interaksi sosial. Dalam teori tersebut beum mengatakan bahwa dalam interaksi sosial terjadi 2 macam hubungan fungsional yang pertama adalah hubungan fungsional dimana terdapat kontrol penguat (reinforcoment cotrol) yaitu jika tingkah laku balas (responce) ternyata menimbulkan penguat (renforcement) yang bersifat ganjaran (reward).

B.     Teori-teori Belajar Sosial Dan Tiruan
Dalam kehidupan manusia ada 2 macam belajar yaitu belajar secara fisik (belajar menari,belajar naik sepeda dan lain-lain dan belajar psikis. Termasuk dalam belajar psikis ini: belajar sosial (social learning), dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang-orang lain dalam kontak sosial. Dalam sub –bab ini akan dibicarakan 2 teori tentang tingkah laku tiruan yaitu dari Millerd dan Dollard (1941) dan bandura&Walters (1993).
1)   Teori belajar sosial dan tiruan dari Millerd dan Dollard
Menurut Miller dan Dollard ada 4 prinsip dalam belajar yaitu: dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward), keempat prinsip ini sangat kait mengait dan dapat saling di pertukarkan, yaitu dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi ganjaran dan seterusnya.
Dorongan adalah rangsang yang sangat kuat yang mendorong organisme (manusia, hewan) untuk bertingkah laku. Isyarat adalah rangsang yang menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku balas akan timbul dan tingkah laku balas apa yang akan terjadi.
Selanjutnya Miller dan Dollard menyatakan bahwa ada 3 mekanisme tiruan, yaitu:
a)    Tingkah laku sama (same bibavior)
b)   Tingkah laku tergantung (matcbed dependent bebevior)
c)    Tingkah laku salinan (copying)
2)   Teori preses pengganti
Teori yang dikemukan oleh Bandura&Walters ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas, tetapi bukan syarat yang penting dalam proses belajar sosial.
Disisni yang penting adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah peniru yang menurut Bandura&Walters ada 3 macam yaitu:
a)    Efek mondeling (modelling effek) dimana peniru melakukan melakukan tingkah laku-tingkah laku baru (melaluin asosiasi) sehingga sesuai dengan tingkah laku model
b)   Efek menghambat (inbibition) dan menghapus hambatan (disinbibision), yaitu tingkah laku-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model di hambat timbulnya, sedangkan tingkah laku-tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model di hapuskan hambatan-hambatannya sehingga tibul tingkah laku-tingkah laku yang dapat menjadi nyata.
c)    Efek kemudahan (vascilitation effects) : dimana tingkah laku-tingkah laku yang sudah di pelajari peniru lebih muda muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.

C.    Teori-Teori Jual Beli Dengan Penguat Sosial
Berikut ini akan diurauikan bagaimana teori-teori penguat (Reinfor Cement Tbeories) menerangkan hubungan antara 2 orang. Teori-teori ini semuanya beraliran operan. 2 teori yang pertama akan menerangkan hubungan 2 orang (dyadic) yang sejajar, dimana kedudukan orang pertama setingkat dengan kedudukan orang kedua, sedangakan teori yang ketiga akan menerangkan hubungan oarang 2 dimana salah satu pihak lebih berkuasa dari pada pihak yang lain.
1)   Teori tingkah laku dasar
Homans mencoba menerangkan hubungan antara 2 orang dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi (jual beli). Ia berpendapat bahwa proses psikologik yang terjadi pada 2 orang yang saling berinteraksi pada hakikatnya sama dengan proses jual beli dimana kedua pihak saling memberi harga dan mencari keuntungan (profit) untuk itu Homans membatasi diri pada hubungan 2 orang yang menpunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a)    Bersifat sosial : ada aksi-reaksi antara 2 orang.
b)   Untuk tiap aksi (tingkah laku) harus ada ganjaran atau hukuman dari pihak kedua (bukan dari pihak ketiga).
c)     Tingkah laku harus nyata, bukan berupa norma-norma atau harapan-harapan masyarakat.
Ia mengemukakan 5 proposisi (dalil) pada tingkah laku hewan
1)                                                                                                                              Deprivasi dan kejenuhan.
Makin jauh seekor hewan dari rangsang penguat yang diinginkannya (deprivasi) makin tingkah laku hewan itu untuk memperoleh penguat.
2)                                                                                                                              Kadar penguat.
Makin sering suatu tingkah laku yang dapat ganjaran, makin kuat pula tingkah laku tersebut. (makin sering dilakukan) sebaliknya, makin sering suatu tingkah laku mendapat hukuman, makin jarang dilakukan (makin lemah).
3)                                                                                                                              Kontrol rangsang
Kalau kontrol rangsang terjadi pada saat yang bersamaan dengan suatu tingkah laku yang mendapat penguat, maka tingkah laku itu akan timbul lagi kalau rangsang tersebut muncul kembali.
4)                                                                                                                              Hukuman dan ongkos
Hukuman yang tidak dapat dihindari dari suatu tingkah laku di sebut “ongkos” dari aktifitas (tingkah laku tersebut. Ongkos yang tinggi (mahal) akan mengurangi kekuatan tingkah laku dan ini memperbesar kemungkinan terjadi tingkah laku pengganti untuk menggantikan tingkah laku pertama yang mahal ongkosnya itu.
5)                                                                                                                              Tingkah laku emosional
Ditariknya suatu ganjaran akan menimbulkan tingkah laku emosional yang disebut agresi dan adanya ganjaran juga akan menimbulkan tingkah laku emosional yang positif seperti : senang atau gembira.

2)   Teori Basil Interaksi
Premis dasar yang dipakai adalah : interaksi sosial hanya akan di ulangi kalau peserta-peserta dalam interaksi itu mendapat ganjaran sebagai hasil dari kesertaannya. Hasil yang dimaksud disisni bisa bersifat materiil (obyek) atau psikologi (status, kekuasaan, kasih sayang dan lain).
 
3)   Teori Fungsional Interaksi Otoriter
Dalam teori ini Adams dan Romney menggunakan prinsip-prinsip kelaziman operan untuk menganalisa interaksi otoritas, yaiti interaksi dimana salah satu pihak mempunyai kontrol terhadap tingkah laku lain. Mereka menyatakan bahwa interaksi otoritas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a)    Hubungan Otoritas adalah asimetris, salah satu pihak mempunyai kekuatan (power) yang lebih besar.
b)   Hubungan otoritas adalah stabil dalam arti bahwa pihak atasan maupun bawahan akan menduduki posisinya 9dalam interaksi itu) dalam waktu yang cukup lama.
c)    Meskipun dalam masyarakat ada tata cara yang mengatur hubungan otoritas, namun hubungan otoritas itu sendiri terjadi terlepas dari ada atau tidak adanya tata cara masyarakat tersebut.

Referensi:
Sarwono wirawan Sarlito. 2002. Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.

Prasangka Sosial

(Mata Kuliah Psikologi Sosial)
***
1.      Defenisi  Prasangka Sosial
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium, yang pengertiannya mengalami perkembangan sebagai berikut: 1) semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu; 2) dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa,  atau tidak matang; 3) untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional (suka-tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut.
Sherif dan Sherif dalam Alex Sobur, menyebutkan bahwa prasangka adalah suatu istilah yang menunjuk pada sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain berikut anggota-anggotanya yang didasarkan atas norma-norma yang mengatur perlakuan terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Sementara Harding dan kawan-kawan mendefenisikan prasangka sebagai sikap yang tidak toleran, tidak fair, atau tidak favourable terhadap  sekelompok orang.[1]
Prasangka adalah merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaaan seseorang tersebut menjadi anggotanya. Prasangka mengarah kepada evaluasi yang negatif.  walaupun dalam streotip merupakan keadaan yang dapat bersifat positif disamping dapat negatif, tetapi prasangka mengarah kepada evaluasi yang negatif seperti yang telah dijelaskan.
Sedangkan yang dimaksud dengan prasangka sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif  terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi.[2]
2.      Kaitan Prasangka Sosial dan Sikap (Attitude)
Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu lambat – laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan-golongan yang di prasangka itu tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi  orang yang dikenai tindakan-tindakan diskriminatif.
Sikap (attitude) dapat ditrjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Jadi, attitude bisa diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Attitide senantiasa terarahkan kepada suatu hal, tidak ada attitude tanpa ada objeknya.[3]
Jadi, prasangka sosial  dan sikap saling berkaitan karena sikap (attitude) adalah suatu bagian dari prasangka sosial. Dan bagian-bagian dari prasangka sosial itu yaitunya attitude-attitude sosial yang negatif baik terhadap golongan orang  lain maupun terhadap golongan diri sendiri (individu).     
3.      Stereotip
Stereotip merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai  sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang  bercorak negatif akibat tidak lengkapnya informasi  dan sifatnya yang subjektif. Prasangka sulit dipisahkan dari stereotip.  Konsep stereotip pertama kali diperkenalkan oleh Walter Lippman. Ia adalah seorang  komentator politik, melalui bukunya yang berjudul Public Opinion (pertama kali terbit tahun 1922; edisi bahasa Indonesia  diterbitkan Yayasan Obor Indonesia 1998), mendefenisikan stereotip sebagai  “gambaran dalam pikiran” (pictures  in our head) yang menyaring berita-berita, memengaruhi cara seseorang  memandang sesuatu.
Sherif dan Sherif (1969, dalam Koeswara, 1988) mendefenisikan  stereotip sebagai “kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok terhadap gambaran tentang  kelompok lain berikut anggota-anggotanya. Larry A. Samovar  dan Richard  E. Porter dalam Alex Sobur, mendefenisikan stereotip   sebagai persepsi atau  kepercayaan  yang kita anut mengenai kelompok atau individu berdasarkan  pendapat dan sikap yang lebih dahulu terbentuk.
Berdasarkan keterangan Lippman, defenisi Sherif dan Sherif, serta Samovar dan Porter, diperoleh gambaran bahwa stereotip adalah suatu kecenderungan dari seseorang atau kelompok orang untuk menampilkan gambar atau gagasan  yang keliru  (false idea) mengenai kelompok orang lainnya. Gambaran yang keliru itu biasanya berupa gambaran yang tidak valid, bersifat menghina, atau merendahkan orang-orang yang dikenai prasangka dan stereotip, baik dalam segi fisik maupun dalam sifat atau tingkah laku.
Salah satu cara yang banyak dipergunakan untuk menyebarkan prasangka ialah dengan perantaraan stereotip. Kebanyakan stereotip  yang bersifat kurang menyenangi suatu kelompok diteruskan atau disebarkan secara serampangan  dan tanpa banyak dipikirkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk lelucon serta kebiasaan  dalam cara berbicara  ataupun dalam bentuk karikatur.
Menurut Baron dan Paulus dalam Alex Sobur, ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu: pertama, sebagai manusia, kita cenderung membagi dunia ini dalam dua kategori: kita dan mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi  sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakannya, dan menganggapnya homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif  sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang ke dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita tahu banyak tentang mereka (sifat-sifat utama dan kecenderungan perilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami  mereka sebagai individu. Padahal sebenarnya kita tidak mengenal mereka, bahkan mungkin tidak pernah bertemu dengan seorang anggotapun dari kelompok mereka, meskipun kita pernah mendapat informasi mengenai kelompok itu dari kenalan kita atau media massa.
Beberapa contoh stereotip, antara lain: laki-laki berpikir logis; wanita bersifat emosional; yang berkulit hitam pencuri; orang Meksiko pemalas; orang Yahudi cerdas; orang Perancis penggemar wanita, anggur dan makanan enak; orang Cina pandai memasak; orang Batak kasar; orang Padang pelit; orang Jawa lembut pembawaan; lelaki Sunda suka kawin cerai dan pelit memberi uang belanja; wanita Jawa tidak baik menikah dengan lelaki Sunda (karena suku Jawa dianggap lebih tua dari suku Sunda); orang berjenggot fundamentalis (padahal kambing juga berjenggot).[4]
4.      Sumber Prasangka
Prasangka dapat bersumber  baik pada interaksi sosial (hubungan antar kelompok) maupun pada proses yang terjadi dalam diri individu ( dinamika kepribadian ).
a.    Interaksi Sosial
1)      Ketidakadilan
Asal mulanya prasangka rasial yang di awali oleh perlakuan tidak adil dari pihak pemerintah kolonial belanda terhadap penduduk pribumi yang didiskriminasikan dari penduduk keturunan cina.
2)      In group-out group
Prasangka antar kelompok dapat terjadi juga karena adanya perasaan anggota dan non anggota kelompok ( in group-out group). Kecendrungan in group-out group ini sudah terlihat sejak kanak-kanak ( Billig & tajfel,1993 ) dan mudah sekali terbentuk begitu ada pengelompokan tertentu.Dalam permainan pramuka,  pelatihan dan pertandingan sepak bola antar RT, sering kali orang-orang  yang tadinya berteman menjadi bermusuhan selama mereka berperan sebagai anggota kelompok.
Sebaliknya, perasaan in group-out group ini bisa mengatasi prasangka lainnya. Tjun (1990) menemukan bahwa di kalangan siswa pribumi dan non-pribumi nilai stereotip terhadap in group selalu lebih positif dari pada  out group, sedangkan Hastuti (1981) menemukan bahwa karyawan pribumi  yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non pribumi bersikap lebih positif terhadap non-pribumi dari pada pribumi yang bekerja di lingkungan di mana ia sendiri menjadi mayoritas.
3)      Konformitas
Prasangka dapat timbul dari usia anak-anak melalui proses belajar sosial. Anak yang berusia kurang dari 5 tahun lebih cepat menyerap prasangka dari pada anak-anak berumur 8-9 tahun (Baron & Byrne,1994,Aboud,1993). Proses belajar ini merupakan bagian dari proses konformitas individu terhadap lingkungannya.
4)       Dukungan Institusional
Dalam kasus realisme cina di indonesia, baik pemerintah Belanda maupun pemerintah indonesia mengeluarkan berbagai peraturan yang pada dasarnya mendiskriminasikan kedua kelompok etnik. Di Rwanda, pemerintah Belgia mengukuhkan kekuasaan Raja Tutsi untuk memerintah suku Hutu yang mayoritas. Dalam berbagai agama, laki-laki secara sah mempunyai hak lebih dari pada wanita ( Laki-laki dapat menjadi imam, pendeta, statusnya sebagai kepala keluarga, mendapat hak waris lebih besar dan sebagainya.Sedangkan wanita tidak). Di televisi, film-film kekerasan, dan seks seakan membenarkan berbagai prasangka tentang kekerasan dan seks. Semua ini menunjukan bahwa prasangka dapat di timbulkan dan di dukung oleh berbagai institusi yang ada dalam masyarakat.
5). Konflik antarkelompok
Dalam situasi-situasi dimana kelompok-kelompok harus bersaing karena terbatasnya sumber dapat menimbulkan prasangka antarkelompok.
b.        Dinamika Kepribadian
1)      Teori Frustasi-Agresi atau teori ‘’kambing-hitam”
Jika seseorang mengalami frustasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebab dari frustasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan frustasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan agresinya. Inilah sebabnya mengapa Lynching dalam penelitian Hovland & Sears (1940) lebih banyak terjadi di daerah miskin dari pada daerah yang kaya.
2)      Kebutuhan akan status dan merasa memiliki kelompok (sense of belonging)
Faktor penyebab yang satu ini ada kaitannya dengan perasaan in group-out group. Hitler dan Bung Karno sama-sama menciptakan musuh bersama (out group) untuk menggalang rasa saling memiliki antara sesama orang jerman dan bangsa Indonesia (in group).
Bahkan, menurut Harik (1996) anggota-anggota bawahan kelompok militan Hisbullah di Palestina mempunyai kadar keagamaan dan aliansi politik yang rendah. Mereka menjadi militan sekadar setia kawan dan merasa sebagai orang Hisbullah. Pimpinan merekalah yang ekstrem.
3)       Kepribadian otoriter
Adorno, dkk. (1950) melaporkan bahwa dari survei mereka terhadap orang-orang Amerika dewasa pada tahun 1990 ternyata prasangka dan sikap bermusuhan terhadap orang Yahudi selalu bersamaan dengan prasangka dan permusuhan terhadap golongan minoritas lain. Dengan kata lain, orang yang mempunyai prasangka akan berprasangka kepada semua golongan, sementara orang yang tidak berprasangka tidak mempunyainya sama sekali berarti bahwa prasangka lebih disebabkan oleh kepribadian, bukan oleh sikap.
4)      Faktor Kognitif
Seperti sudah dikemukakan diatas, sebagaimana halnya dengan sikap, prasangka dapat bersumber pada skema atau kategorisasi kognitif seseorang.
Demikian pula prasangka dapat timbul karena adanya rangsang yang secara mencolok sangat berbeda dari lingkungannya. Misalnya, orang Eropa di tengah penduduk desa di Jawa Tengah akan menimbulkan berbagai prasangka karena bentuk fisiknya yang lain dari pada yang lain sehingga segera menimbulkan disonansi kognitif. Dalam hubungan ini terjadi proses generalisasi.
Dalam masalah terorisme, misalnya, karena pengalaman beberapa kali menunjukan bahwa teoritas adalah orang islam dan Arab, Islam dan Arab dianggap sebagai teoritas. Bahkan, di Amerika Serikat ternyata orang kulit putih berpendapat bahwa jumlah orang kulit hitam di negara itu adalah 325% dan orang Hispanic berjumlah 21%. Padahal, yang benar adalah bahwa kulit hitam berjumlah 12% dan Hispanic berjumlah 9% saja dari populasi (Gallup pol, 1990).[5]
Akhirnya, kejadian-kejadian yang luar biasa yang kebetulan terjadi bersamaan, juga dapat memicu   prasangka karena terjadi proses menghubungkan antarelemen kognitif.
5.      Ciri Pribadi Orang Berprasangka Sosial
Perkembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya prasangka sosial padanya. Menurut beberapa penelitian psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif, dll.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi 2 kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kita”). Sedangkan out group adalah grup diluar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang menguat.
Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah :
a.       Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seseorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.
b.      Kompetisi sosial
Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik dari kelompok lain.
c.       Penilaian ekstrim terhadap anggota kelompok lain
Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.
d.      Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu
Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotip yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.
e.       Perasaan frustasi (scope goating).
Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka.
f.       Agresi antar kelompok.
Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berprilaku agresif.
g.      Dogmatisme
Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.[6]

6.      Kaitan Prasangka dengan Frustasi dan Agresi
Prasangka  sosial dapat menjelma keberbagai bentuk tindakan-tindakan diskriminatif dan agresif terhadap individu atau golongan. Dalam penggolongannya para ahli prsikologi menejelaskannya dengan sebuah teori yang disebut teori Frustasi yang menimbulkan agresi. Orang akan mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan, akibatnya akan timbul perasaan jengkel atau agresif, perasaan ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada perasaan yang positif tetapi terkadang perasaan itu seringkali meluap-luap dan mencari outlet-nya, jalan keluarnya sampai puas perasaan agresif itu dengan tindakan yang agresif pula. Ketika individu mengalami frustasi yang ingin dipuaskan secara agresif, ia mungkin akan menendang kursi atau memukul apa yaang ada disekitarnya. Selain itu sikap agresi ini akan mudah dilampiaskan kepada golongan-golongan lain yang diprasangkainya akan diserang dengan lebih agresif atau pun sebaliknya, teori ini disebut dengan teori scape-goatism atau teori mencari kambing hitam.[7]
Jadi prasangka itu yang merupakan sikap perasaan terhadap golongan ataupun pihak tertentu akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap individu ataupun golongan lain yang nantinya akan melahirkan sikap-sikap seperti frustasi dan melahirkan agresi, frustasi dan agresi ini adalah suatu sikap yang timbul sebagai akibat dari prasangka.       
7.      Cara Mengatasi Prasangka
Upaya-upaya memerangi prasangka sosial antar golongan itu kiranya jelas harus dimulai pada pendidikan anak-anak  di rumah dan di sekolah oleh orang tua dan gurunya. Sementara itu, sebaiknya dihindarkan pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial tersebut dan ajaran-ajaran yang sudah berprasangka sosial.
Akan tetapi, demikian juga informasi –informasi melalui media massa berperan besar, terutama informasi yang  memberikan pengertian dan kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya, dipertahankannya, dan mengenai kerugian prasangka sosial bagi masyarakat secara keseluruhan dan bagi para anggotanya.[8]
Selain itu, puluhan eksperimen  dengan kelompok kecil telah menyatakan bahwa interaksi antargolongan yang cukup intensif mampu sekali melenyapkan stereotip dan prasangka sosial antargolongan itu.


[1] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 387, 388
[2]Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002), h.84
[3] Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal 160. Cet. I
[4] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 390,391
[5]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.282-289
[6]Ibid., h. 189
[7]. Ibid., h.190
[8]Ibid., h. 191