Rabu, 19 Maret 2014

SIMAWANG (PLKP-S Bagian 1)



Annyong... Apa kabarmu my "A Little Note"? . Sudah lama kita tak jumpa bukan? Hampir satu semester lebih aku tak menyapamu, sejak oktober lalu aku menjadi enggan menemui dan malas menatap layarmu bahkan untuk sekedar menuliskan sebuah sapaan kecut. Tapi, malam ini aku kembali. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Jika hidup adalah sebuah cerita yang patut dikisahkan, maka kau adalah pilihan terbaik untuk menampung kisahku. 

Ah, aku merasa kaku untuk memulai. Mungkin ini karena aku  yang membeku  selama beberapa waktu. Aih, waktu yang lalu itu, acap kuhabiskan dengan menonton drama Korea dan serial kartun buatan Jepang. Kecanduanku pada menonton drama impor dari negeri ginseng itu baru diputuskan dengan paksa saat masa PLKPS (Praktik Lapangan Konseling Pendidikan di Sekolah) dimulai.  Terhitung sejak 03 Februari 2014 lalu. Masa-masa PL ini merupakan masa sibuk, terlebih pertengahan Februari lalu Prodi Alhamdulillah juga telah mengeluarkan pembimbing skripsiku, sehingga tak ada waktu untuk berleha-leha meski hanya menonton sebuah drama. Lebay gak ya? Hhe.

Berbicara tentang PL, Alhamdulillah di Sekolah semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Lokasi PL-ku berada di SMAN 2 Rambatan. Di sekolah ini, aku ditempatkan bersama sembilan orang teman lainnya. Baiklah, kusebutkan saja sembilan teman itu satu persatu. Kita mulai dari prodi tertua di STAIN Batusangkar yaitu PAI, ada Zikril Hamdi dan Mira Hendriani. Lalu di Prodi Bimbingan dan Konseling ada saya, Mifta Hatul Husna, Erma Rani dan Feby Pratama. Kemudian  di Prodi Matematika ada Mulia Ismail dan Arif Affandi. Selanjutnya prodi termuda Fisika,  ada Afrizal dan Milanda Linovia. Sementara prodi lain yaitu Bahasa Inggris, Biologi, dan Bahasa Arab tak ditempatkan di lokasi ini. 

Awalnya, aku merasa senang mengetahui bahwa lokasi PL-ku berada di Tanah Datar. Sebab, aku dan keluarga memang berharap agar ditempatkan di lokasi yang dekat dari kos mengingat biaya. Tapi ternyata setelah observasi lapangan, semua tidak seperti yang kuharapkan. SMAN 2 Rambatan berada di Nagari Simawang.
Untuk mencapai daerah ini, total ongkos yang musti kubayar adalah sejumlah 14 ribu rupiah, sama dengan ongkos pulang kampung ke Sawahlunto. Beruntung, ada teman-teman yang membawa motor ke Sekolah, sehingga ketika pulang akhir pekan dan pulang di kala rest, aku bisa menumpang padanya sampai di Limo Kaum. Beberapa teman memilih berulang, tapi tidak bagiku dan dua teman lain. Kami memilih kos di daerah ini. Beberapa pertimbangan yang membuat kami memutuskan untuk memilih kos adalah; Pertama, kondisi cuaca yang tidak menentu dikhawatirkan akan membuat kami terlambat sampai di sekolah. Kedua, sekolah usai pada pukul setengah tiga, jika kami berulang akan terlalu letih sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pembuatan program dan rencana program layanan nantinya.  

Pulang kampung setelah observasi ketika itu, aku telah bertekad akan menghentikan kos yang di Limo Kaum. Membayangkan kos di dua tempat membuat pikiranku melayang pada orangtua di rumah, membayangkan biaya yang akan dikeluarkan nantinya. Belum lagi biaya-biaya untuk tetek bengek lainnya. Mereka yang sudah pernah menjalani masa-masa PPL, barangkali tahu seperti apa dan bagaimana persiapan yang diperlukan untuk Praktik Lapangan ini. Apalagi, saat itu keluarga kami baru saja mambajak dan hujan yang acap turun membuat Abak tidak bisa bekerja seperti biasa. Aku tak ingin membebani orangtua. Tapi, ternyata Amak melarangku untuk menghentikan kos di Limo Kaum. Yang dipikirkan Amak, setelah habis masa PL aku akan tinggal di mana, tidakkah nanti akan sulit untuk mencari kos dengan biaya yang terjangkau dengan tempat yang tidak terlalu jauh dari kampus. Aku menuruti apa yang dikatakan Amak. Malam itu, benar-benar membuatku menitikkan air mata. Bagaimana tidak, Amak telah menyiapkan jauh-jauh hari sebelum masa ini tiba. Belum lagi Nocha yang menurutku malam itu sangat baik sekali. Ia meminjamkan padaku beberapa barang miliknya, diantaranya tas, HP, jelbab, bahkan peralatan rias. Suasana menjadikan malam itu berbeda bagiku.

Minggu pertama, aku dan dua teman lain masih belum nge-kos. Ini karena cukup sulit mencari rumah yang nyaman untuk di huni. Ada banyak rumah yang telah kami coba cari, namun ada-ada saja yang membuat kami tidak jadi menempati rumah tersebut sebagai rumah kami selama tiga setengah bulan ini. Beberapa orang guru di Sekolah ini turut membantu kami mencarikan rumah, salah satunya adalah Bu Nursan yang menjabat sebagai wakil kesiswaan. Hari pertama, kami diberitahu bahwa ada rumah dekat sekolah yang biasa di tempati oleh anak-anak KKN  atau anak PPL. Sebenarnya, kami sudah setuju dengan rumah ini karena ada pemilik rumah yang juga menempati rumah itu. Namun, setelah menunggu selama tiga hari, pemilik rumah tidak menyetujui kami untuk kos di rumah itu dengan alasan sulitnya air. Memang, Simawang dikenal sebagai daerah yang sangat sulit mendapatkan air. Air PDAM hanya mengalir selama dua hari dalam satu minggu. Tidak semua masyarakat dapat menikmati aliran PDAM, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengalirkan air PDAM ke bak-bak rumahnya. Penduduk lainnya terbiasa beramai-ramai mandi dan mencuci ke Luak atau ke Masjid. Lalu, ketika pulang tangan-tangan mereka membawa jerigen atau ember yang sudah penuh terisi air. 

Sebelum itu, kami juga di tawari sebuah rumah oleh Uni kantin ujung Lapangan. Tapi, setelah melihat langsung rumah itu, kami menjadi enggan karena rumah itu sudah lama kosong. Letaknya cukup terpencil, bayangkan saja di sekitar rumah itu hanya ada tiga buah rumah. Dua diantaranya  merupakan rumah kosong, sedang yang satu dihuni oleh seorang kakek yang sudah tua. Meski Uni kantin bilang, bahwa di rumah itu mengalir air, kami enggan.

Selanjutnya, Bu Anik, seorang Guru Biologi di Sekolah itu turut menawarkan pada kami sebuah rumah. Rumah itu sangat besar. Bagian belakang rumah terdiri dari dua tingkat. Sekilas melihat rumah itu, membuat kami bergidik. Tak bisa membayangkan rumah besar tak berpenghuni dengan tujuh kamar tidur itu hanya kami tempati bertiga. Terlebih, di bagian belakang rumah seperti menempel ke dinding terdapat sebuah kuburan. Kuburan lainnya terlihat di bagian samping rumah. Selain sulit air, tampaknya rumah-rumah kosong juga menjadi icon Nagari Simawang. Bayangkan saja, apabila ada tiga buah rumah maka hanya satu diantaranya yang dihuni. Tak bermaksud apa-apa, hanya saja banyaknya rumah kosong di Nagari Simawang disebabkan oleh jiwa merantau penduduknya. Banyak masyarakat yang lebih memilih hidup di Rantau, lalu memperbaiki rumah mereka di Kampung sedemikian rupa meski tak dihuni. Rumah-rumah kosong itu kebanyakan rumah permanen dan sangat layak huni. Namun, bisa jadi rumah-rumah itu menjadi investasi masa tua bagi sang perantau. Jika badan sudah tak mampu lagi mencari nafkah maka pulang kampung adalah hal terbaik, bukankah hasil kerja selama di rantau telah dikumpulkan di kampung?

Kami masih menunggu informasi rumah yang akan dicarikan Bu Nursan, meski ini sudah hari ke-empat. Sembari menunggu informasi itu, kami tetap berusaha mencari rumah-rumah lain yang barangkali bisa kami tempati. Namun, tetap saja tak ada yang benar-benar bisa membuat nyaman dari rona dan aura yang dipancarkan rumah-rumah itu. Salah seorang kawanku seraya berseloroh bilang;  kita bisa melihat dan merasakan sesuatu dari rona manusia, begitupun dari rona Rumah. Lalu kami tertawa. Tepatnya mentertawakan diri sendiri. Entah, bagiku perasaan nyaman pada saat mulai melihat sesuatu pada pandangan pertama sangat menentukan. Termasuk perihal rumah. Dibalik itu, ada rumah yang memang ditinggali penghuninya, namun mereka tak bisa menyewakan sebuah kamar saja, masih karena alasan klasik: air. 

to be Continued ...
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar