Selasa, 03 September 2013

Rumah (Cerita 2)


"Dik, suatu saat nanti kita akan dam tanah ini... Dari ujung sana hingga ke sini, lalu biarkan adik-adik menyambung dari ujung lain hingga bertemu di sini (Amak menunjuk batas tanah kami). Tentu jika suatu saat nanti jika Adik dan Uni sudah punya uang. Kalian ber-empat musti akur-akur saja. Jan sampai iri ma iri."  
Aku menyimak kata-kata Amak. Suatu saat nanti jika aku punya uang; tentu, Mak. Tentu akan kubuat sebuah rumah untuk Amak dan Abak; sebuah tempat yang layak untuk kita tinggali.
Lalu aku terdiam. Begitupun Amak. Aku kemudian mengalihkan pembicaraan pada anak-anak itik yang dua minggu lalu baru menetas. Anak-anak itik itu turun 16 ekor.
***
Rumah, tempat pulang yang selalu kurindu. Bagiku, berbicara tentang rumah tak akan ada habisnya. Ia selalu berwarna meski warna itu tak sama setiap harinya. Yah, itulah kehidupan. 
Aku masih ingat, dulu rumah kami hanyalah sebuah gubuk; lantai papan tinggi dengan beberapa buah jenjang untuk mencapai pintu, lalu di bawahnya digunakan sebagai kandang ayam. Hanya ada dua kamar, tapi kamar yang satu bukanlah kamar dalam artian yang sesungguhnya. Ruangan itu digunakan sebagai tempat padi. Abak membuat sebuah kotak papan tanpa tutup kira-kira sepanjang orang dewasa dengan tinggi sepinggang orang dewasa, Beliau memasukkan padi ke dalam kotak itu. Terakhir, ada sebuah tikar pandan yang menutupi padi itu. Kotak itu terlihat seperti tempat tidur yang tinggi ketika musim panen tiba, lalu menyusut sebelum sampai pada musim panen berikutnya. Ya,  kami menggarap sawah oranglain dengan sistem paduoi.
Kami sering menghabiskan waktu di ruangan itu sebab Amak meletakkan TV hitam putih 14 inch yang di hidupkan dengan Accu di sana, satu-satunya barang elektronik berharga yang kami miliki ketika itu. Saat itu kami belum menggunakan listrik, penerangan hanya menggunakan lampu togok meski sesekali kami juga menggunakan lampu strongkeng untuk penerangan yang lebih maksimal. Penerangan dengan menggunakan lampu Togok ini memiliki keunikan tersendiri; pagi hari lihatlah ke kaca atau raba hidung, akan terlihat betapa asap lampu itu telah menempel di hidung; hitam.
Saat aku mulai duduk di bangku kelas satu SD, Abak mulai membangun pondasi. Ia lakukan itu dengan tangannya sendiri dan sesekali dibantu Mak Etek (adik lelaki Amak) dan Atuk (Kakak lelaki Nenek). Pembuatan pondasi itu dilakukan secara berangsur; ketika ada bahan, pekerjaan dilanjutkan, begitu seterusnya hingga pondasi setinggi lutut orang dewasa itu rampung, dan berlanjut pada pembangunan rumah yang selesai dibangun ketika aku duduk di bangku kelas empat SD. Betapa bahagianya aku dan Uni ketika itu; akhirnya kami punya rumah, kami punya kamar sendiri, meski rumah itu hanya semi permanen.
Rumah bukanlah tempat abadi, ia lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Dua belas tahun berlalu membuat rumah itu tak lagi sekokoh dulu. Dinding papannya mulai rapuh. Atapnya telah berkarat dan berlubang, terutama atap bagian dapur. Pun tanah turun yang menyebabkan separuh ruangan dapur hampir roboh. Aku - seperti halnya yang Amak impikan- ingin suatu saat nanti membuat dam agar tanah rumah kami tak lagi turun. Jika hujan lebat datang, kami selalu khawatir tanah akan semakin turun meski Abak sudah acapkali menimbun dengan tanah yang diambilkan dari tempat lain. Tapi, tanah itu tetap saja turun.
Ya, suatu hari nanti aku ingin membuat sebuah rumah.  Rumah dengan halaman yang luas; aku akan menghabiskan  waktu senggang dengan menanam berbagai jenis bunga dan sayur. Kita berbincang tentang bunga-bunga yang mulai mekar dan sayur segar yang siap dipetik ketika mulai jenuh dengan rutinitas kerja.  Kemudian aku akan bermain tanah dengan anak-anakku; mengajari tangan-tangan mungil mereka menanam bunga dan sayur. Sesekali kami akan berkejaran menangkapi kupu-kupu dan capung yang barangkali hinggap di antara bunga-bunga itu. Lalu, sekali sebulan kami akan gotong royong mencabuti rumput-rumput liar di halaman, rumput liar yang tumbuh di sela-sela bunga dan sayur. Sementara Amak dan Abak akan duduk di beranda dengan senyum mengembang; itu anak dan cucu kita.
 Ya! Suatu hari nanti, jika dan hanya jika.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar