Jumat, 06 September 2013

Nikah Sambil Kuliah?




Apa yang anda pikirkan jika seseorang melontarkan pernyataan,  menikah sambil kuliah?  Wow, pasti tidak ada seorangpun yang menginginkan  - terutama sekali mahasiswa wanita (baca: mahasiswi) -  ataupun sekedar mambayangkan hal itu terjadi pada mereka.  Banyak alasan yang mereka kemukakan. Diantaranya adalah belum siap,  takut mengganggu kuliah, dan masih ingin menikmati masa-masa remaja.     
Dampak psikologis yang sangat besar dirasakan oleh mahasiswa wanita. Sebagai contoh bunga (nama samaran), mahasiswi semester  tiga jurusan tarbiyah. Ia memutuskan mengakhiri masa lajangnya karena faktor ekonomi, dengan catatan sang suami membiayai kuliahnya sampai selesai. Menurut sahabatnya beban psikologis jelas terlihat pada bunga. Meski tidak sampai mengganggu tugas-tugas kuliah, sahabatnya merasakan perbedaan pada diri bunga.  Seperti sering membicarakan hal-yang tidak penting, dan badan terlihat lebih kurus.  Selain itu bunga terlihat sangat sensitif, dan sering merasa tidak di acuhkan teman. Akan tetapi hal yang kontras di tunjukkan oleh mawar (nama samaran), mahasiswi  semester lima pada jurusan yang sama. Di mana letak perbedaannya? Toh, mereka sama-sama menikah sambil kuliah, belum lagi mawar yang sudah memliki seorang putra. Saya pikir, perbedaan mendasar nya terletak pada proses penyesuaian diri masing-masing individu. Dan bagaimana tanggung jawabnya terhadap komitmen yang telah dibuat.
Pakar psikologi, Diane E. Papalia dan Slly Wendkos Olds  dalam bukunya “human development” (1995), mengemukakan bahwa usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki usia 20-25 tahun. Ini adalah usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga ataupun untuk menjadi  pengasuh anak pertama (the first time parenting). Sedangkan  Norman Sprinthall dan W. Andrew Collins mencatat dalam bukunya “Adolecent Psychologi” (1995) bahwa gejolak syahwat yang semula meledak-ledak akan berubah menjadi stabil ketika menikah usia dini. Yang lebih menarik adalah temuan Campbell dan kawan-kawan bahwa yang paling bahagia diantara pasangan nikah, adalah pasangan nikah usia 20-25 tahun (Papalia dan Olds, 1995).            
Sementara itu Muhammad Fauzil Adzim Spsi, pakar psikologi UII, menyatakan bahwa dari perspektif psikologi ,menikah saat kuliah lebih banyak memiliki nilai positif.  Ini akan memberi motivasi  yang  tinggi bagi seseorang untuk mengarungi kehidupan. Dengan menikah seseorang dipacu agar berusaha semaksimal mungkin menggunakan potensi yang dimiliki. Ia juga dituntut berani menghadapi segala persoalan, meski yang paling berat sekalipun. Karena itulah mahasiswa tidak perlu takut untuk menikah sambil kuliah.
 So, apakah anda termasuk orang yang setuju menikah sambil kuliah? Atau anda adalah orang yang lebih suka menghabiskan waktu untuk pacaran?  Pilihan ada ditangan anda masing-masing.  (Buka-buka File lama, tulisan ini merupakan syarat ketika dulu mendaftar di TMI, Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar