Rabu, 10 April 2013

KEPEMIMPINAN KHALIFAUR RASYIDIN




Makalah
Kepemimpinan Khalifaur Rasyidin
Oleh
Fitria Osnela
Diajukan sebagai Syarat untuk Mengikuti PKM-D
Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Dasar
Di Islamic Center Batusangkar (23-26 Oktober 2011)


Sejak kematian Rasulullah, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh periode Khalifaur Rasyidin. Periode kekhalifahan ini dimulai dari pemerintahan Abu Bakar dan diakhiri oleh Ali bin Abi Thalib.  Mereka dipilih melalui proses musyawarah. Abu Bakar as- Siddiq adalah Khalifaur Rasyidin pertama yang dipilih oleh umat islam sesaat setelah mangkatnya rasulullah. Beliau menjabat sebagai khalifah hanya selama dua setengah tahun. Khalifah selanjutnya adalah Umar bin Khattab yang dipilih atas
 Penunjukan Umar bin Khattab. Khalifah selanjutnya adalah Usman bin Affan yang dipilih oleh farmatur yang terdiri dari enam sahabat. Ali  bin Abi Thalib adalah khalifah terakhir yang pada masa kepemimpinannya umat islam terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan Khawarij dan golongan Syi’ah.
Dalam makalah ini pemakalah mengkhususkan pembahasannya hanya pada kepemimpinan khalifaur rasyidin. Kelahiran dan masa remaja para khalifah tidak terlalu disinggung dalam makalah ini, sebab jika kesemua hal itu dipaparkan disini, pemakalah yakin tidak cukup halaman untuk menuliskannya. Oleh karena itu pemakalah hanya mengkhususkan pembahasan pada kepemimpinan Khalifaur Rasyidin.
1.      Abu Bakar  As-Siddiq (661-750 M)
Abu Bakar As Siddiq terlahir dengan nama Abdullah  Ibnu Abi Quhafah at Tamimi. Dimasa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi Muhammad menjadi Abdullah Kuniyah-nya Abu Bakar. Beliau diberi kuniyah Abu Bakar (Pemagi) karena dari pagi-pagi betul dia telah masuk islam. Gelarnya: as-Shiddiq (yag amat membenarkan) rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Dimasa jahiliyah Abu Bakar berniaga. Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dan berhati suci. Ketika islam masuk, beliau segera mempercayainya  dan kemudian ikut  menyiarkannya  dan mengembangkannya. Abu Bakar as-Shiddiq ikut Nabi Muhammad saw., hijrah  ke Madinah. Dan bersama-sama bersembunyi di Gua Tsur, pada malam  permulaan hijrah sebelum  melanjutkan perjalanan.
Sesudah Rasulullah wafat, kaum Anshar menghendaki agar orang yang akan menjadi khalifah  dipilih diantara mereka.  Orang-orang  yang tadinya ragu-ragu untuk memberikan  ba’iah kepada Abu Bakar, dikala golongan terbanyak dari kaum muslimin telah memba’iahnya segera pula memberikan ba’iahnya.[1]
Dalam masa kepemimpinannya salah satu kebijaksanaan  monumental yang diambil  Abu Bakar adalah rencana perluasan  pengaruh Islam ke seantero dunia Arab, tepatnya ke Syiria (disebut juga dalam  literature islam dengan nama Syuriah maupun Syam) dan kawasan bekas kerajaan Mesopotamia. Untuk melaksanakan rencana itu  Abu Bakar mengangkat Khalid bin Walid, seorang bekas panglima pasukan kaum Quraisy pada waktu perang Uhud, yang berhasil mengalahkan pasukan islam.
Dibawah kepemimpinan panglima  Khalid bin walid  pasukan islam mampu  mengubah  pikiran orang-orang Byzantium yang selama ini dipandang  remeh. Selama ini pasukan islam selalu dibayangkan sebagai gerombolan liar orang-orang baduwi pengembara. Kemudian terbukti dengan strategi serangan kilat pasukan islam mampu mengalahkan pasukan Syiria, setelah mengepung selama enam bulan. Serangan kejutan itu terjadi karena Khalid bin Walid berhasil melakukan gerakan cepat mengarungi padang pasir lewat pintu belakang,  yang bergerak dari Irak Selatan. Tampaknya konsep gerakan melingkar itu diambil dari keberhasilannya   dalam mengalahkan pasukan Islam di Uhud ketika dia masih belum menjadi Islam. Namun sukses itu terjadi dimasa Umar bin Khattab.[2]
Pada masa kekhalifahannya yang pertama, Abu Bakar hanya menjabat selama dua tahun, sehingga tidak mengalami jatuhnya Syiria. Pengabdian Abu Bakar terpaksa diakhiri karena maut telah datang tanpa dicegah. Ditinjau dari segi politis, situasi kepemimpinan Abu Bakar lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan masa-masa berikutnya, karena disamping ketegasan Abu Bakar, faktor ketebalan keimanan kaum Muhajirin dan Anshar masih tinggi, lantaran belum lama berpisah dengan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat selama masa jabatannya Abu Bakar telah berhasil menganugerahi sejumlah sukses, diantaranya :
a.       Pada masa kepemimpinannya islam telah tersebar di Mesopotamia.
b.      Dalam waktu yang bersamaan dua tokoh nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Tulaihah dan Musailamah.
c.       Disamping itu gagasannya untuk melakukan kodifikasi Qur’an  telah menunjukkan hasil awal yaitu mengumpulka naskah-naskah yang sebelumnya masih terserak.
Semula Abu Bakar termasuk yang menolak gagasan mengkodifikasi Qur’an, karena dianggap bid’ah atau tidak ada contoh dari nabi. Selama masa hidup nabi memang tidak pernah muncul problem perlu tidaknya kodifikasi Qur’an atau hadist, sebab segala sesuatunya dalam langsung ditanyakan kepada nabi.
Kesadarannya untuk mulai melakukan kodifikasi bangkit ketika menyaksikan banyaknya para penghafal Qur’an yang gugur dalam perang penyebaran agama. Untuk mencegah jangan sampai Qur’an musnah bersama dengan gugurnya para penghafal, maka abu bakar mulai memerintahkan untuk mengumpulkan naskah-naskah Qur’an yang ditulis dikulit-kulit domba maupun tulang belulang hewan. Itu sebabnya kemudian Abu Bakar dikenal sebagai pelopor kodifikasi Qur’an.
2.      Umar bin Khattab (634-644 M)
Sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam, Umar bin Khattab lebih menyukai sebutan Amirul Mukminin atau pemimpin yang beriman ketimbang sebutan khalifah. Pengangkatan Umar bin Khattab sebagai hasil penunjukan  Abu Bakar sebelum wafat , meskipun setelah itu  harus mendapatkan persetujuan  para sahabat senior. Dalam pidato inagurasinya  sebagai Amirul Mukminin  dia menyatakan  tekadnya untuk memerintah  dengan bersih, jujur, adil, serta tidak akan melakukan nepotisme  dalam masa pemerintahannya.
Umar bin Khattab dibaiat pada tahun 634 M, tidak lama setelah kematian Abu Bakar. Sebagai pelanjut kepemimpinan Abu Bakar  dia banyak meneruskan  langkah-langkah  Abu Bakar yang belum tuntas. Dalam artian, Abu Bakar sebagai penggagas dan pelopor berbagai kemenangan dalam penyiaran agama islam ke seantero penjuru  kawasan disekitar dunia Arab, sementara Umar dijuluki  sebagai pelaksanaan dari cita-cita  perluasan daerah  pengaruh Islam. Bukan hanya itu, Umar juga  berhasil dalam mengatur atau mengorganisasi hasil kemenangan itu.
Gerakan perluasan daerah pengaruh islam dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid. Dimasa Umar-lah kemenengan Khalid dipersembahkan dengan menduduki Damaskus, ibu kota Syiria atau Suriah pada tahun 641 M. Sebelum itu pasukan islam telah berhasil menghancurkan pasukan Heraclius dari Romawi Timur. Peristiwa itu terjadi dalam suatu operasi militer di Sungai Jatmuk pada 20 agustus 636 M. Dengan demikian Bizantium melepaskan penguasaannya atas Syiria dengan ibu kota Damaskus. Dan Damaskus kemudian menjadi daerah taklukan islam sejak tahun 641 M.
Ekspedisi penyiaran islam ke luar kawasan Arab itu kemudian memecah diri ke beberapa penjuru angin. Disamping gerakan ke arah timur mereka juga bergerak kearah barat. Pasukan sebesar 4000 orang prajurit muslim bergerak ke mesir dibawah panglima Amr bin As. Sepanjang perjalanan tampaknya besar psukan makin bertambah, sampai mencapai 20.000 orang. Hal ini menimbulkan kesan bahwa islam telah membangkitkan daya tarik untuk bergabung dalam pasukan  dibawah panji-panji islam. Ketika pasukan sampai digerbang kawasan Mesir mereka menyaksikan pemandangan menakjubkan dari bayangan kejayaan peradaban masa lampau.  Dibalik gerbang Iskandariah, ibu kota Mesir dikejauhan menjulang bangunan-bangunan kuil serapis dan gereja Santo Markus, sebuah gabungan peninggalan kebudayaan mesir purba dan kebudayaan Romawi. Keduanya dibangun dimasa Ratu Cleopatra dari Mesir untuk kekasihnya Julius Caesar dari romawi. Gereja itu kemudian diteruskan pembangunannya oleh kaisar Augustus.
Sebetulnya pasukan pertahanan yang kuat telah disiapkan untuk mempertahankan ibu kota Mesir dari serangan musuh. Di daratan telah siaga pasukan sebesar 50.000 orang prajurit terlatih, sementara dipantai siaga pula pasukan laut Romawi Timur atau Bizantiun. Namun ibarat sejarah, pengepungan Damaskus berulang di Iskandariah. Kembali sukses ada dipihak prajurit berkuda kaum muslimin yang telah terlatih.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Amr bin As adalah menjadikan kota Heliopolis sebagai ibu kota islam di Mesir. Dalam perkembangannya selanjutnya kota tersebut kelak dikenal dengan Kairo lama yang kelak menjadi ibu kota Mesir. Setelah mendapat izin dan restu dari Khalifah pasukan Amr bin Ash meneruskan ekspedisi mereka ke kawasan-kawasan matahari tenggelam di jalur utara Afrika. Dalam ungkapan bahasa Arab, daerah tersebut  disebut Magribi, yang berarti matahari tenggelam.
Setelah hampir semua kawasan Magribi takluk dibawah kendali islam, maka lengkaplah sudah kawasan islam terbentang dari Magribi di Barta dan sampai ke India disebelah timur. Ternyata kawasan seluas itu menimbulkan konsekuensi yang tidak mudah dalam bidang pengaturan administrasi pemerintahan. Beberapa prinsip administrasi pengaturan kawasan yang dikembangkan diluar arab ini adalah sebagai berikut :
a.    Tidak seorang prajurit dan orang arab berhak atas kawasan baru itu. Semua kawasan dan kekayaan baru langsung menjadi milik islam. Penguasa setempat tidak dipaksa untuk memeluk islam, kecuali atas kemauan sendiri. Mereka diberi hak untuk meneruskan kepemimpinan otonom dikawasan mereka dengan kewajiban membayar pajak perlindungan kepada kekhalifahan di Madinah.
b.   Pengaturannya ditangani oleh seorang amir, yaitu komandan tentara pendudukan dan pasukannya sebagai wakil khalifah.
c.    Kehidupan amir dan pasukannya dijamin oleh penguasa setempat dengan dana dan logistik untuk pelaksanaan operasional tugas mereka di daerah pendudukan.
d.   Pusat-pusat kedudukan amir itu berada di Kuffah, Basrah untuk kawasan Mesopotania, Damaskus untuk kawasan Siyria, dan Fusfat (Mesir) untuk kawasan Magribi.
Namun selagi berbagai masalah sedang dihadapi, Umar bin Khatab mendadak menemui ajalnya oleh tikaman seorang pemuda Persia fanatik pada tahun 644 M. Orang dengan jelas mengetahui bahwa pembunuh itu seorang budak dari Persia yang bernama Abu Lu’luah. Kasus ini merupakan intrik politik di daerah kedudukan, sebagai konsekuensi luasnya kawasan yang ditangani kekhalifahan.
3.      Usman Bin Affan (644-655)
Menjelang wafatnya atau berakhirnya Khalifah Umar Bin Khattab, maka kaum muslimin mendesak agar Usman bin Affan menunjuk salah seorang yang hendak menggantikannya, karena mereka khawatir akan terjadi perpecahan jika dia tidak menunjuk salah seorang calonnya. Tapi Umar bin Khattab tidak memenuhi keinginan dan harapan mereka, dalam arti dia tidak menunjuk salah seorang calon sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar. Dengan pertimbangan bahwa situasi dan kondisinya berbeda dengan yang dialami Abu Bakar,
Keadaan dalam negeri dalam masa Umar sudah stabil dan tentara islam telah memperoleh kemenangan. Sebagai kebijakannya adalah beliau telah membentuk majelis khususnya pemilihan khalifah berikutnya. Majelis atau panitia pemilihan itu terdiri dari enam sahabat dari berbagai kelompok sosial yang ada. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair, Saad bin Abi Waqas, dan Talhah. Namun pada saat pemilihan berlangsung ternyata Talhah tidak sempat hadir, sehingga hanya lima dari enam anggota yang melakukan pemilihan. Majelis pemilihan yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf itu secara bulat memilih Usman bin Affan, seorang keturunan Bani Umayah. Khalifah ketiga itu dibaiat dalam usia 70 tahun. 
Dimasa pemerintahan Usman, Armenia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi islam pertama berhenti sampai disini. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam kepadanya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar, mungkin karena umurnya yang lanjut dan sifatnya yang lemah lembut.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi (nepotisme). Yang terpenting diantaranya adalah Marwan Ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga  arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun  jalan-jalan, jembatan-jembatan, dan mesjid-mesjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Seperti sudah diduga sebelumnya sebagai akibat rapuhnya tali persatuan dan berubahnya dukungan pada khalifah, khalifah Usman mengalami kematian yang amat tragis. Khalifah ditikam dengan pisau panjang oleh seorang muslim yang tidak mengehendaki kepemimpinannya, tepat ketika khalifah sedang mendaras Qur’an di mihrab Masjid. Darahnya mengalir membasahi mushaf Qur’an yang sedang dibacanya.

4.      Ali bin Abi Thalib (655-661 M)
        Kedua orangtua Ali bin Abi Thalib berasal dari Bani Hasyim. Beliau dinamakan “Ali” oleh bapaknya setelah dinamakan “Haidarah” oleh ibunya.[3] Berkembang legenda  seputar kelahiran Ali. Konon ibunya masih terus melakukan  thawaf (mengelilingi Ka’bah), ketika rasa sakit  menjelang kelahiran  mulai dirasakan- sehingga terpaksa melahirkan di bawah naungan Ka’bah. Cerita lain menyebutkan bahwa bayi Ali tidak dapat  membuka matanya sampai beliau dibaringkan  dipangkuan sepupunya, Muhammad. Sehingga wajah Muhammad menjadi wajah pertama yang beliau lihat. Pada saat kelahiran Ali, Muhammad berusia dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah dengan Khadijah selama empat tahun.[4]
        Ketika masih bocah, beliau dipindahkan dari rumah ayahnya kerumah Muhammad. Ketika itu beliau berusia lima tahun, delapan atau sebelas menurut beberapa sumber utama yang berbeda-beda. Ali pindah kerumah sepupunya (Nabi Muhammad) untuk mengobati kesedihan di sana  karena meskipun ke-empat putrinya hidup, ke-tiga putra Muhammad dan Khadijah meninggal dunia. Penjelasan sederhananya: Ali muda mungkin lebih suka tinggal dirumah  yang penuh dengan  sepupu-sepupu yang  seusia dengannya daripada saudara-saudara sekandung yang telah dewasa di rumah ayahnya.[5]
Ali bin Abi Thalib masuk islam pada usia Sembilan tahun. Beliau termasuk orang-orang yang pertama masuk islam (assabiqul awwalun) dari kalangan laki-laki. Ali merupaka seorang yang jujur, meskipun dengan sifat itu beliau akan mendapat keuntungan maupun kerugian. Ketaqwaan dan keimanannya diakui oleh Nabi Muhammad SAW
Ali bin Thalib  terpilih sebagai khalifah dalam situasi yang kurang menguntungkan, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, yang dilakukan oleh kaum pemberontak yang tidak setuju dengan kebijakan yang dianggap nepotisme. Terpilihnya Ali juga atas prakarsa  orang-orang yang beranggapan bahwa  hak kekhalifahan berada ditangan Ahlul Bait (keluarga dekat Nabi). Mereka beranggapan bahwa tidak ada yang lebih pantas memegang jabatan khalifah selain Ali bin Abi Thalib. Sehingga mereka mendesak Ali  agar berkenan menduduki jabatan tersebut, lantaran desakan keras mereka, maka permintaan itu pun disetujui oleh Ali. Kemudian dilanjutkan dengan baiat. Thalhah dan Zubair mula-mula enggan, tapi kemudian mereka ikut juga karena dipaksa kaum pemberontak.
Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah selama lima tahun.[6] Menurut sumber lain, Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah selama enam tahun.[7]  Sejak mula pembaiatannya, Ali bin Abi Thalib harus menghadapi berbagai macam reaksi yang keras baik dari Aisyah (isteri nabi) maupun dari golongan oposisi yaitu Thalhah dan Zubair.
Penduduk Syiria dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan menuduh Ali ikut terlibat dalam kasus terbunuhnya Usman. mereka meminta pertanggungjawaban kepada Ali terhadap peristiwa itu, atau setidak-tidaknya menghadapkannya kedepan pengadilan orang-orang yang tangannya berlumuran dengan darah Usman. Dalam posisinya dan situasi penduduk Madinah seperti itu, Ali terpaksa memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kuffah. Kota Kuffah merupakan pusat kebudayaan yang berkembang seperti  tulis menulis, bahasa, qira’at, biografi, puisi (syair) dan sejarah.[8] Sebelum menghadapi pasukan Syiria yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Syofyan, terlebih dahulu Ali menindas gerakan oposisi yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Maka terjadilah Perang Jamal (nama ini diambil dari Aisyah karena saat itu berperang dengan mengendarai onta ), yang merupakan pertempuran terbuka pertama antara muslim dengan sesama muslim. Perang ini terjadi pada 36 H. sebab-sebab timbulnya Perang Jamal antara lain:
1)      Timbulnya kecurigaan bahwa Ali di duga terlibat mendalangi pembunuhan Usman;
2)      Adanya keinginan Thalhah dan Zubair untuk menduduki kursi khalifah yang didukung oleh Aisyah; dan
3)      Munculnya persekongkolan kelompok Thalhah, Zubair, Aisyah untuk  membalas atas kematian/terbunuhnya Usman.[9]
                         Dalam Perang Jamal tersebut kemenangan berada dipihak Ali. Sedangkan dalam perang antara Ali dan Muawiyah di Shiffin di tebing sungai Tigris, posisi Ali menjadi semakin terpojok. Bukan saja perang itu berakhir dengan tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, bahkan sebagai akibat dari kasus tahkim tersebut kubu Ali sendiri menjadi terpecah menjadi dua kelompok , yaitu kelompok Syiah yang tetap setia pada Ali dan kelompok Khawarij di lain pihak yang beroposisi baik terhadap Mu’awiyah maupun terhadap Ali.
                         Sejak itulah Ali tidak lagi terlihat menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyah, tetapi mengguanakan sisa pasukannya untuk menggempur orang-orang Khawarij yang sebelumnya adalah orang-orang yang mendukung Ali.  Tekanan-tekanan keras dialami oleh orang-orang Khawarij. Diantaranya adalah peristiwa Nahrawan pada tanggal 9 shafar 38 H atau 17 juli 658 M, dimana diantara 1800 orang-orang Khawarij hanya 8 orang saja yang selamat jiwanya. Peristiwa Nahrawan inilah yang telah membuat Abdurrahman bin Muljam menjadi gelap mata hingga membunuh Ali bin abi Thalib. Dengan wafatnya Ali maka beakhirlah periode Khulafaur Rasyidin.





















[1] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, (Jakarta: PT. Pustaka al Husna  Baru, 2003), h.195
[2] Abu Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran,dan Peranannya  dalam Peradaban  Umat Manusia, 2003), h. 55-56
[3] Abbas Mahmud al Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h.12, 13
[4] Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, (Yogyakarta: Diglossia Media, 2007), h. 23,24
[5] Ibid.  h. 24
[6]  Ibid., h. 240

[7] Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.39.

                  [8] Ibid., h. 155-166
[9] MacDonal dalam Muhaimin dan abdul Mujib, Kawasan dan Wawasan Nusantara, (Prenada Media: Jakarta, 2005), h. 256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar