Selasa, 26 November 2013

Pikiran



Kepalaku bisa pecah jika aku tak menuliskan satu huruf pun!
Tapi apa yang akan ditulis?
Banyak sekali. Pikiran  itu seperti gila. Memutar-mutar tak kunjung mencapai titik jenuh. Aku jenuh tanpa satu hurufpun di sini.
Sudah. Kau tulis saja. Apapun. Bukankah di kepalamu saat ini ada banyak hal yang ingin kau tulis?
Aku hanya tak mampu memulainya.
Kenapa?
Ia berputar-putar membawaku pada pikiran gila yang entah. Aku hanya ingin menuliskan satu kata saja. Ah, kepalaku serasa mau pecah.
Pikiran itu mengalir dengan hebatnya. Ia merangkai cerita sendiri, tanpa henti. Sesekali kulihat bibirnya mengukir senyum. Tapi wajahnya lebih banyak menerawang penuh ambisi. Ia sendiri. Ia tak merasa ada oranglain disekitarnya.
Semuanya sepi, hampa. Dan aku suka sendiri. sendiri membuatku fokus pada cita-cita.
Itu tidak benar. Sendiri hanya akan membuatmu sepi. Kau butuh oranglain bahkan untuk sekedar berbagi cerita tentang cita-citamu.
Tidak. Tidak! Mereka hanya akan mentertawakan aku dan cita-citaku. Kau tahu, betapa aku menjaga seluruh mimpi ini? Aku harus menuliskannya lagi dan lagi.  Kepalaku serasa mau pecah jika tak menuliskannya. Ia mulai berkeliaran, menggila di sini. Ia menunjuk kepalanya. Ia, seperti kesetanan. Kurasa ia memang butuh menuliskan apa yang dipikirkannya. Aku berpura-pura gegas pergi. Membiarkannya menumpahkan apa yang dipikirkannya. Tapi diam-diam, aku memperhatikan apa yang dilakukannya.
Ia mengambil notebook axioo hitam miliknya yang ditaruh di lemari pakaian, di lipat bersama pakaian kuliahnya yang hanya tujuh helai. Jumlah pakaian itu menandakan jumlah semester ia kuliah saat ini, karena sanggup membeli baju sejumlah itu sudah merupakan kebahagiaan baginya. Bahkan ia berutang untuk sejumlah baju-baju kuliah itu dengan bayaran perminggu dari uang sakunya yang tidak  seberapa. Notebook hitam itu berfungsi seperti komputer karena baterainya yang sudah tak bisa lagi digunakan. Pun penghubung antara keyboard dan layar yang sudah retak  karena jatuh dari atas meja beberapa bulan lalu, menimbulkan derit ketika lipatan notebook itu dibuka. Ia harus bertahan dengan notebook turunan kakaknya itu sampai akhir kuliah, karena orangtuanya tak akan punya uang lagi untuk membelikan barang serupa untuk kedua kalinya.
Ia telah menghidupkan notebook hitam itu dan tampak tak sabar menunggu loading star yang lama. Ia begitu tersiksa dengan pikiran-pikiran itu. Aku mengintipnya. Belum satu hurufpun ia tulis. Ia masih termangu pada layar di depannya yang seperti mencemooh kaku. Aku enggan bertanya kenapa. Tiba-tiba ia menatapku tajam.
Kenapa masih di sini? Aku tak bisa menulis apapun jika kau terus menerus menguntitku?
Baiklah, aku tidak akan melihat. Lihatlah! Aku tidur di sini, ini tidak akan menganggumu.
Ia tersenyum. Kecut.
Aku pura-pura tidur.  Mana boleh aku membiarkannya berkelana sendiri dengan pikiran-pikiran gilanya itu. Bagaimanapun aku akan terus mengawasinya, kerjaku memberikan sinyal peringatan padanya jika terjadi hal-hal diluar kendali.
Setelah merasa aman, ia mulai menulis. Tulisannya mengalir tanpa henti.  Ia tak lagi menyadari keberadaanku yang masih saja terus mengawasinya. Aku ngeri membayangkan: ia tak bisa berhenti. Aku bahkan tak bisa menghentikannya. (Limokaum, 26/11/2013)