Jumat, 06 September 2013

Welsya's Note; Penantian Tak Berujung (Bagian I)

       Aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Tapi, aku kaya dengan memiliki dua ayah dan dua ibu. Orangtua-ku sudah lama bercerai, sewaktu aku masih kecil, sekitar umur 4 tahun. Ayahku menikah sewaktu aku masih di Taman kanak-kanak. Sedangkan ibu menikah empat tahun setelah ayah. Semenjak ayah menikah aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan aku tak mengenali seperti apa wajah ayah. Tapi kata ibu dan keluargaku, aku dan ayahku bagikan pinang dibelah dua. Hanya jenis kelamin yang membedakan kami. 
Waktu begitu cepat berlalu setelah  aku menduduki bangku kelas lima SD. Ada seorang laki-laki yang mencariku ke sekolah. Aku bertanya-tanya dalam hati siapa orang ini. Berberapa menit kemudian aku menemukan jawaban yang aku cari. Ternyata sosok laki-laki yang berada di depanku adalah ayah yang selama ini menghilang bagaikan ditelan bumi. 
Aku bahagia sekali bisa bertemu dengan ayah, walaupun kami tidak bisa berkumpul dalam satu keluarga. Tapi aku masih bisa untuk bertemu ayah. Ternyata apa yang dikatakan ibu benar. Aku sangat mirip dengan ayah. Aku memeluk ayah dengan penuh kehangatan, seakan-akan aku tidak ingin pelukan itu terlepas dariku.
Seiring berlalunya waktu, aku lulus SD dengan nilai terbaik. Aku melanjutkan sekolah di sebuah sekolah agama yang tak begitu jauh dari rumah. Sekitar 3 kilometer dari rumah. Awalnya aku ingin tinggal di asrama. Tapi setelah dijalani, tinggal di asrama tidak mengasyikkan. Jadi, aku minta izin sama ibu untuk tidak tinggal diasrama lagi. Ibupun memberi izin, akhirnya aku pergi sekolah pakai sepeda.
Dua  tahun pun berlalu begitu cepat seperti roda sepedaku yang bergulir saatku kayuh. Suatu sore saat libur akhir tahun, aku dikejutkan oleh sebuah berita yang sangat  mengemparkan. Ayah kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Aku bingung dengan apa akan menjenguk ayah ke rumah sakit,  karena rumah sakit itu sangat jauh dari rumah. Sedangkan ibu tidak ada uang untuk ongkos.
 Di tengah kebingungan itu, aku teringat celengan yang rencananya akan kugunakan untuk keperluan ketika tamat sekolah nanti. Aku kemudian mengambil celengan itu dari dalam lemari. Hatiku sangat sedih karena celengan itu sangat berharga bagiku, tapi disisi lain ayahpun sangat berharga bagiku. Aku mengambil pisau dan mengoyak kaleng plastik tersebut. Isinya cuma dua ratus ribu. Seratus ribu kuberikan pada ibu untuk disimpan sedang yang sisanya  kujadikan ongkos dan biaya lainnya di perjalanan nanti
Ibu tidak bisa ikut, karena ongkosnya tidak cukup. Aku pergi dengan sepupu ayah dan berangkat pada sore hari. Perjalanan terasa begitu membosankan. Aku tak sabar lagi ingin melihat ayah. Sekitar jam sepuluh malam aku akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ayahku dirawat.
Ayah tampak terbaring lemah.  Keadaannya belum begitu stabil. Kudengar beliau harus menjalani  operasi; tumitnya harus diamputasi. Aku sangat sedih dengan keadaan ayah saat itu. Yang bisa aku lakukan hanya menangis dan berdoa. Semoga ayahku sabar dan cepat sebuh dari penyakitnya.  
Beberapa minggu kemudian akhirnya ayah dibolehkan pulang ke rumah. Rumah istri ayah tidak begitu jauh dari rumahku. Jadi, aku bisa menjeguk ayah kapan saja aku mau.  
       Allah masih mengujiku. Ketika UN SMP, aku termasuk siswa yang belum beruntung. Aku tidak lulus, aku sangat terpukul dengan semua itu. Bahkan aku tidak mau sekolah lagi percuma saja sekolah kalau hanya buat kecewa. Ibu sudah membujukku dengan berbagai cara supaya aku mau sekolah lagi. Tapi, semua itu sia-sia, karena keputusanku waktu itu tidak berubah.  
       Akhirnya aku bertemu dengan kakak angkatku. Kata-katanya sangat pedas, dia memarahiku karena aku tidak mau sekolah. Ada sebuah kalimat yang terlontar dari mulutnya yang sampai sekarang masih kuingat; kenapa kita harus berhenti karena tertarung batu di awal perjalanan padahal perjalanan  masih panjang. Setelah kurenungi kata-katanya itu, akhirnya kuputuskan untuk mengulang kembali di kelas tiga. Tapi, aku tidak ingin sekolah di SMP yang sama. 
      Berkat bantuan kepala sekolah di sebuah MTsN aku akhirnya masuk ke sebuah Madrasah Aliyah dengan mengunakan ijazah paket B. Awalnya aku masih malu karena aku memakai ijazah paket B. Tapi, lama-kelamaan aku pun berusaha sekuat tenaga kalau aku bisa seperti teman-temanku yang lain. Disinilah aku mulai mandiri, paling tidak bisa menambah uang sakuku sendiri. Ternyata mencari uang itu memang sulit, tidak semudah menampung kepada orang tua. 
      Tanpa terasa kini ku sudah menduduki bangku kelas 3 MAN. Beberapa bulan saat  menjalani tugas sebagai siswa kelas tiga, seorang guru melontarkan sebuah pertanyaan padaku; mau kuliah di mana, Nak? Mungkin bagi orang lain itu sebuah pertanyaan yang biasa saja. Tapi, bagiku itu sebuah pertanyaan yang memukul. Alhamdulillah, aku memang berprestasi sewaktu di MAN. Tapi, tak pernah terpikir olehku untuk kuliah. Kareana ibu bilang, kalau aku tamat MAN itu sudah lebih dari cukup.
       Saat itu kuputuskan setelah tamat MAN nanti aku akan mencari kerja. Tapi, takdir berkehendak lain. Awal semester dua teman-teman mulai sibuk mengisi formulir  mahasiswa undangan. Aku pun tergiur untuk mengisi undangan itu. Tapi, aku bimbang apakah ibu akan mengizikanku untuk kuliah. Tanpa pertimbangan yang matang aku mengambil formulir yang harganya murah dengan perguruan tinggi yang biayanya terjangkau oleh saku ibuku.
       Sesampai di rumah dengan penuh keraguan aku memberikan kertas itu pada ibu. Aku takut ibu merasa sedih jika beliau tidak bisa memenuhi keinginannku yaang mendadak ingin kuliah. Tapi, ibu menyambut keinginanku dengan memberiku motivasi; orang bisa, kenapa kita tidak.
      Aku sangat bahagia sekali, karena ibu memberiku peluang untuk kuliah. Aku mengisi formulir itu dengan semangat. Aku mengisi pilihan pertama manajemen informatika dan pilihan kedua Bimbingan dan Konseling. Sebelum ujian UN hasil PMDK itu keluar. Aku lulus pada pilihan kedua. Sekarang aku harus fokus pada UN dulu baru aku memikirkan kuliah lagi. 
       Ujian nasional sudah dia ambang pintu. Hari pertama ujian aku sangat khawatir. Aku tak ingin gagallagi di ujian nasional kali ini. Aku melewati ujian dengan keyakinan penuh, sangat optimis. Akhirnya aku menyelesaiakan  dengan baik. Walaupun ada kerikil-kerikil kecil yang menghadang ditengah perjalananku.
      Beberapa minggu setelah ujian nasional hasilnya pun keluar. Isu yang berkembang, ada 4 orang anak kelas tiga yang tidak lulus UN. Aku sangat takut, jangan-jangan yang diantara empat orang itu aku salah satu nya. Alhamdulillah, ternyata aku beruntung. Aku lulus dengan nilai yang memuaskan.
     Mataku berkaca-kaca karena akhirnya aku tamat dengan nilai memuaskan dan bisa juga mencicipi bangku perkuliahan. Sebelum berangkat ke kampus tujuan,  aku memenui ayah untuk minta izin. Ayah memberi izin, tapi kata ayah, ayah hanya bisa membantu dengan doa. Itu pun sudah lebih dari cukup bagiku. Ternyata di hari yang sama ayah juga berangkat dari rumah istrinya, karena mertua ayah tidak menyukai ayah. Ayah sudah cacat. Aku sangat sedih melihat semua kenyataan itu. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa berdoa semoga ayah bisa sabar menghadapi semua ini. Mulai saat itu aku bertekad akan menamatkan kuliah dan mencari pekerjaan yang layak.  Itu semua agar aku bisa membantu ayah.
        Kampus itu mungil. Tapi, memberikan kesan tersendiri bagiku. Diawal perkuliahan aku bingung karena semua yang ada di sekelilngku baru. Teman baru, suasana yang baru. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
      Kata kebanyakan orang kuliah itu sulit. Tenyata setelah aku jalani tidak begitu sulit. Awal-awalnya ku memang canggung karena sistem belajarnya yang berbeda dengan ketika aku masih sekolah di MAN dulu.
Tapi, dengan bergulirnya waktu aku bisa melewatinya. Di sini aku harus bisa lebih mandiri lagi karena jauh dari orangtua. Terkadang uang yang dikirimkan ibu tidak cukup untuk biayaku di sini.
       Aku memililki sedikit keterampilan menyulam yang aku dapat sewaktu di Aliyah dulu. Jadi aku kembangkan di sini. Itu pun tidak berjalan dengan mulus, akhirnya dengan bantuan salah seorang dosen aku pun mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik yaitu mengajar privat. Sebenarnya ini juga merupakan pekerjaan yang sulit, tapi, aku harus bisa lalui.
        Sekarang libur semester. Libur yang panjang itu kuhabiskan dengan membantu ibu dan mencari uang untuk bayar SPP. Seminggu sebelum libur usai, aku merasa sangat merindukan ayah. Malam harinya, ku hubungi hpnya. Nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sangat rindu ayah karena sudah enam bulan tidak bertemu ayah. Terakhir ayah datang kerumah sewaktu aku awal semester empat.
     Aku pun berniat untuk menengok ayah kerumahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain, besok malamnya hp ibu berdering; pamanku memanggil. Kebetulan hp itu di tanganku. Jadi aku angkat aja telpon itu. Sebelumnya aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba paman nelpon ke hp ibu, tidak biasanya paman menelpon kami. Paman berharap ibu yang angkat telpon karena ini berita buruk untukku. Karena aku yang angkat telponnya, paman dengan suara gemetar bilang padaku kalau ayahku sudah menghadap ilahi.
     Berita itu membuat sekujur tubuh ini gemetar. Tubuhku lemah tak berdaya. Ku tak tau apa yang harus ku lakukan. Aku hanya bisa menangis pilu karena ayah yang aku cinta sudah meninggalkanku untuk selamanya. Impianku untuk membahagiakannya sudah hancur. Aku belum sempat memberikan kebahagian padanya, beliau sudah pergi. Karena hari sudah malam jadi aku tidak bisa pergi ke rumah ayah. Karena jalan ke sana sangat buruk. 
     Menunggu pagi  begitu lama rasanya. Mataku tidak bisa tertidur, akhirnya jam lima subuh aku di jemput oleh seorang keponakan ayah. Aku sudah tidak sabar untuk melihat ayah. Sesampai di depan rumah ayah orang sudah ramai. Aku naik ke atas rumah melihat ayah terbujur di atas kasur yang tak berbentuk dan di selimuti kain lusuh. Hatiku tambah tersayat melihat keadaan ayah. Seakan-akan ayah tidak punya siapa-siapa yang merawatnya, padahal ia memiliki istri (Ibu tiriku) dan anak-anaknya. Pun sanak saudara.
    Aku duduk di sudut rumah itu menangis pilu. Kematian ayah membuatku sangat terpukul. ***

1 komentar: