Rabu, 28 November 2012

A little note (1)


Aku memperhatikan perempuan itu, umurnya dua tahun di atasku. Ia, barangkali adalah salah satu dari sekian banyak wanita-wanita tegar di dunia. Hidup baginya adalah keberartian yang sangat, meski derita acap menghampiri. Mendengarkan kisah hidup yang dituturkannya membuat kita terbawa emosi. Lahir tanpa mengenal ayah kandung, ketika baru merasakan kedekatan dengan Ayah, sang ayah meninggalkannya.  Dari kecil, ia hanya hidup dengan nenek dan kakek. Ibu, pergi merantau bersama ayah tirinya. Ketika berusia dewasa inilah ia benar-benar merasakan bahwa Ibunya benar-benar ada disampingnya. Hidup dengan ayah tiri, tentu bukanlah sesuatu yang menyenangkan, terlebih dengan kehidupan keluarga yang serba pas-pasan membuat perempuan itu harus pula berpikir keras untuk bertahan hidup di rantau selama menjalani kuliah. Ia, tak mungkin membebankan semua itu pada punggung renta ibunya.

Ah, aku bahkan merasa kehidupanku tak seberat apa yang dirasakannya. Meski keluarga kami adalah keluarga sangat-sangat sederhana, jika tak elok dikatakan miskin. Tapi aku masih bersyukur memiliki orangtua yang lengkap. Aku bersyukur belum pernah merasakan pahitnya ber-ayah tiri, atau ditinggal ibu karena pergi merantau. 
 
Disela-sela kuliah yang padat, ia masih menyempatkan diri untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan. Bahkan sebagian biaya hidup selama kuliah ini, ia yang membiayai dengan menjahit dan mengajar les. Salut. Sedang aku, hanya menampung uang pemberian dari orangtua. Ingin rasanya aku tak lagi meminta pada orangtua, tapi ketiadaan keterampilan menyurutkan niatku. 

Terbayang bagaimana wajah Amak, dan bisikan lirihnya, "imaik-imaik pitih yoo, Nak."  Amak tak pernah mendongkol sesering apapun aku pulang dan meminta. Begitupun Abak. Bagi mereka pendidikan kami, anak-anaknya,  adalah hal utama. Keinginan mereka, aku dan uni menjadi sarjana, menjadi orang yang berpendidikan.

Dan aku, akan mewujudkan keinginan mereka. Meletakkannya dalam urutan pertama.

Minggu, 18 November 2012

Wanita itu Hebat

Adakah yang tidak setuju jika saya katakan bahwa wanita itu piawai dalam menyambi?

Tulisan ini Berangkat dari kegiatan yang sehari-hari biasa dilakukan, seperti pagi ini. Usai sholat shubuh (saya terlelap sebentar di atas sajadah),  mulai menjerang air untuk segelas teh. Sembari menunggu air di jerangan mendidih, saya membersihkan magic dan mulai menanak nasi. Air di jerangan belum juga mendidih, saya kemudian memotong-motong tempe, mengiris bawang, dan membersihkan ikan teri yang dibeli kemaren sore di pasar.  Kegiatan itu selesai berbarengan dengan mendidihnya air di jerangan. Saya mengangkat periuk jerangan air, dan menggantikan posisi periuk dengan kuali. Sembari menunggu minyak di dalam kuali panas, saya mulai menyeduh teh, dan membiarkannya hingga suam-suam kuku.
Minyak telah panas, sayapun menggoreng tempe. Sembari menunggu tempe masak, saya menghidupkan nb, dan berselancar sebentar di dunia maya. Sesaat kemudian, saya kembali pada tempe di penggorengan, ternyata tempe belum masak, saya kembali pada layar nb. Saya kembali untuk yang kedua kalinya ke penggorengan, tempe itu telah menguning, dan masak.
Ikan Teri mendapat giliran di goreng setelah tempe. Sembari menunggu Ikan-ikan teri tersebut masak, saya kembali ke layar nb, dan minum teh yang sudah suam-suam kuku. Melongok sebentar ke penggorengan, ternyata Ikan Teri tersebut belum juga masak, saya kemudian mengambil sapu dan mulai menyapu kos. Saya kembali menjenguk gorengan saya, tenyata telah masak. Setelah mengganti minyak dengan yang baru (minyak tersebut berwarna keabu-abuan karena menggoreng teri), saya mulai menggoreng bawang. Untuk bawang, saya tak meninggalkannya, takut hangus karena bawang cepat matang. Bawang telah menguning, saya mulai menggoreng cabe.
Sembari menunggu cabe masak, saya kembali ke layar nb. Tingkat kematangan cabe, lumayan lama. Tapi harus sering di 'kacau-kacau' karena kalau tidak, akan gosong. Maka, jadilah saya bolak-balik dari nb ke cabe. Setelah cabe masak, saya memasukkan tempe dan ikan teri dan meletakkannya pada sebuah wadah. Pada titik ini, ternyata nasi juga telah masak.
Kemudian saya memutuskan untuk membersihkan diri, sembari ini saya juga mencuci pring bekas makan tadi malam dan semua yang kotor akibat masak memasak tadi, setelah mencuci piring langsung mencuci beberapa potong pakaian.
Usai melakukan kegiatan itu, saya kembali membuka layar nb. Sembari membersihkan diri dan cuci mencuci tadi, tiba-tiba saja terbersit ide tentang tulisan ini.
Ini adalah contoh kecil yang dilakukan seorang wanita dalam hal sambi menyambi. Bagi Wanita yang telah memiliki putra-putri, barangkali yang mereka sambi adalah buah hati mereka, bukan layar nb seperti yang saya lakukan.
Saya kemudian teringat pada Amak (panggilan saya kepada ibu), barangkali dulu ketika saya dan uni (panggilan saya kepada kakak) masih kecil-kecil, inilah yang beliau lakukan. Kami (saya dan uni) hanya berselisih umur tiga tahun. Bisa dibayangkan, ketika usia saya 1 tahun, uni berumur 4 tahun. Bagaimana ribetnya Amak menjadi seorang ibu rumah tangga, yang harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti halnya memasak, mencuci, dan lain sebagainya, sedang kami yang masih kecil-kecil itu barangkali tak bisa diam dan acap nakal. Bagaimana ribetnya amak menyambi pekerjaan rumah tangga itu dengan mengasuh kami. Ibu saya dengan ibu-ibu yang lain mungkin saja sama. Sebab, seorang ibu adalah wanita-wanita hebat.
Barangkali tak banyak orang yang memahami dan menghargai hal-hal kecil semacam itu.
^_^


Sabtu, 17 November 2012

Jurnalisme Siber, dari Kota Budaya Ke Kota Wisata Tambang yang Berbudaya



Aku dan Romadoni Azmi ( Pimpinan Umum Idealita, aku biasa memanggilnya ‘Bang Roma’) berkesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik kali ini. Pelatihan yang diadakan oleh LPM Suara Kampus itu bertempat di Kota Sawahlunto. Untuk keberangkatan,  kami berjanji akan bertemu di Simpang Kiambang pukul setengah dua. Akan tetapi, karena beberapa hal, aku datang terlambat. Beruntung bus menuju Sawahlunto belum datang. Kami menunggu bus “Emkazet” jurusan Bukittinggi-Batusangkar-Sawahlunto yang biasanya lewat setiap satu jam sekali. Tapi entah kenapa kali ini bus itu terasa lama.
Tak lama kemudian Emkazet pun datang. Kami duduk di bangku nomor tiga dari depan. Tapi karena penumpang banyak yang naik, akhirnya Bang Roma pindah duduk di deretan bangku  paling belakang. Persis dekat jendela. Kukatakan pada Bang Roma bahwa aku ingin singgah dulu di rumah untuk mengambil beberapa perlengkapan. Bang Roma tak keberatan. Bus melaju dengan kecepatan sedang.  Aku terkantuk-kantuk mengikuti irama laju bus.
Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, aku menyuruh sopir  memberhentikan bus  di simpang tiga dekat Masjid Nurul Hidayah Salak. Inilah kampungku. Kami berhenti sejenak di pos ronda karena perutku terasa mual. Dari pos ronda ini tampak jelas bangunan PLTU lama yang sudah tak berfungsi lagi. Bangunan itu berdiri di seberang sungai. Sedangkan di belakang bangunan itu tampak bukit gundul tempat penambangan batubara yang saat ini dikelola pemilik tanah ulayat. Kulihat Bang Roma tampak terkagum-kagum melihat pemandangan itu. Sesekali ia mengambil beberapa gambar dengan camera digital milik redaksi yang kami bawa.
Untuk mencapai rumah, kami harus berjalan lebih kurang lima menit dari simpang tiga ini. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan Etek (adik ibuku) yang kebetulan mengendarai sepeda motor. Beliau membawakan ransel Bang Roma yang terlihat sangat berat.  Sementara tasku yang tidak terlalu besar dibawakan oleh Bang Roma. Kami berjalan dengan santai. Tak lama kemudian kami sampai di rumah. Aku mengambil beberapa perlengkapan. Setelah sholat ashar, kami pun pamit pada ibuku.
 Dari kampungku, kami harus naik angkot lagi untuk mencapai tempat pelatihan. Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut se-Sumatera ini berada di Desa Sapan, tepatnya di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Sawahlunto. Lima belas menit perjalanan, kami sampai di Desa Sapan. Menuju SKB, kami naik ojek dengan membayar sebesar dua ribu rupiah.  Kata panitia, sudah ada beberapa peserta yang tiba. Ternyata benar, sesampai di SKB kami disambut oleh Defrizal, panitia pelaksana. Sudah ada beberapa peserta yang datang yaitu kawan-kawan dari Jambi dan Palembang.
Menurut Defrizal, teman-teman yang dari Padang berangkat senja ini. Tak lama kemudian datang peserta dari LPM Dinamika IAIN Sumatera Utara yaitu Siti Nurjanah T, disusul 2 teman lainnya yang berasal dari LPM yang sama. Karena hari mulai beranjak maghrib kami dipindahkan ke kamar yang disediakan khusus untuk wanita. Karena awalnya kami meletakkan barang di deretan kamar pria.  Kami melaksanakan sholat magrib dan melepas penat sembari menunggu kawan-kawan dari Padang. Menjelang isya, kawan-kawan dari Padang sampai. Pukul 22.00 WIB kami berkumpul di aula untuk acara perkenalan.
Ada 36 peserta dari 18 Perguruan Tinggi yang mengikuti pelatihan ini. Mereka antara lain: ESPN (STAIN Bukittinggi) satu peserta, Gerbang (Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat) dua peserta, SKK Ganto (Universitas Negeri Padang) dua peserta, Idealita (STAIN Batusangkar) dua peserta, Ukhuwah (IAIN Raden Patah Palembang) dua peserta, Wawasan Proklamator (Universitas Bung Hatta Padang) tiga peserta, Gelora (Universitas Sriwijaya Palembang) satu peserta, Suara Al-Muslim (Universitas Al-Muslim Aceh) dua peserta, Suara USU (Universitas Sumatera Utara) dua peserta, Patriotik (Universitas Batanghari Jambi) dua peserta, Teropong (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) dua peserta, Dinamika (IAIN Sumatera Utara) tiga  peserta, Suara Kampus (IAIN Imam Bonjol Padang) tiga peserta, Galang (STIE Dharma Andalas) dua peserta, Teknokra (Universitas Lampung) satu peserta, Al-Itqan (STAIN Bukittinggi) dua peserta, Detak (Universitas Syah Kuala) satu peserta, dan STMIK Indonesia dua peserta, serta satu peserta dari jurusan jurnalistik IAIN IB Padang non LPM.
Usai perkenalan, panitia memutar film dokumenter LPM Suara Kampus. Lampu dimatikan. Peserta menikmati film tersebut dengan hikmat. Hari telah beranjak malam. Setelah dibagikan jadwal dan silabus acara, kamipun beristirahat. Ternyata, dimasing-masing pintu kamar telah tertempel nama kami. Dan aku harus pindah dari kamar semula.
Esoknya, setelah sarapan kami berkumpul di aula. Di silabus tertera jadwal pagi ini adalah acara pembukaan. Ternyata di ruangan telah hadir Walikota Sawahlunto, Ir. H. Amran Nur. Acara berjalan longgar karena menunggu Pembantu Rektor III IAIN IB Padang yang sedang diperjalanan menuju lokasi acara. Sembari menunggu, kami dihibur oleh penampilan musikalisasi puisi oleh Yeni Purnama Sari dan Adil wandi, kru Suara Kampus. Peserta dibuat terpana oleh alunan merdu suara Yeni Purnama Sari. Tak lama kemudian yang ditunggu pun datang. Maka dimulailah acara pembukaan pagi itu. Acara dibuka secara resmi oleh Pembantu Rektor III IAIN IB Padang.  Acara ini merupakan kerjasama LPM Suara Kampus dengan kabarkampus.com, semen padang, dan pemerintah daerah Kota Sawahlunto. Usai pembukaan acara, peserta yang belum melakukan registrasi disilahkan untuk melakukan  registrasi. Masing-masing peserta mendapatkan seminar kit.
Pukul 13.00 WIB, acara dilanjutkan dengan seminar “Jurnalisme Siber dalam Fenomena New Media”. Seminar yang tidak jadi dihadiri oleh pelajar se-Kota Sawahlunto itu menghadirkan Nezar Patria (VIVAnews.com) dan Furqon Amc ( kabarkampus.com) sebagai narasumber.  Malamnya, acara dilanjutkan dengan diskusi pers mahasiswa di Indonesia. Selain Nezar dan Furqon, diskusi pers mahasiswa ini juga menghadirkan Hendra (ketua ASPEM Sumbar).
Minggu, (04/03/2012) kami disuguhi dengan materi-materi tentang mekanisme kerja di media online yang di sampaikan oleh Nezar Patria, pedoman pemberitaan media online dan ancaman hukum bagi persma yang disampaikan oleh Hendra Makmur ( ketua AJI padang dan Wartawan Media Indonesia). Kemudian bersama Furqon Amc, kami dikenalkan dengan portal berita kabarkampus.com.  Sedangkan senin, (05/03/2012) kami diajari teknik menulis di media online, mendiskusikan beberapa karya jurnalistik, dan malamnya bersama Syofiardi Bachyul (wartawan the Jakarta) kami menambah ilmu tentang manejemen redaksi.
Keesokan harinya, setelah mencicipi materi dari Rika Cheris dari Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto, kami mengunjungi beberapa objek wisata sejarah yang ada di Kota Sawahlunto. Diantaranya makam M. Yamin, Lubang Mbah Suro dan Gedung Info Box, Museum Gudang Ransum, dan Museum Kereta Api. Rencananya kami juga akan mengunjugi Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah yang terletak di sungai durian, akan tetapi karena disana sedang ada rapat, kami tidak diperbolehkan masuk. Sementara di Museum Gudang Ransum peserta juga tidak sempat masuk karena waktu yang sangat singkat.
Kunjungan ke beberapa objek wisata ini dalam rangka lomba penulisan feature. Lomba ini mengangkat tema “kota wisata tua”, dengan panjang tulisan minimal 3000 karakter. bertindak sebagai juri adalah Humas pemda Sawahlunto dan Andri El Faruqi (Wartawan Tempo). Sorenya, kami kembali ke SKB. Dan mulai menulis. Karena listrik mati, peserta tidak bisa menggunakan laptop. Maka panitia memberi kelonggaran waktu penulisan hingga pukul 21.00 WIB. Padahal rencananya deadline pukul 17.00 WIB. Bagi peserta yang tidak mengumpulkan tulisan tepat waktu, maka ia gugur mengikuti lomba penulisan feature ini.  Tepat pada waktu yang telah ditentukan kami mengumpulkan tulisan tersebut. Termasuk aku, padahal sebenarnya tulisanku belum selesai. Tapi tetap saja aku kumpulkan. Malam itu, seluruh panitia dan peserta berkumpul di aula. Kami menyampaikan pesan dan kesan selama mengikuti pelatihan. Tak terasa, ternyata ini adalah malam terakhir bagi kami. Lantunan lagu “Malam Terakhir” dari Defrizal membuat suasana semakin syahdu. Malam semakin larut, pukul 22.00 WIB kami beranjak menuju kamar masing-masing.  
Rabu, (07/03/2012) usai sarapan dengan sebungkus lontong, kami berkumpul di aula. Pagi ini adalah acara penutupan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut se-Sumatera. Acara ditutup secara resmi oleh Humas Kota Sawahlunto. Pemenang lomba penulisan feature kemaren juga diumumkan hari ini. Ada enam pemenang, dan pemenang puncaknya adalah Rudy Yansyah dari Teknokra Universitas Lampung. Walaupun dari LPM Idealita tidak ada pemenang, kami tetap bangga telah mengikuti acara ini. berbagi pengalaman dan kenal dengan orang-orang hebat. Itulah sekelumit pengalaman kami, berguru “Jurnalisme Siber” dari kota wisata tambang yang berbudaya ke kota budaya. (Fitria Osnela, Batusangkar  10/03/2012)

Minggu, 11 November 2012

Pembukaan Diri Melalui Johari Window


Jendela Johari (Johari Window) adalah model yang menjelaskan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang diri kita. Model ini penting dalam komunikasi antarpribadi.[1] Johari Window berasal dari singkatan nama kedua perumusnya, yaitu Joe Luft dan Hari Ingham, yang menyajikan sebuah model yang dapat digunakan untuk belajar lebih mengenal diri seseorang.[2] Dimana model tersebut adalah membagi diri manusia ke dalam empat daerah kedirian, yang terlihat dalam bagan berikut:



Ada informasi tertentu tentang diri kita (kekuatan, dan kelemahan) yang diketahui oleh diri sendiri maupun oleh orang lain (daerah I, kedirian yang terbuka). Informasi itu mungkin diterima dari isyarat-isyarat visual, seperti mengenakan pakaian warna merah hari ini, misalnya merasa takut terhadap ular atau memberikan suara untuk seorang calon tertentu dalam pemilihan yang telah berlangsung. Isinya dapat berupa pikiran-pikiran  (kognitif ) atau perasaan-perasaan afektif dan/ tingkah laku- tingkah laku.
Pada waktu yang sama, seseorang mungkin memiliki masalah pribadi, seperti membutuhkan/ memerlukan uang, tapi takut berbicara didepan orang ramai, atau bingung, dan sebagainya yang mungkin tidak ingin untuk mengemukakannya kepada orang lain. Hal ini menggambarkan hanya diri sendiri yang mengetahuinya, sedangkan orang lain tidak mengetahuinya (daerah II, kedirian yang tertutup/tersembunyi).
Disamping itu, mungkin ada informasi lain yang diketahui oleh orang lain, tetapi diri sendiri tidak mengetahuinya. Misalnya, muka menjadi merah, memotong pembicaraan orang lain, atau tubuh gemetar ketika berbicara. Informasi ini diketahui oleh orang lain, sementara diri  sendiri kadang kala tidak mengetahuinya (daerah III, buta diri).
Akhirnya, ada daerah informasi baik diri sendiri maupun orang lain tidak mengetahuinya. Daerah ini disebut kedirian yang tak terungkapkan atau kedirian yang tak disadari. Tujuan dari proses pembukaan diri ini adalah untuk meneruskan perolehan lebih banyak tentang informasi berkenaan dengan diri sendiri (pengetahuan tentang diri), untuk membuka daerah-daerah potensial yang tidak diketahui.
Selama mengembangkan hubungan bantuan dengan orang lain dan mulai mengungkapkan informasi tentang diri. Daerah I secara berangsur-angsur semakin luas dan daerah II menjadi semakin sempit, hal ini merupakan proses timbal balik. Pengungkapan-pengungkapan diri mendorong balikan (feed- back) dari orang lain berkenaan dengan profesi diri. Konsekuensinya, daerah I semakin bertambah luas sedangkan daerah III menjadi semakin sempit. Melalui interaksi pengungkapan dan balikan yang terkombinasi, maka dapat mulai membuka daerah IV, daerah pikiran, perasaan dan tingkah laku yang tidak terjelajahi.
Proses pengungkapan dan pemberian balikan tidak merupakan penceritaan segala sesuatu kepada semua orang. Lebih dari itu, ia meliputi saling tukar informasi yang relevan dengan hubungan bantuan. Misalnya, seseorang mungkin memiliki perasaan malu atau ketidakmampuan yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk berbuat dengan baik dalam situasi sosial. Dengan jelas saling tukar perasaan dan memberikan balikan dari pendengar yang simpatik, maka dapat memperoleh kesadaran tentang bagaimana orang lain melihat dirinya dan pengaruh perbuatan terhadap orang itu. Tidak hanya saling  tukar informasi yang berharga dan menjelaskan kemungkinan kesalahan-kesalahan persepsi, tetapi telah menumbuhkan hubungan yang lebih menyenangkan apabila dilakukan dengan tulus dan jujur.[3]
Sejak seorang individu berusaha meningkatkan kesadaran tentang diri sendiri, tujuan yang hendak dicapai ialah memperbesar bagian “bebas dan terbuka” itu dan memperkecil ketiga bagian yang lain. Proses menjadi sadar tentang diri sendiri dan peningkatan pemahaman  tentang diri sendiri meliputi dua usaha penting. Pertama, individu harus benar-benar berani membuka atau mengungkapkan dirinya kepada orang lain. Kedua, individu harus mau meminta dan menerima balikan dari orang lain tentang bagaimana dia berpengaruh terhadap orang lain, serta bagaimana pula taraf kesesuaian antara tingkah lakunya dan maksud-maksud baiknya.
Keberanian membuka diri seperti tersebut diatas meliputi usaha untuk mencobakan tingkah laku baru saling tukar pikiran dan perasaan dengan orang lain, serta berusaha melakukan hal-hal yang mungkin dirasa sulit. Dengan cara ini, individu mulai mengenal lebih banyak kemampuan-kemampuan dan kelemahan-kelemahannya, serta mengenal bagaimana orang lain memandang  dan memberikan tanggapan terhadap dirinya.[4]


[2]  Munro, e.a, dkk, Penyuluhan (Counselling) Suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) Hal.26
[3]  Syofyan Suri, Komunikasi Antar Pribadi Suatu Tinjauan, (Padang: Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNP, 2000), h. 43-45
[4] Opcit. Munro, E. A, dkk, Penyuluhan (Counselling) Suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h.26