Rabu, 19 Maret 2014

Prasangka Sosial

(Mata Kuliah Psikologi Sosial)
***
1.      Defenisi  Prasangka Sosial
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium, yang pengertiannya mengalami perkembangan sebagai berikut: 1) semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu; 2) dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa,  atau tidak matang; 3) untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional (suka-tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut.
Sherif dan Sherif dalam Alex Sobur, menyebutkan bahwa prasangka adalah suatu istilah yang menunjuk pada sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain berikut anggota-anggotanya yang didasarkan atas norma-norma yang mengatur perlakuan terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Sementara Harding dan kawan-kawan mendefenisikan prasangka sebagai sikap yang tidak toleran, tidak fair, atau tidak favourable terhadap  sekelompok orang.[1]
Prasangka adalah merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaaan seseorang tersebut menjadi anggotanya. Prasangka mengarah kepada evaluasi yang negatif.  walaupun dalam streotip merupakan keadaan yang dapat bersifat positif disamping dapat negatif, tetapi prasangka mengarah kepada evaluasi yang negatif seperti yang telah dijelaskan.
Sedangkan yang dimaksud dengan prasangka sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif  terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi.[2]
2.      Kaitan Prasangka Sosial dan Sikap (Attitude)
Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu lambat – laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan-golongan yang di prasangka itu tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi  orang yang dikenai tindakan-tindakan diskriminatif.
Sikap (attitude) dapat ditrjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Jadi, attitude bisa diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Attitide senantiasa terarahkan kepada suatu hal, tidak ada attitude tanpa ada objeknya.[3]
Jadi, prasangka sosial  dan sikap saling berkaitan karena sikap (attitude) adalah suatu bagian dari prasangka sosial. Dan bagian-bagian dari prasangka sosial itu yaitunya attitude-attitude sosial yang negatif baik terhadap golongan orang  lain maupun terhadap golongan diri sendiri (individu).     
3.      Stereotip
Stereotip merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai  sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang  bercorak negatif akibat tidak lengkapnya informasi  dan sifatnya yang subjektif. Prasangka sulit dipisahkan dari stereotip.  Konsep stereotip pertama kali diperkenalkan oleh Walter Lippman. Ia adalah seorang  komentator politik, melalui bukunya yang berjudul Public Opinion (pertama kali terbit tahun 1922; edisi bahasa Indonesia  diterbitkan Yayasan Obor Indonesia 1998), mendefenisikan stereotip sebagai  “gambaran dalam pikiran” (pictures  in our head) yang menyaring berita-berita, memengaruhi cara seseorang  memandang sesuatu.
Sherif dan Sherif (1969, dalam Koeswara, 1988) mendefenisikan  stereotip sebagai “kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok terhadap gambaran tentang  kelompok lain berikut anggota-anggotanya. Larry A. Samovar  dan Richard  E. Porter dalam Alex Sobur, mendefenisikan stereotip   sebagai persepsi atau  kepercayaan  yang kita anut mengenai kelompok atau individu berdasarkan  pendapat dan sikap yang lebih dahulu terbentuk.
Berdasarkan keterangan Lippman, defenisi Sherif dan Sherif, serta Samovar dan Porter, diperoleh gambaran bahwa stereotip adalah suatu kecenderungan dari seseorang atau kelompok orang untuk menampilkan gambar atau gagasan  yang keliru  (false idea) mengenai kelompok orang lainnya. Gambaran yang keliru itu biasanya berupa gambaran yang tidak valid, bersifat menghina, atau merendahkan orang-orang yang dikenai prasangka dan stereotip, baik dalam segi fisik maupun dalam sifat atau tingkah laku.
Salah satu cara yang banyak dipergunakan untuk menyebarkan prasangka ialah dengan perantaraan stereotip. Kebanyakan stereotip  yang bersifat kurang menyenangi suatu kelompok diteruskan atau disebarkan secara serampangan  dan tanpa banyak dipikirkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk lelucon serta kebiasaan  dalam cara berbicara  ataupun dalam bentuk karikatur.
Menurut Baron dan Paulus dalam Alex Sobur, ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu: pertama, sebagai manusia, kita cenderung membagi dunia ini dalam dua kategori: kita dan mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi  sebagai di luar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakannya, dan menganggapnya homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif  sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang ke dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita tahu banyak tentang mereka (sifat-sifat utama dan kecenderungan perilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita yang menjemukan untuk memahami  mereka sebagai individu. Padahal sebenarnya kita tidak mengenal mereka, bahkan mungkin tidak pernah bertemu dengan seorang anggotapun dari kelompok mereka, meskipun kita pernah mendapat informasi mengenai kelompok itu dari kenalan kita atau media massa.
Beberapa contoh stereotip, antara lain: laki-laki berpikir logis; wanita bersifat emosional; yang berkulit hitam pencuri; orang Meksiko pemalas; orang Yahudi cerdas; orang Perancis penggemar wanita, anggur dan makanan enak; orang Cina pandai memasak; orang Batak kasar; orang Padang pelit; orang Jawa lembut pembawaan; lelaki Sunda suka kawin cerai dan pelit memberi uang belanja; wanita Jawa tidak baik menikah dengan lelaki Sunda (karena suku Jawa dianggap lebih tua dari suku Sunda); orang berjenggot fundamentalis (padahal kambing juga berjenggot).[4]
4.      Sumber Prasangka
Prasangka dapat bersumber  baik pada interaksi sosial (hubungan antar kelompok) maupun pada proses yang terjadi dalam diri individu ( dinamika kepribadian ).
a.    Interaksi Sosial
1)      Ketidakadilan
Asal mulanya prasangka rasial yang di awali oleh perlakuan tidak adil dari pihak pemerintah kolonial belanda terhadap penduduk pribumi yang didiskriminasikan dari penduduk keturunan cina.
2)      In group-out group
Prasangka antar kelompok dapat terjadi juga karena adanya perasaan anggota dan non anggota kelompok ( in group-out group). Kecendrungan in group-out group ini sudah terlihat sejak kanak-kanak ( Billig & tajfel,1993 ) dan mudah sekali terbentuk begitu ada pengelompokan tertentu.Dalam permainan pramuka,  pelatihan dan pertandingan sepak bola antar RT, sering kali orang-orang  yang tadinya berteman menjadi bermusuhan selama mereka berperan sebagai anggota kelompok.
Sebaliknya, perasaan in group-out group ini bisa mengatasi prasangka lainnya. Tjun (1990) menemukan bahwa di kalangan siswa pribumi dan non-pribumi nilai stereotip terhadap in group selalu lebih positif dari pada  out group, sedangkan Hastuti (1981) menemukan bahwa karyawan pribumi  yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non pribumi bersikap lebih positif terhadap non-pribumi dari pada pribumi yang bekerja di lingkungan di mana ia sendiri menjadi mayoritas.
3)      Konformitas
Prasangka dapat timbul dari usia anak-anak melalui proses belajar sosial. Anak yang berusia kurang dari 5 tahun lebih cepat menyerap prasangka dari pada anak-anak berumur 8-9 tahun (Baron & Byrne,1994,Aboud,1993). Proses belajar ini merupakan bagian dari proses konformitas individu terhadap lingkungannya.
4)       Dukungan Institusional
Dalam kasus realisme cina di indonesia, baik pemerintah Belanda maupun pemerintah indonesia mengeluarkan berbagai peraturan yang pada dasarnya mendiskriminasikan kedua kelompok etnik. Di Rwanda, pemerintah Belgia mengukuhkan kekuasaan Raja Tutsi untuk memerintah suku Hutu yang mayoritas. Dalam berbagai agama, laki-laki secara sah mempunyai hak lebih dari pada wanita ( Laki-laki dapat menjadi imam, pendeta, statusnya sebagai kepala keluarga, mendapat hak waris lebih besar dan sebagainya.Sedangkan wanita tidak). Di televisi, film-film kekerasan, dan seks seakan membenarkan berbagai prasangka tentang kekerasan dan seks. Semua ini menunjukan bahwa prasangka dapat di timbulkan dan di dukung oleh berbagai institusi yang ada dalam masyarakat.
5). Konflik antarkelompok
Dalam situasi-situasi dimana kelompok-kelompok harus bersaing karena terbatasnya sumber dapat menimbulkan prasangka antarkelompok.
b.        Dinamika Kepribadian
1)      Teori Frustasi-Agresi atau teori ‘’kambing-hitam”
Jika seseorang mengalami frustasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebab dari frustasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan frustasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan agresinya. Inilah sebabnya mengapa Lynching dalam penelitian Hovland & Sears (1940) lebih banyak terjadi di daerah miskin dari pada daerah yang kaya.
2)      Kebutuhan akan status dan merasa memiliki kelompok (sense of belonging)
Faktor penyebab yang satu ini ada kaitannya dengan perasaan in group-out group. Hitler dan Bung Karno sama-sama menciptakan musuh bersama (out group) untuk menggalang rasa saling memiliki antara sesama orang jerman dan bangsa Indonesia (in group).
Bahkan, menurut Harik (1996) anggota-anggota bawahan kelompok militan Hisbullah di Palestina mempunyai kadar keagamaan dan aliansi politik yang rendah. Mereka menjadi militan sekadar setia kawan dan merasa sebagai orang Hisbullah. Pimpinan merekalah yang ekstrem.
3)       Kepribadian otoriter
Adorno, dkk. (1950) melaporkan bahwa dari survei mereka terhadap orang-orang Amerika dewasa pada tahun 1990 ternyata prasangka dan sikap bermusuhan terhadap orang Yahudi selalu bersamaan dengan prasangka dan permusuhan terhadap golongan minoritas lain. Dengan kata lain, orang yang mempunyai prasangka akan berprasangka kepada semua golongan, sementara orang yang tidak berprasangka tidak mempunyainya sama sekali berarti bahwa prasangka lebih disebabkan oleh kepribadian, bukan oleh sikap.
4)      Faktor Kognitif
Seperti sudah dikemukakan diatas, sebagaimana halnya dengan sikap, prasangka dapat bersumber pada skema atau kategorisasi kognitif seseorang.
Demikian pula prasangka dapat timbul karena adanya rangsang yang secara mencolok sangat berbeda dari lingkungannya. Misalnya, orang Eropa di tengah penduduk desa di Jawa Tengah akan menimbulkan berbagai prasangka karena bentuk fisiknya yang lain dari pada yang lain sehingga segera menimbulkan disonansi kognitif. Dalam hubungan ini terjadi proses generalisasi.
Dalam masalah terorisme, misalnya, karena pengalaman beberapa kali menunjukan bahwa teoritas adalah orang islam dan Arab, Islam dan Arab dianggap sebagai teoritas. Bahkan, di Amerika Serikat ternyata orang kulit putih berpendapat bahwa jumlah orang kulit hitam di negara itu adalah 325% dan orang Hispanic berjumlah 21%. Padahal, yang benar adalah bahwa kulit hitam berjumlah 12% dan Hispanic berjumlah 9% saja dari populasi (Gallup pol, 1990).[5]
Akhirnya, kejadian-kejadian yang luar biasa yang kebetulan terjadi bersamaan, juga dapat memicu   prasangka karena terjadi proses menghubungkan antarelemen kognitif.
5.      Ciri Pribadi Orang Berprasangka Sosial
Perkembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya prasangka sosial padanya. Menurut beberapa penelitian psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif, dll.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi 2 kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kita”). Sedangkan out group adalah grup diluar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang menguat.
Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah :
a.       Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seseorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.
b.      Kompetisi sosial
Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik dari kelompok lain.
c.       Penilaian ekstrim terhadap anggota kelompok lain
Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.
d.      Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu
Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotip yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.
e.       Perasaan frustasi (scope goating).
Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka.
f.       Agresi antar kelompok.
Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berprilaku agresif.
g.      Dogmatisme
Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.[6]

6.      Kaitan Prasangka dengan Frustasi dan Agresi
Prasangka  sosial dapat menjelma keberbagai bentuk tindakan-tindakan diskriminatif dan agresif terhadap individu atau golongan. Dalam penggolongannya para ahli prsikologi menejelaskannya dengan sebuah teori yang disebut teori Frustasi yang menimbulkan agresi. Orang akan mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan, akibatnya akan timbul perasaan jengkel atau agresif, perasaan ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada perasaan yang positif tetapi terkadang perasaan itu seringkali meluap-luap dan mencari outlet-nya, jalan keluarnya sampai puas perasaan agresif itu dengan tindakan yang agresif pula. Ketika individu mengalami frustasi yang ingin dipuaskan secara agresif, ia mungkin akan menendang kursi atau memukul apa yaang ada disekitarnya. Selain itu sikap agresi ini akan mudah dilampiaskan kepada golongan-golongan lain yang diprasangkainya akan diserang dengan lebih agresif atau pun sebaliknya, teori ini disebut dengan teori scape-goatism atau teori mencari kambing hitam.[7]
Jadi prasangka itu yang merupakan sikap perasaan terhadap golongan ataupun pihak tertentu akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap individu ataupun golongan lain yang nantinya akan melahirkan sikap-sikap seperti frustasi dan melahirkan agresi, frustasi dan agresi ini adalah suatu sikap yang timbul sebagai akibat dari prasangka.       
7.      Cara Mengatasi Prasangka
Upaya-upaya memerangi prasangka sosial antar golongan itu kiranya jelas harus dimulai pada pendidikan anak-anak  di rumah dan di sekolah oleh orang tua dan gurunya. Sementara itu, sebaiknya dihindarkan pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial tersebut dan ajaran-ajaran yang sudah berprasangka sosial.
Akan tetapi, demikian juga informasi –informasi melalui media massa berperan besar, terutama informasi yang  memberikan pengertian dan kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya, dipertahankannya, dan mengenai kerugian prasangka sosial bagi masyarakat secara keseluruhan dan bagi para anggotanya.[8]
Selain itu, puluhan eksperimen  dengan kelompok kecil telah menyatakan bahwa interaksi antargolongan yang cukup intensif mampu sekali melenyapkan stereotip dan prasangka sosial antargolongan itu.


[1] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 387, 388
[2]Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002), h.84
[3] Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal 160. Cet. I
[4] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 390,391
[5]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.282-289
[6]Ibid., h. 189
[7]. Ibid., h.190
[8]Ibid., h. 191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar