Senin, 29 April 2013

Cerita di Sabtu Senja

Kuberikan lembaran 5 ribuan kepada tukang ojek itu. Ia memberikan kembaliannya, dua lembar uang senilai seribu rupiah kini sudah berada di tanganku. Aku bergegas ke kedai tempatku biasa menunggu.

"Emkazet sabantako baru lewat, kiro-kiro limo minik ko, Nak." kata si pemilik kedai sesaat sebelum aku sempat menduduki bangku panjang di depan kedainya. Sepertinya memang pemilik kedai ini sudah sangat hafal sekali dengan wajahku dan kemana tujuanku. 

"Waah... Wak talambek turun, Pak. Tadi ado kegiatan sakatek. Oto kan lai masih ado ndak, Pak?" pertanyaan yang aku sendiri tahu jawabannya.

 "Lai, Nak. Beko lainyo jam satangah limo, terakhir jam satangah anam". Aku tahu hal ini, tapi setiap duduk di sini aku selalu menanyakan hal itu, untuk meyakinkan diriku bahwa aku memang bisa pulang dan tak ketinggalan bus.

Pembicaraanku dengan pemilik kedai itu hanya sampai di sana. Selebihnya, aku lebih suka diam. Pandanganku tak lepas dari arah datangnya Emkazet. Pikiranku tak henti memikirkan kejadian semalam. Aku benar-benar menyesal telah berkata seperti itu padanya. Tapi di sisi lain, beban di dadaku sudah tidak ada lagi.  Semua lepas.  Ah, Entahlah. Satu hal yang kuyakini, jodoh itu sudah ada yang mengatur. Jika ia benar-benar jodohku, suatu saat ia pasti akan datang padaku. Saat ini aku hanya ingin berhenti memikirkannya. Ya, berhenti.

Sesekali aku memandang pada aktivitas bengkel sepeda yang terletak persis di samping kedai. Ada dua orang lelaki muda di sana, usia mereka kira-kira sepantaran dengan Itha, sepupuku. Seorang bekerja sedang seorang lagi tampak asyik duduk memandangi rekannya yang bekerja. Dari sikap dan gaya bicaranya terlihat bahwa lelaki yang tidak bekerja ini adalah anak si pemilik bengkel yang sekaligus merangkap sebagai toko sepeda ini. Mereka tampak tak terusik dengan kehadiranku yang memandangi mereka.

Hari sudah menunjukkan pukul setengah lima. Tapi Emkazet yang kutunggu tak muncul-muncul. Sementara langit sudah tampak sangat tidak bersahabat. Gelap. Hujan turun. Aku resah menunggu. Biasanya akhir pekan seperti ini banyak pelajar atau mahasiswa yang juga pulang ke Sawahlunto, tapi hari ini hanya aku sendiri. Mereka barangkali sudah dapat bus yang dikatakan si Bapak pemilik kedai tadi.

Aku kembali melihat jam di HP, sudah pukul lima. Berarti harapan satu-satunya adalah Emkazet terakhir jam setengah enam. Emkazet terakhir biasanya selalu penuh dan jika ingin tetap pulang aku harus rela duduk di kursi serap. Itu tidak masalah, toh jarak Batusangkar-Sawahlunto hanya satu setengah jam perjalanan, sebelumnya bahkan aku pernah duduk di kursi serap selama 15 jam perjalanan ke Jambi dengan menumpangi bus Pita Bunga. Aku mengenang kembali bagaimana perjalanan yang kulewati bersama tiga orang temanku, yang kesemuanya perempuan itu.


Tak sengaja mataku kemudian mendapati seorang perempuan berusia kira-kira 50 tahunan berlari menerobos hujan ke arahku -barangkali ke arah kedai tempatku duduk-. Setelah dekat, beliau bertanya, "lah lewat emkazet, Nak?" Seperti mendapat durian runtuh aku langsung menjawab pertanyaan si Ibu.

 Aku lega ternyata Ibu ini mempunyai tujuan yang sama denganku. Keresahanku mulai menipis. Setidaknya aku tidak sendiri. Jujur, aku takut sendiri. Kami pun berbincang. Ternyata si Ibu adalah pemilik studio foto Simauang Indah yang terletak di samping masjid Taqwa Talawi. Maksudnya datang ke Batusangkar ini adalah untuk mengambil hasil cetak foto prawedding pelanggannya. Beliau kesal sekali terhadap pemilik tempatnya mencuci foto tersebut karena ketika di telpon ia mengatakan sudah bisa dijemput tapi ketika ia datang ternyata foto tersebut belum di cetak. Sehingga ia harus menunggu lama. Aku hanya tersenyum menanggapi ceritanya. Ibu ini tampak mudah sekali bercerita pada orang yang baru dikenalnya. Setelah menceritakan tujuan kedatangannya di kota budaya ini, ia melanjutkan dengan menceritakan anak perempuannya yang saat ini sedang kuliah profesi keperawatan, kemudian sampai pada teman dekat putrinya tersebut yang tinggal di kota ini. Perbincangan itu lumayan untuk mengusir kebosanan menunggu Emkazet.

Hari tampak semakin gelap. Jam pun ternyata sudah menunjukkan pukul enam kurang lima menit. Aku mulai khawatir, jangan-jangan tidak ada Emkazet lagi untuk hari ini. Hal serupa juga dialami si ibu. Ibu itu menelpon seseorang, dari cara bicaranya terlihat  ia menelpon anak lelakinya minta dijemput kalau memang tak ada lagi Emkazet. Sementara aku memberi kabar ke rumah. Aku dan Ibu itu sepakat akan menunggu Emkazet sampai jam setengah tujuh malam. Jika jam setengah tujuh belum juga datang, aku kembali ke kos dan si Ibu akan di jemput anaknya, eh maksudku calon menantunya.

Sudah hampir setengah tujuh. Emkazet yang ditunggu tak kunjung datang. Aku sudah pastikan akan kembali ke kos. Sms dari Nocha masuk bertubi-tubi. Memastikanku apakah kembali ke kos atau sudah dapat bus. Aku tahu di rumah pasti sangat khawatir, terlebih Amak.

Tiba-tiba Ibu itu berdiri, sebuah Avanza silver berhenti melewati kedai sedikit. Orang dari dalam Avanza berteriak, "pulang, Ni?"

"Iyo" kata si ibu, seraya ia berjalan ke arah Avanza. Aku termangu. Ibu itu memanggilku.

 "Capek lah, ko kawan Ibuk mah... Ikuik lah naiak," katanya. Tanpa pikir panjang aku langsung mengikuti Ibu itu. Aku masih sempat berteriak pada Bapak pemilik kedai minta izin pulang. Yang menjawab malah dua lelaki muda di bengkel sepeda itu.

Aku seperti pernah mengenal teman Ibu ini. Wajahnya tidak asing. Setelah bincang-bincang, ternyata beliau adalah sopir angkot Sawahlunto-Talawi-Sawahlunto. Pantas saja wajahnya seperti tidak asing. Beliau bahkan masih ingat aku, beliau katakan bahwa dulu aku sering naik angkotnya ketika masih duduk di Tsanawiyah Talawi. Setibanya di Bukit Gombak, Emkazet lewat. Tapi aku bersyukur, karena aku tidak duduk di kursi serap. (Hehhehe).

Sampai di Talawi, Ibu itu turun. tak urung aku khawatir. Turun di sini tidak mungkin, siapa yang akan menjemputku ke sini nanti. Ku beranikan tanya, "Om, lewat Kolok atau Lewat salak?"

"Sabananyo sih lewat Kolok. Kalau turun di siko malam-malam ko ndag ado ojek do ndag?" kata si Om.

"Ndag Om."

"Kalau ndag ado Om lewat Salak."

"Maaf merepotkan Om."

"Ndag ba a do."

Setibanya di Simpang Kolok, kebetulan sekali Emkazet yang tadi sempat kulihat berhenti di sana. Aku kemudian bilang pada si Om bahwa aku turun di sini saja dan melanjutkan dengan naik Emkazet seraya  tak lupa bilang terimakasih padanya. Sopir Emkazet itu terlihat sedang menurunkan barang bawaan penumpang.

 "Pak, wak naiak ciek, Pak," kataku.

"Naiaklah, Nak," katanya.

Kuedarkan pandangan ke seluruh isi bus,  hanya tinggal 5 orang penumpang. Biasanya ongkos angkot dari Talawi ke Salak hanya dua ribu rupiah, kalau Emkazet biasanya lebih murah. Tapi aku akan bayar tetap dua ribu. Aku mencari-cari uang kembalian ojek tadi sore dalam saku tas.

Tiba di Simpang Kandi, mobil itu hendak belok. Kuteriak bahwa ada yang turun di Salak. Sang sopir melihat padaku. Tampak sekali wajah kesalnya. "Ooo... ko yang naiak dari oto putiah tadi mah yoo," katanya.

"Bukan putih, tapi silver," jawabku dalam hati.

 Meski tampak kesal, si Bapak tidak jadi belok. Adduuhh, aku benar-benar merasa tidak enak. Pasti si Bapak sudah sangat lelah dan cepat-cepat ingin sampai di rumahnya. Kehadiranku membuatnya harus memutar jalan, itu lebih lama. Aku berubah pikiran, kumasukkan kembali uang dua ribu tersebut dan kukeluarkan selembar 10 ribu, satu-satunya sisa uangku yang memang untuk ongkos pulang. Aku memberhentikan bus itu tepat di simpang tiga dan memberikan uang sepuluh ribu pada si Bapak.

"Baliak annyo ambiak ajo lah, Pak. Ndag ba do," kataku. Penumpang yang duduk di samping sopir bertanya sambil tersenyum, "yo bana lai ndag ba a?

"Ndag ba a do pak," kataku menegaskan.  Bus Emkazet itupun melaju.

Abak menungguku di kedai Tek Sum. Kehangatan rumah tinggal sejengkal lagi.
***

Sabtu senja itu selalu sama, yang membedakan hanyalah dengan siapa aku bertemu dan berapa lama aku menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar