Kamis, 29 Agustus 2013

Mimpi Amak; Adik Tapanggang (Edisi KKN)



Kembali ke lokasi KKN bukanlah sesuatu yang dirindu. Lebaran usai, menandakan habis pula waktuku di rumah. Rencana awal, kami kembali ke lokasi KKN pada hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013. Namun, terasa enggan untuk kembali. Aku minta pendapat pada seluruh orang rumah, mereka bilang; besok (red; senin) saja kembali ke lokasi KKN. Ini sesuai dengan hatiku.
Aku ingin mengabarkan pada kawan-kawan sekelompok bahwa aku akan kembali ke lokasi hari Senin, bertepatan dengan keinginan itu tiba-tiba Yose sms; bilo baliak ka pariaman Nela? Yose merupakan Koordinator kelompok kami.
Kubalas dengan cepat; nela hari senin buliah pai dek urangtuo nyo yose. Buliah kan?
Aku tak sabar menunggu balasan sms itu. Terasa lama sekali. Maka kukirim sms itu banyak-banyak pada Yose. Entah karena smsku yang sudah terlalu banyak atau karena memang ingin membalas smsku, sebuah pesan masuk dari Yose. Tak apa, katanya. Ia juga akan kembali ke lokasi hari Senin. Alhamdulillah.
Senin pagi-pagi sekali aku berkemas. Ketika sarapan, Amak bilang bahwa ia bermimpi tentang aku. Cerita dalam mimpi itu begini; aku tinggal sendiri di rumah. Namun tiba-tiba saja muncul api yang sangat besar. Amak yang saat itu ada di luar rumah berusaha mematikan api. Amak hanya sendiri, tidak ada seorangpun yang membantu; kata Amak. Mati-matian Amak berusaha mematikan api, tapi Amak gagal. Aku tidak bisa diselamatkan. Adik mati tapanggang, Amak manangih sajadi-jadinyo, sadang manangih-nangih tu Amak tasintak; cerita Amak.
Aku tersenyum dan bilang itu mungkin karena Amak terlalu khawatir aku pergi sendiri ke Pariaman. Kebetulan Tek Anih (adik sepupu Amak dari pihak Ibu yang datang dua hari lalu dari kampung) juga duduk bersama kami, ia berusaha menafsirkan mimpi Amak. Katanya dengan logat bicara khas Bukik Sileh; tu berarti ado nan banci ka adik mah. Uni pi Amak o tu iyo Uni nan madaman api o nyoh. Tapi Amak kemudian membantah tafsiran mimpi ala Tek Anih. Menurut Amak, jika bermimpi tentang anak (baik anak kandung, anak orang lain, yang penting bermimpi tentang anak) selalu dikaitkan dengan tenang atau tidaknya padi di sawah. Tenang yang dimaksud berupa tidak ada gangguan baik hama tikus, belalang, wereng, atau kekurangan air. Entah mana yang benar dari kedua tafsir mimpi itu, yang pasti aku percaya bahwa mimpi adalah bagian dari aktifitas alam bawah sadar yang terjadi saat tidur. Barangkali tak semua mimpi memiliki makna.
Pukul delapan aku sudah naik bus Emkazet ke Bukittinggi. Tiba di Bukittinggi pukul 11 kurang. Memakan waktu sedikit lama, karena bus singgah dulu ke Canduang. Ada enam orang penumpang yang turun di Madrasah Tarbiyah Islamiah Canduang; tiga diantaranya remaja perempuan yang terlihat lebih kecil daripada Ita, sepupuku. Sementara tiga lainnya wanita dewasa. Mereka membawa banyak sekali barang bawaan. Yakinku, tiga remaja itu adalah santri baru di madrasah tersebut, sementara wanita dewasa adalah Ibu yang mengantarkan mereka. Usai mengantar ke-enam penumpang tersebut, bus langsung ke terminal.
Bukittinggi tak ramai, barangkali karena masih suasana lebaran. Aku berkeliling sebentar. Cukup letih, karena aku menenteng beras di tangan walaupun cuma tiga liter. Aku langsung menuju bus Melsy. Penumpang masih sepi; hanya ada sepasang suami isteri muda dan anaknya yang kira-kira baru berusia 6 bulan duduk di kursi depan samping sopir. Pasangan itu tampak sangat muda. Ah, sekarang orang suka sekali menikah muda.
Belum sampai setengah jam duduk, sopir bus menyuruh kami pindah ke Bus Melsy yang lebih kecil. Karena kata sang sopir, bus ini akan berangkat pukul dua. Daripada lama menunggu, penumpang dipersilahkan pindah ke bus yang lebih cepat berangkat.
Kuperhatikan, bus itu jauh lebih kecil. Kaca jendelanya tampak tertutup rapat, kecuali yang dibagian dekat pintu masuk. Penumpang tampak berdesak-desakan. Melihat kondisi yang seperti itu, aku bisa prediksi jika bersikeras naik bus yang itu, mabuk daratku pasti kambuh. Kulihat tempat duduk di samping sopirpun sudah di isi; pasangan suami isteri muda tadi ternyata juga pindah dan duduk di bangku depan.
Aku memilih kembali ke bus pertama yang kunaiki. Dan mengambil tempat di depan samping sopir. Sopir yang menyuruh pindah tadi bertanya padaku; baa ndak jadi pindah diak, oto ko lamo barangkeknyo lai ma, jam duo beko, lai ndak tagageh?
 Ku jawab; ndag baa ghai do, pak. Wak pamabuak, kalau lai di muko lai nio wak, pak. Nyo lah panuah bantuaknyo, pak. Sang sopir sepertinya maklum.
Baru pukul setengah satu.
Menunggu itu membosankan, benar. Nge-net sambil makan friedchicken yang dijajakan pedagang keliling tak ampuh menghilangkan kebosanan. Pukul dua lewat lima bus berangkat. Aku tak bisa lagi menahan kantuk. Ketika terbangun kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, tapi bus baru memasuki Padang Panjang. Macet.
Pukul  lima bus tiba di Lembah Anai. Lagi-lagi macet. Beberapa meter dari air terjun, bus tiba-tiba berhenti mendadak. Ada kerusakan pada rem, minyak remnya kurang; kata si sopir. Bus berhenti. Aku mulai khawatir, tapi kucoba yakinkan hati bahwa bus ini pasti tak kan mogok lama. Kami sebentar lagi pasti berangkat.
Beruntung, di dalam bus ada seorang teman yang juga lokasi KKN-nya di Nagari Campago, tepatnya di Kampung Tanjung. Namanya Dian. Mahasiswi Program Studi Bahasa Inggris. Aku benar-benar bersyukur. Jika sendiri, sedikit banyaknya aku pasti menitikkan airmata. Perjalanan masih jauh.
 Senja mulai turun. Bus tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik. Aku berani jamin, si sopir hanya ahli mengemudikan mobil, tidak halnya dengan memperbaiki. Aku memberi kabar ke rumah. Pun ke lokasi. Aku pasti malam sampai di lokasi. Membayangkan ini, cukup ngeri. Mengingat tak ada transportasi yang dapat digunakan pada malam hari untuk mencapai lokasi KKN yang berada di Kampung Dalam selain ojek. Naik ojek malam-malam seperti ini membuat bulu kudukku meremang. Jalan satu-satunya; dijemput. Maka aku minta tolong pada kawan-kawan yang telah berada di lokasi untuk menjemputku di Simpang Lapai.
Aku ingat mimpi Amak tadi pagi. Inikah maksud mimpi itu? Percaya atau tidak, inilah yang terjadi.  Terbakar adalah sebuah musibah, bus mogok diperjalanan juga sebuah musibah. Aktor utamanya adalah aku. Entahlah.
Sudah pukul setengah delapan. Penumpang sudah banyak berkurang. Mereka lebih memilih mencari sendiri mobil lain. Aku dan Dian juga berencana berangkat dengan bus Melsy lain, namun semua bus yang kami lihat penuh. Penumpang banyak yang tidak mendapatkan tempat duduk. Seorang Ibu paruh baya dengan tujuan Sungai Limau menguatkan kami; sopir bus akan mencarikan mobil lain. Kami bertahan, menunggu bus kembali sehat atau menunggu sang sopir mencarikan kami mobil pengganti.
Seorang penumpang yang tadi duduk di sampingku tiba-tiba mendapat tumpangan; Mobil L300 dengan sebuah sepeda motor terikat di belakangnya. Aku bertanya pada penumpang itu, bolehkah kami ikut menumpang dengannya. Ternyata boleh. Sopir bus tadi memberikan ongkos kami pada sopir mobil L300. Penumpang yang tinggal hanya delapan orang dewasa dan tiga anak-anak. Semua akhirnya ikut menumpang. Jadilah kami berangkat ke Pariaman dengan menggunakan L300. Ahamdulillah. Beruntung malam itu hujan tak turun.
Sopir L300 orang yang baik. Ia bersedia mengantar penumpang sampai ke tujuan. Berhubung lokasi KKN-ku lumayan jauh, aku dan Dian minta diantar sampai ke Simpang Toboh; Simpang terdekat mencapai Nagari Campago. Kami sampai di sana pukul 10 malam. Aku berterimakasih pada Yose dan Icha yang telah bersedia menjemputku malam itu.
Bagiku dan barangkali juga Dian; ini adalah pengalaman menarik lain yang kutemui selama masa KKN. Lagi-lagi, sebuah pengalaman yang tak akan pernah dilupakan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar