Jumat, 18 Juli 2014

DAMPAK KORUPSI TERHADAP KEADILAN SOSIAL

Oleh Fitria Osnela
(Makalah ini Diajukan Sebagai Syarat untuk Mengikuti LK 2 di HMI Cabang Jambi Pada 10-17 Juli 2011)

A. Pendahuluan
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Menurut hasil survey korupsi yang dilansir dari republika.co.id, Indonesia saat ini urutan 47 terkorup dari 66 negara.[1] Ini jelas membuat miris. Korupsi semakin hari semakin tak terbendung. Banyak sekali kasus-kasus korupsi para pejabat yang sudah terkuak, seperti kasus Gayus Tambunan yang terungkap pada 2010 lalu, kemudian kasus Bank Century pada tahun sebelumnya. Dan yang tak kalah menariknya adalah kasus korupsi Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang resmi menjadi tersangka siang tadi (30/07/11)[2].
Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul ini. Sekaligus penulis ingin membahas dampak yang ditimbulkan oleh korupsi tersebut terhadap keadilan sosial. Menurut penulis, masalah ini harus mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Inilah alasan penulis mengambil judul makalah ini.
B.     Dampak Korupsi Terhadap Keadilan Sosial
1.      Korupsi
Menurut A. Ubaidillah dkk, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara secara spesifik.[3]
 Sementara Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dalam A. Ubaidillah dkk, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.[4]
Dalam segala proses kemasyarakatan, Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:
a.       Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b.       Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c.       Kolonialisme.
d.      Kurangnya pendidikan.
e.       Kemiskinan.
f.       Tiadanya hukuman yang keras.
g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h.      Struktur pemerintahan.
i.        Perubahan radikal.
j.        Keadaan masyarakat.[5]
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan.
Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable).
2.      Keadilan Sosial
Keadilan berasal dari kata adil yang disadur dari bahasa Arab ‘adl, yang  berarti sama. Adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah (tidak memihak). Sementara keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dsb) yang adil: mempertahankan hak dan keadilan masyarakat, keadaan yang adil bagi kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan sosial adalah (segala sesuatu) mengenai masyarakat.[6]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah suatu perbuatan atau perlakuan yang tidak memihak dan tidak berat sebelah.
Keadilan sosial adalah realitas sosial dimana setiap anggotanya memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya.[7]
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan sosial adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terjadi di masyarakat, dimana masyarakat tersebut memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dan dapat diwujudkan secara nyata untuk dapat tumbuh dan belajar pada kemampuan aslinya.
Sementara menurut Mardiatmaja, dalam Eep Saefulloh Fatah, keadilan sosial yaitu keadilan seputar kesejahteraan bersama atau keadilan komuniter, yang berarti keadilan sosial bertumpu pada kepentingan seluruh komunitas manusia; orang diajak untuk lebih memperhatikan mereka-mereka yang lemah dari sudut ekonomi maupun politik, walaupun (atau justru karena) mereka itu tidak mencapai apa-apa untuk diberikan, namun tetap memiliki hak kodrati yang harus dihormati baik oleh komunitas maupun oleh sesama manusia yang bermilik dan berkekuasaan serta berkekuatan.[8]
Maka dampak korupsi terhadap keadilan sosial jelas sekali, korupsi merugikan kepentingan orang banyak, sedangkan yang dimaksud dengan keadilan sosial dalam pengertian diatas bertumpu pada kepentingan seluruh komunitas manusia.
3.      Esensi Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam
Keadilan dalam Islam, adalah keadilan yang didasarkan pada kolektivisme dan individualisme sekaligus. Artinya hak-hak individu diakui sebagai bagian dari kepemilikan pribadi tapi juga hak-hak bersama dan publik diatur sedemikan rupa sehingga bisa terciptanya pemerataan ekonomi maupun sosial.[9]
Dalam pengertian seperti itu, keadilan sosial sangat ditekankan oleh al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, keadilan yang terkait dengan makna keadilan sosial seperti di atas, paling tidak, ada tiga: dalam pengertian persamaan sosial seperti persamaan di depan hukum (QS. 4: 58); keseimbangan atau tidak adanya ketimpangan sebagai asas alam dan sosial dan tidak adanya kezaliman sosial (proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya).
Konsep keadilan sosial ekonomi dalam islam berbeda dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Jika konsep keadilan sosial ekonomi kapitalis tidak didasari komitmen persaudaraan, maka konsep keadilan dalam islam didasari atas konsep persaudaraan universal. Islam menuntut agar sumber daya yang ada di dunia ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Maka islam mengajarkan agar sumber daya didistribusikan secara adil kepada seluruh umat manusia. Islam mengajarkan bahwa semuanya yang ada di dunia ini adalah mutlak milik Allah SWT, sementara manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, sehingga dalam harta yang dimiliki setiap individu ada hak orang lain.
Dalam konsep kehidupan sosial, islam memandang perbedaan taraf hidup manusia sebagai sebuah rahmat dan pengingat bagi manusia agar bagi mereka yang lebih berdaya untuk dapat menolong mereka yang lemah. Harus adanya empati dan simpati terhadap sesama dalam islam. Islam tidak mengajarkan untuk melakukan penjajahan terhadap mereka yang lemah. Karena penjajahan adalah bentuk kezaliman terhadap manusia lain.[10]
Dalam perspektif Islam, keadilan sosial, bisa terwujud dalam kehidupan nyata manakala dialektika nilai-nilai al-Qur’an dan kehidupan sosial terus bisa dipertahankan.
4.   Dampak Korupsi terhadap Keadilan Sosial di Indonesia
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa penciptaan keadilan sosial adalah sejajar dengan pengertian “Negara sejahtera” (welfare state), yang menuntut tersedianya standar hidup minimal untuk setiap warga.[11]
Realita yang kita lihat saat ini adalah banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak tersedianya standar hidup minimal untuk setiap warga Negara. Standar hidup minimal adalah kehidupan individu  yang  mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari baik moril maupun materil.

Salah satu penyebab tidak tersedianya standar hidup minimal bagi setiap warga adalah karena korupsi yang merajalela sehingga individu yang membutuhkan bantuan tidak bisa terpenuhi. Korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas menghambat sampainya kesejahteraan kepada masyarakat. Subsidi untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan bagi rakyat kecil tidak dapat terpenuhi secara maksimal, karena uangnya keburu dirampas oleh para koruptor yang mendapat kesempatan menjadi penyelenggara Negara dan pejabat.

Selain yang dikemukakan di atas berikut masih banyak lagi dampak atau akibat dari korupsi ini diantaranya: Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial seperti politik, birokrasi, ekonomi, maupun individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam daging, sehingga yang punya badan harus melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:
a.       Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.
b.      Bahaya korupsi terhadap generasi muda
c.       Bahaya korupsi terhadap politik.
d.      Ekonomi
e.       Birokrasi[12]
Dari kutipan di atas dapat diuraikan dampak dari korupsi tersebut di antaranya : Pertama, jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri, tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
Kedua, salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab.
Ketiga, kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak berwibawa di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan  dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.
 Keempat, korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu proyek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan proyek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana proyek, penggelapan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam proyek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari proyek tersebut tidak akan tercapai.
Kelima, korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.
Di samping dampak secara umum korupsi juga berdampak dalam perspektif ekonomi, seperti:
1.       Terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya tinggi ekonomi yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen.
2.       Terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumber daya dan dana pembangunan, karena hanya elite kekuasaan dan pemilik modal yang bisa mengaksesnya.
3.      Terjadi penurunan investasi modal, sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
4.       Investor tidak tertarik menanamkan modalnya di negara yang angka korupsinya tinggi. Korupsi menyebabkan ketidakpastian berusaha.
5.      Pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi dan angka kemiskinan makin meningkat yang dapat berpengaruh luas pada stabilitas suatu negara.
6.      Dampak korupsi menimbulkan problem yang besar. Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah kompetensinya.
7.      Masyarakat juga menjadi kian terbiasa pada tindak korupsi. Korupsi dianggap sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses ekonomi dan politik.
8.      Terjadi distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung. Karena wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Karena itu, elite dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya.
9.       Dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga penegak hukum. Karena itu, tidaklah mengherankan bila penyelesaian sepihak dengan menggunakan kekerasan menjadi salah satu modus yang kerap dipakai masyarakat untuk mewujudkan keadilan.
5.   Problem Solving
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dalam tahap sekarang berkaitan dengan krisis nasional yang berpangkal dari persoalan KKN ini, keadilan sosial tidak bisa tidak harus dimulai dengan pemberantasan KKN secara total.[13]
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana cara memberantas KKN secara total itu? mengingat ini merupakan persoalan yang sudah mendarah daging di Indonesia, bahwasanya korupsi dipandang hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para pejabat. Praktik korupsi di Indonesia tidak akan pernah hilang jika hukuman yang diberikan pada para koruptor tidak memberikan efek jera atau efek takut terhadap pejabat lain yang akan “mencoba-coba” korupsi. Hukuman yang diberikan di Indonesia terhadap para koruptor hanyalah hukuman penjara dan pada hari-hari besar pun para koruptor di beri remisi. Padahal dampak yang ditimbulkan dari korupsi ini sangat berbahaya, korupsi mengakibatkan tidak terciptanya keadilan sosial di dalam masyarakat.
        Cara pertama yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi itu adalah pembentukan pribadi, maksudnya sosialisasi norma-norma dan nilai-nilai islam dalam diri individu dan melaksanakannya secara konsekuen.
Kedua, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen. Menurut Nawawi Arief, supremasi hukum pada hakikatnya mengandung makna, bahwa dalam berkehidupan kebangsaan harus dijunjung tinggi nilai-nilai substansial yang menjiwai hukum dan menjadi tuntutan  masyarakat antara lain: “tegaknya nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kepercayaan antar sesama,” tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan penghargaan atau perlindungan HAM: tidak adanya kekuasaan/kesewenangan: tidak adanya praktek faforitisme, dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).[14]
Dengan kata lain, supremasi hukum berarti penegakan keadilan dengan sebenar-benar dan seadil-adilnya, agar tercipta masyarakat yang berkeadilan sosial. Dengan penerapan supremasi hukum ini, diharapkan tidak ada lagi system tebang pilih terhadap para pelaku korupsi.
Walaupun di Indonesia sudah ada lembaga anti korupsi seperti KPK, tapi lembaga ini masih tersendat-sendat dalam menyelesaikan masalah korupsi. Dalam artian lembaga ini belum mampu secara optimal menghentikan praktik korupsi di Indonesia. Untuk itu, pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor, seperti halnya di Cina, bisa menjadi alternatif lain untuk memberantas korupsi di Indonesia. Ini akan memberikan efek takut pada pejabat lain yang akan “mencoba-coba” korupsi.
Dalam hukum Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku hirabah. Hirabah adalah aksi seseorang atau sekelompok orang dalam negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaan, dan agama.
Para ulama memang mempersyaratkan hirabah dengan tindakan-tindakan kekerasan untuk merampas harta, mengganggu keamanan dan mengancam nyawa manusia akan tetapi kekerasan dan gangguan keamanan yang dimaksud tidak dijelaskan lebih detail. Korupsi seperti hirabah  karena ia dapat merusak seperti hirabah, mengganggu stabilitas negara dan mengancam hidup orang banyak akibat kekayaan negara yang digerogotinya.
Dengan menganalogikan korupsi dengan hirabah  maka hukuman bagi pelaku korupsi dapat pula diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, hukuman mati atau tembak mati, apabila korupsi ini dilakukan dalam jumlah yang besar (as-sariqah al-kubra) yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas negara dan citra bangsa  serta  hilangnya kesempatan hidup bagi sebagian rakyat, seperti korupsi dana dalam jumlah puluhan milyar rupiah dan seterusnya.
Kedua, hukuman potong tangan dan kaki secara silang, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah sedikit yang hanya mengakibatkan kerugian material keuangan negara, seperti korupsi dalam jumlah ratusan juta rupiah. Ketiga, dipenjarakan sampai ia tobat, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah yang sangat sedikit, seperti dalam jumlah jutaan atau puluhan juta.

C.             Penutup
1.      Kesimpulan
Korupsi merupakan perbuatan merugikan kepentingan umum yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki wewenang atau kekuasaan. Banyak dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, yang utama adalah tidak terciptanya keadilan sosial dalam masyarakat yang dapat dirangkum dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, dan birokrasi, serta yang lebih parah adalah dampak korupsi terhadap generasi muda.
Korupsi seperti wabah penyakit dalam tatanan pemerintahan di Indonesia. Sehingga perlu upaya khusus untuk penanganannya. Upaya penanganan korupsi di Indonesia tidak akan berhasil jika supremasi hukum tidak ditegakkan secara konsisten dan konsekuen. Dan pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor merupakan alternatif lain yang bisa dilakukan untuk membuat efek jera pada para pelaku korupsi di Indonesia.
2.      Saran
Demikianlah makalah singkat ini penulis susun, semoga bermanfaat untuk pembaca, terutama untuk penulis sendiri. Dan semoga menambah pengetahuan kita tentang dampak korupsi terhadap keadilan sosial di Indonesia.  Penulis mengharapkan dengan esensi keadilan sosial dalam ajaran Islam akan dapat mengurangi dan mencegah timbulnya dampak dari korupsi. Serta penulis menyarankan kepada pembaca untuk membaca lebih lanjut sumber-sumber yang relevan dengan makalah ini, sebagai bahan perbandingan.


[1] Stevy Maradona, Survei Korupsi: Indonesia Urutan 47 Terkorup dari 66 Negara, Selasa, 14 Juni 2011 12:01 WIB, tersedia: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/06/14/lmrkmt-survei-korupsi-indonesia-urutan-47-terkorup-dari-65-negara-yang-disurve.

[2] Metrotv, Nazaruddin Jadi Tersangka, kamis 30 juni 2011, tersedia: http://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2011/06/30/809/Nazaruddin-Jadi-Tersangka/tajuk

[3] Ubaidillah,  Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani), ( Jakarta: uin syarif hidayatulah,2008.) h.180 
[4]  Ibid.
[6] W.J.S Purwadarmita,  Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ke-3, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2006).
[7] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 8

[8] Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h.118
[11] Nurcholish Madjid, Indonesia kita, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 170 
[13] Ibid.h. 168
[14]  Barda nawawi arief, masalah penegakan hukum dan kebijakan  penanggulangan kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, h.10