Kamis, 29 Agustus 2013

Sesuatu yang Seperti Bekas Gigitan Nyamuk (Edisi KKN)

Pertama kali menginjakkan kaki, aku sudah merasakan betapa panasnya Korong Bayur. Panas laut. Aku butuh menyesuaikan diri dengan kondisi ini, terlebih ketika mengetahui bahwa ternyata air sumur rumah Bu Kamek yang kami gunakan untuk mandi berwarna kuning kecoklatan. Hari kedua di sini, aku sudah mulai merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang seperti bekas gigitan nyamuk, menyebar hampir di seluruh badan. Itu sangat menyiksa. Aku butuh fresh care selalu di tangan.
Awalnya, kupikir ini akan hilang dalam waktu tiga atau empat hari. Tapi ternyata sudah lebih satu minggu belum juga hilang. Aku belum ingin memberitahukan kepada Amak di rumah, karena takut  Amak khawatir. Akhirnya dengan ditemani Jaini, kuputuskan untuk berobat ke bidan desa yang  berjarak 6 buah rumah dari posko.
Bidan desa tersebut mengatakan bahwa aku alergi. Ia memberikan tiga jenis obat untuk dua kali makan pada waktu berbuka dan sahur. Namun, gatal-gatal itu tetap terasa. Bahkan terasa lebih menyiksa dari sebelumnya. Aku mulai khawatir. Hari Rabu malam tanggal 25 Juli 2013, kuputuskan untuk memberitahukan ke rumah. Amak menyuruhku pulang. Aku yang sudah sangat rindu ingin pulang seperti mendapat kesempatan, karena kami boleh minta izin meninggalkan lokasi karena alasan tertentu, salah satunya sakit.
Kamis pukul tujuh pagi, aku pulang. Sendiri melewati Rajang[1] memang membuatku sedikit was-was. Aku enggan minta bantuan pada kawan-kawan untuk mengantar karena tidak ingin merepotkan melihat jarak antara Korong Bayur dengan Pasar Kampung Dalam tempat menunggu angkot ke Pasar Pariaman lumayan jauh. Memang, untuk pulang kami harus naik angkot di Pasar Kampung Dalam sampai ke Terminal Pasar Pariaman. Dari sana, naik angkot lagi ke Simpang Lapai. Di Simpang Lapai naik bus Melsy Trans dengan tujuan Bukittinggi. Nah, dari Bukittinggi baru naik bus Emkazet ke Sawahlunto. 
Sesungguhnya aku tak tahu jalan. Memang beberapa hari yang lalu kami sudah jalan-jalan ke Pantai Gondoriah yang terletak tak jauh dari Pasar Pariaman, tapi mengenai di mana letak  Simpang Lapai, aku belum tahu. Seorang tukang ojek menawarkan jasanya padaku. Setelah berpikir, aku memutuskan langsung ke Simpang Lapai dengan menggunakan Ojek. Tarif yang dimintanya lumayan murah, 10 ribu. Padahal kupikir-pikir, letak Simpang Lapai sangat jauh.
Perjalanan Pariaman-Bukittinggi-Sawahlunto cukup melelahkan. Aku sampai di rumah pukul tiga sore. Rindu itu lepas. Di rumah, Amak merebuskan-ku sedandang air dengan daun sirih dan daun kunyit. Untuk mandi, kata Amak. Sorenya, dengan diantar Etek aku berobat ke Bidan Ari. Bidan Ari merupakan Bidan yang ditempatkan di Pustu desaku. Keluargaku sering berobat ke Pustu sehingga sudah sangat kenal dengan Bidan Ari. Beliau memberiku obat makan dan obat berbentuk butir-butiran halus yang digunakan untuk mencampur air mandi yang digunakan. Butiran-butiran halus tersebut membuat air berubah warna menjadi merah. Gunanya melenyapkan bakteri.
Usai dari Bidan Ari, Etek mengajakku ke kedai untuk membeli sabun Esepso Shoap yang berwarna hijau gelap dan bedak tabur Caladdin, tapi yang ada hanya Herocyn. Pemilik kedai berseloroh, katanya; ha, siapo lho yang dek kodou ko?
Aku cemberut. Ku jawab; dag dek kodou do, Da… gatau-gatau. Tapi urang KKN di Pariaman, ndak suai udaronyo, alergi aia yo lho…
Etek dan Pemilik kedai yang biasa kami panggil Da Dodong ini tertawa.  Memang, kami sudah sangat kenal.
Esok pagi, aku kembali ke Pariaman. Satu malam di rumah, sejatinya belum cukup untuk melepaskan rindu Rencananya aku kembali hari Sabtu pagi, namun karena harus bayar uang semester dulu ke Batusangkar, kuputuskan untuk kembali hari Jum’at. Karena kembali hari Sabtu, kantor pasti tutup. Menunggu Senin, terlalu lama. ***

.



[1]Jembatan gantung (bahasa pariaman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar