Makalah
Kepemimpinan Khalifaur Rasyidin
Oleh
Fitria Osnela
Diajukan sebagai Syarat untuk Mengikuti PKM-D
Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Dasar
Di Islamic Center Batusangkar (23-26 Oktober 2011)
Sejak kematian Rasulullah,
kepemimpinan umat dilanjutkan oleh periode Khalifaur Rasyidin. Periode
kekhalifahan ini dimulai dari pemerintahan Abu Bakar dan diakhiri oleh Ali bin Abi
Thalib. Mereka dipilih melalui proses
musyawarah. Abu Bakar as- Siddiq adalah Khalifaur Rasyidin pertama yang dipilih
oleh umat islam sesaat setelah mangkatnya rasulullah. Beliau menjabat sebagai
khalifah hanya selama dua setengah tahun. Khalifah selanjutnya adalah Umar bin Khattab
yang dipilih atas
Penunjukan
Umar bin Khattab. Khalifah selanjutnya adalah Usman bin Affan yang dipilih oleh
farmatur yang terdiri dari enam sahabat. Ali
bin Abi Thalib adalah khalifah terakhir yang pada masa kepemimpinannya
umat islam terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan Khawarij dan golongan Syi’ah.
Dalam
makalah ini pemakalah mengkhususkan pembahasannya hanya pada kepemimpinan
khalifaur rasyidin. Kelahiran dan masa remaja para khalifah tidak terlalu disinggung
dalam makalah ini, sebab jika kesemua hal itu dipaparkan disini, pemakalah
yakin tidak cukup halaman untuk menuliskannya. Oleh karena itu pemakalah hanya
mengkhususkan pembahasan pada kepemimpinan Khalifaur Rasyidin.
1.
Abu Bakar As-Siddiq (661-750
M)
Abu Bakar As Siddiq terlahir dengan
nama Abdullah Ibnu Abi Quhafah at Tamimi.
Dimasa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi Muhammad menjadi
Abdullah Kuniyah-nya Abu Bakar. Beliau diberi kuniyah Abu Bakar (Pemagi) karena
dari pagi-pagi betul dia telah masuk islam. Gelarnya: as-Shiddiq (yag amat
membenarkan) rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ dan
Mi’raj.
Dimasa jahiliyah Abu Bakar berniaga.
Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dan berhati suci. Ketika islam
masuk, beliau segera mempercayainya dan
kemudian ikut menyiarkannya dan mengembangkannya. Abu Bakar as-Shiddiq ikut
Nabi Muhammad saw., hijrah ke Madinah.
Dan bersama-sama bersembunyi di Gua Tsur, pada malam permulaan hijrah sebelum melanjutkan perjalanan.
Sesudah Rasulullah wafat, kaum Anshar
menghendaki agar orang yang akan menjadi khalifah dipilih diantara mereka. Orang-orang
yang tadinya ragu-ragu untuk memberikan ba’iah kepada Abu Bakar, dikala golongan
terbanyak dari kaum muslimin telah memba’iahnya segera pula memberikan
ba’iahnya.[1]
Dalam masa kepemimpinannya salah
satu kebijaksanaan monumental yang
diambil Abu Bakar adalah rencana
perluasan pengaruh Islam ke seantero
dunia Arab, tepatnya ke Syiria (disebut juga dalam literature islam dengan nama Syuriah maupun Syam)
dan kawasan bekas kerajaan Mesopotamia. Untuk melaksanakan rencana itu Abu Bakar mengangkat Khalid bin Walid,
seorang bekas panglima pasukan kaum Quraisy pada waktu perang Uhud, yang
berhasil mengalahkan pasukan islam.
Dibawah kepemimpinan panglima Khalid bin walid pasukan islam mampu mengubah
pikiran orang-orang Byzantium yang selama ini dipandang remeh. Selama ini pasukan islam selalu
dibayangkan sebagai gerombolan liar orang-orang baduwi pengembara. Kemudian
terbukti dengan strategi serangan kilat pasukan islam mampu mengalahkan pasukan
Syiria, setelah mengepung selama enam bulan. Serangan kejutan itu terjadi karena
Khalid bin Walid berhasil melakukan gerakan cepat mengarungi padang pasir lewat
pintu belakang, yang bergerak dari Irak
Selatan. Tampaknya konsep gerakan melingkar itu diambil dari keberhasilannya dalam
mengalahkan pasukan Islam di Uhud ketika dia masih belum menjadi Islam. Namun
sukses itu terjadi dimasa Umar bin Khattab.[2]
Pada
masa kekhalifahannya yang pertama, Abu Bakar hanya menjabat selama dua tahun,
sehingga tidak mengalami jatuhnya Syiria. Pengabdian Abu Bakar terpaksa
diakhiri karena maut telah datang tanpa dicegah. Ditinjau dari segi politis,
situasi kepemimpinan Abu Bakar lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
masa-masa berikutnya, karena disamping ketegasan Abu Bakar, faktor ketebalan
keimanan kaum Muhajirin dan Anshar masih tinggi, lantaran belum lama berpisah
dengan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat selama masa jabatannya Abu Bakar telah
berhasil menganugerahi sejumlah sukses, diantaranya :
a.
Pada
masa kepemimpinannya islam telah tersebar di Mesopotamia.
b.
Dalam
waktu yang bersamaan dua tokoh nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Tulaihah
dan Musailamah.
c.
Disamping
itu gagasannya untuk melakukan kodifikasi Qur’an telah menunjukkan hasil awal yaitu mengumpulka
naskah-naskah yang sebelumnya masih terserak.
Semula
Abu Bakar termasuk yang menolak gagasan mengkodifikasi Qur’an, karena dianggap
bid’ah atau tidak ada contoh dari nabi. Selama masa hidup nabi memang tidak
pernah muncul problem perlu tidaknya kodifikasi Qur’an atau hadist, sebab
segala sesuatunya dalam langsung ditanyakan kepada nabi.
Kesadarannya
untuk mulai melakukan kodifikasi bangkit ketika menyaksikan banyaknya para
penghafal Qur’an yang gugur dalam perang penyebaran agama. Untuk mencegah
jangan sampai Qur’an musnah bersama dengan gugurnya para penghafal, maka abu
bakar mulai memerintahkan untuk mengumpulkan naskah-naskah Qur’an yang ditulis
dikulit-kulit domba maupun tulang belulang hewan. Itu sebabnya kemudian Abu
Bakar dikenal sebagai pelopor kodifikasi Qur’an.
2.
Umar bin Khattab (634-644 M)
Sebagai pengganti dan penerus
kepemimpinan Islam, Umar bin Khattab lebih menyukai sebutan Amirul Mukminin atau
pemimpin yang beriman ketimbang sebutan khalifah. Pengangkatan Umar bin Khattab
sebagai hasil penunjukan Abu Bakar sebelum
wafat , meskipun setelah itu harus
mendapatkan persetujuan para sahabat
senior. Dalam pidato inagurasinya
sebagai Amirul Mukminin dia
menyatakan tekadnya untuk
memerintah dengan bersih, jujur, adil,
serta tidak akan melakukan nepotisme
dalam masa pemerintahannya.
Umar bin Khattab dibaiat pada tahun
634 M, tidak lama setelah kematian Abu Bakar. Sebagai pelanjut kepemimpinan Abu
Bakar dia banyak meneruskan langkah-langkah Abu Bakar yang belum tuntas. Dalam artian, Abu
Bakar sebagai penggagas dan pelopor berbagai kemenangan dalam penyiaran agama
islam ke seantero penjuru kawasan
disekitar dunia Arab, sementara Umar dijuluki
sebagai pelaksanaan dari cita-cita
perluasan daerah pengaruh Islam.
Bukan hanya itu, Umar juga berhasil
dalam mengatur atau mengorganisasi hasil kemenangan itu.
Gerakan perluasan daerah pengaruh
islam dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid. Dimasa Umar-lah kemenengan
Khalid dipersembahkan dengan menduduki Damaskus, ibu kota Syiria atau Suriah pada
tahun 641 M. Sebelum itu pasukan islam telah berhasil menghancurkan pasukan
Heraclius dari Romawi Timur. Peristiwa itu terjadi dalam suatu operasi militer
di Sungai Jatmuk pada 20 agustus 636 M. Dengan demikian Bizantium melepaskan
penguasaannya atas Syiria dengan ibu kota Damaskus. Dan Damaskus kemudian
menjadi daerah taklukan islam sejak tahun 641 M.
Ekspedisi penyiaran islam ke luar
kawasan Arab itu kemudian memecah diri ke beberapa penjuru angin. Disamping
gerakan ke arah timur mereka juga bergerak kearah barat. Pasukan sebesar 4000
orang prajurit muslim bergerak ke mesir dibawah panglima Amr bin As. Sepanjang
perjalanan tampaknya besar psukan makin bertambah, sampai mencapai 20.000
orang. Hal ini menimbulkan kesan bahwa islam telah membangkitkan daya tarik
untuk bergabung dalam pasukan dibawah
panji-panji islam. Ketika pasukan sampai digerbang kawasan Mesir mereka
menyaksikan pemandangan menakjubkan dari bayangan kejayaan peradaban masa
lampau. Dibalik gerbang Iskandariah, ibu
kota Mesir dikejauhan menjulang bangunan-bangunan kuil serapis dan gereja Santo
Markus, sebuah gabungan peninggalan kebudayaan mesir purba dan kebudayaan Romawi.
Keduanya dibangun dimasa Ratu Cleopatra dari Mesir untuk kekasihnya Julius
Caesar dari romawi. Gereja itu kemudian diteruskan pembangunannya oleh kaisar Augustus.
Sebetulnya pasukan pertahanan yang
kuat telah disiapkan untuk mempertahankan ibu kota Mesir dari serangan musuh.
Di daratan telah siaga pasukan sebesar 50.000 orang prajurit terlatih,
sementara dipantai siaga pula pasukan laut Romawi Timur atau Bizantiun. Namun ibarat
sejarah, pengepungan Damaskus berulang di Iskandariah. Kembali sukses ada
dipihak prajurit berkuda kaum muslimin yang telah terlatih.
Langkah selanjutnya yang dilakukan
oleh Amr bin As adalah menjadikan kota Heliopolis sebagai ibu kota islam di
Mesir. Dalam perkembangannya selanjutnya kota tersebut kelak dikenal dengan Kairo
lama yang kelak menjadi ibu kota Mesir. Setelah mendapat izin dan restu dari Khalifah
pasukan Amr bin Ash meneruskan ekspedisi mereka ke kawasan-kawasan matahari
tenggelam di jalur utara Afrika. Dalam ungkapan bahasa Arab, daerah
tersebut disebut Magribi, yang berarti matahari
tenggelam.
Setelah hampir semua kawasan Magribi
takluk dibawah kendali islam, maka lengkaplah sudah kawasan islam terbentang
dari Magribi di Barta dan sampai ke India disebelah timur. Ternyata kawasan
seluas itu menimbulkan konsekuensi yang tidak mudah dalam bidang pengaturan
administrasi pemerintahan. Beberapa prinsip administrasi pengaturan kawasan
yang dikembangkan diluar arab ini adalah sebagai berikut :
a.
Tidak
seorang prajurit dan orang arab berhak atas kawasan baru itu. Semua kawasan dan
kekayaan baru langsung menjadi milik islam. Penguasa setempat tidak dipaksa
untuk memeluk islam, kecuali atas kemauan sendiri. Mereka diberi hak untuk
meneruskan kepemimpinan otonom dikawasan mereka dengan kewajiban membayar pajak
perlindungan kepada kekhalifahan di Madinah.
b.
Pengaturannya
ditangani oleh seorang amir, yaitu komandan tentara pendudukan dan pasukannya
sebagai wakil khalifah.
c.
Kehidupan
amir dan pasukannya dijamin oleh penguasa setempat dengan dana dan logistik untuk
pelaksanaan operasional tugas mereka di daerah pendudukan.
d.
Pusat-pusat
kedudukan amir itu berada di Kuffah, Basrah untuk kawasan Mesopotania, Damaskus
untuk kawasan Siyria, dan Fusfat (Mesir) untuk kawasan Magribi.
Namun
selagi berbagai masalah sedang dihadapi, Umar bin Khatab mendadak menemui
ajalnya oleh tikaman seorang pemuda Persia fanatik pada tahun 644 M. Orang dengan
jelas mengetahui bahwa pembunuh itu seorang budak dari Persia yang bernama Abu Lu’luah.
Kasus ini merupakan intrik politik di daerah kedudukan, sebagai konsekuensi
luasnya kawasan yang ditangani kekhalifahan.
3.
Usman Bin Affan (644-655)
Menjelang wafatnya atau
berakhirnya Khalifah Umar Bin Khattab, maka kaum muslimin mendesak agar Usman
bin Affan menunjuk salah seorang yang hendak menggantikannya, karena mereka
khawatir akan terjadi perpecahan jika dia tidak menunjuk salah seorang
calonnya. Tapi Umar bin Khattab tidak memenuhi keinginan dan harapan mereka,
dalam arti dia tidak menunjuk salah seorang calon sebagaimana yang dilakukan
oleh Abu Bakar. Dengan pertimbangan bahwa situasi dan kondisinya berbeda dengan
yang dialami Abu Bakar,
Keadaan dalam negeri dalam masa Umar
sudah stabil dan tentara islam telah memperoleh kemenangan. Sebagai
kebijakannya adalah beliau telah membentuk majelis khususnya pemilihan khalifah
berikutnya. Majelis atau panitia pemilihan itu terdiri dari enam sahabat dari
berbagai kelompok sosial yang ada. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan,
Abdurrahman bin Auf, Zubair, Saad bin Abi Waqas, dan Talhah. Namun pada saat
pemilihan berlangsung ternyata Talhah tidak sempat hadir, sehingga hanya lima
dari enam anggota yang melakukan pemilihan. Majelis pemilihan yang diketuai
oleh Abdurrahman bin Auf itu secara bulat memilih Usman bin Affan, seorang
keturunan Bani Umayah. Khalifah ketiga itu dibaiat dalam usia 70 tahun.
Dimasa pemerintahan Usman, Armenia, Cyprus,
Rhodes dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil
direbut. Ekspansi islam pertama berhenti sampai disini. Pemerintahan Usman berlangsung
selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan
tidak puas dan kecewa di kalangan umat islam kepadanya. Kepemimpinan Usman memang
sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar, mungkin karena umurnya yang lanjut dan
sifatnya yang lemah lembut.
Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya
mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi (nepotisme). Yang terpenting diantaranya
adalah Marwan Ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota
keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di
hadapan kerabatnya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan Negara oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa
membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga
membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, dan mesjid-mesjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Seperti sudah diduga sebelumnya
sebagai akibat rapuhnya tali persatuan dan berubahnya dukungan pada khalifah,
khalifah Usman mengalami kematian yang amat tragis. Khalifah ditikam dengan
pisau panjang oleh seorang muslim yang tidak mengehendaki kepemimpinannya,
tepat ketika khalifah sedang mendaras Qur’an di mihrab Masjid. Darahnya
mengalir membasahi mushaf Qur’an yang sedang dibacanya.
4.
Ali bin Abi Thalib (655-661 M)
Kedua orangtua Ali bin Abi Thalib
berasal dari Bani Hasyim. Beliau dinamakan “Ali” oleh bapaknya setelah
dinamakan “Haidarah” oleh ibunya.[3]
Berkembang legenda seputar kelahiran
Ali. Konon ibunya masih terus melakukan thawaf
(mengelilingi Ka’bah), ketika rasa sakit
menjelang kelahiran mulai
dirasakan- sehingga terpaksa melahirkan di bawah naungan Ka’bah. Cerita lain
menyebutkan bahwa bayi Ali tidak dapat
membuka matanya sampai beliau dibaringkan dipangkuan sepupunya, Muhammad. Sehingga
wajah Muhammad menjadi wajah pertama yang beliau lihat. Pada saat kelahiran Ali,
Muhammad berusia dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah dengan Khadijah
selama empat tahun.[4]
Ketika masih bocah, beliau dipindahkan
dari rumah ayahnya kerumah Muhammad. Ketika itu beliau berusia lima tahun,
delapan atau sebelas menurut beberapa sumber utama yang berbeda-beda. Ali
pindah kerumah sepupunya (Nabi Muhammad) untuk mengobati kesedihan di sana karena meskipun ke-empat putrinya hidup,
ke-tiga putra Muhammad dan Khadijah meninggal dunia. Penjelasan sederhananya:
Ali muda mungkin lebih suka tinggal dirumah
yang penuh dengan sepupu-sepupu
yang seusia dengannya daripada
saudara-saudara sekandung yang telah dewasa di rumah ayahnya.[5]
Ali
bin Abi Thalib masuk islam pada usia Sembilan tahun. Beliau termasuk
orang-orang yang pertama masuk islam (assabiqul awwalun) dari
kalangan laki-laki. Ali merupaka seorang yang jujur, meskipun dengan sifat itu
beliau akan mendapat keuntungan maupun kerugian. Ketaqwaan dan keimanannya
diakui oleh Nabi Muhammad SAW
Ali bin Thalib terpilih
sebagai khalifah dalam situasi yang kurang menguntungkan, yaitu setelah
terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, yang dilakukan oleh kaum pemberontak yang
tidak setuju dengan kebijakan yang dianggap nepotisme. Terpilihnya Ali juga
atas prakarsa orang-orang yang
beranggapan bahwa hak kekhalifahan
berada ditangan Ahlul Bait (keluarga dekat Nabi). Mereka beranggapan bahwa
tidak ada yang lebih pantas memegang jabatan khalifah selain Ali bin Abi
Thalib. Sehingga mereka mendesak Ali agar
berkenan menduduki jabatan tersebut, lantaran desakan keras mereka, maka
permintaan itu pun disetujui oleh Ali. Kemudian dilanjutkan dengan baiat.
Thalhah dan Zubair mula-mula enggan, tapi kemudian mereka ikut juga karena
dipaksa kaum pemberontak.
Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah selama lima tahun.[6] Menurut sumber lain, Ali bin Abi Thalib menjabat
sebagai khalifah selama enam tahun.[7] Sejak mula pembaiatannya, Ali bin Abi Thalib
harus menghadapi berbagai macam reaksi yang keras baik dari Aisyah (isteri
nabi) maupun dari golongan oposisi yaitu Thalhah dan Zubair.
Penduduk Syiria dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan menuduh Ali
ikut terlibat dalam kasus terbunuhnya Usman. mereka meminta pertanggungjawaban
kepada Ali terhadap peristiwa itu, atau setidak-tidaknya menghadapkannya
kedepan pengadilan orang-orang yang tangannya berlumuran dengan darah Usman.
Dalam posisinya dan situasi penduduk Madinah seperti itu, Ali terpaksa
memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kuffah. Kota Kuffah merupakan
pusat kebudayaan yang berkembang seperti
tulis menulis, bahasa, qira’at, biografi, puisi (syair) dan sejarah.[8]
Sebelum menghadapi pasukan Syiria yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Syofyan,
terlebih dahulu Ali menindas gerakan oposisi yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah
dan Zubair. Maka terjadilah Perang Jamal (nama ini diambil dari Aisyah karena
saat itu berperang dengan mengendarai onta ), yang merupakan pertempuran
terbuka pertama antara muslim dengan sesama muslim. Perang ini terjadi pada 36
H. sebab-sebab timbulnya Perang Jamal antara lain:
1)
Timbulnya
kecurigaan bahwa Ali di duga terlibat mendalangi pembunuhan Usman;
2)
Adanya
keinginan Thalhah dan Zubair untuk menduduki kursi khalifah yang didukung oleh
Aisyah; dan
3)
Munculnya
persekongkolan kelompok Thalhah, Zubair, Aisyah untuk membalas atas kematian/terbunuhnya Usman.[9]
Dalam Perang Jamal tersebut kemenangan
berada dipihak Ali. Sedangkan dalam perang antara Ali dan Muawiyah di Shiffin
di tebing sungai Tigris, posisi Ali menjadi semakin terpojok. Bukan saja perang
itu berakhir dengan tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, bahkan sebagai
akibat dari kasus tahkim tersebut kubu Ali sendiri menjadi terpecah menjadi dua
kelompok , yaitu kelompok Syiah yang tetap setia pada Ali dan kelompok Khawarij
di lain pihak yang beroposisi baik terhadap Mu’awiyah maupun terhadap Ali.
Sejak itulah Ali tidak lagi terlihat
menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyah, tetapi mengguanakan sisa
pasukannya untuk menggempur orang-orang Khawarij yang sebelumnya adalah
orang-orang yang mendukung Ali.
Tekanan-tekanan keras dialami oleh orang-orang Khawarij. Diantaranya
adalah peristiwa Nahrawan pada tanggal 9 shafar 38 H atau 17 juli 658 M, dimana
diantara 1800 orang-orang Khawarij hanya 8 orang saja yang selamat jiwanya.
Peristiwa Nahrawan inilah yang telah membuat Abdurrahman bin Muljam menjadi
gelap mata hingga membunuh Ali bin abi Thalib. Dengan wafatnya Ali maka
beakhirlah periode Khulafaur Rasyidin.
[1]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, (Jakarta: PT. Pustaka al
Husna Baru, 2003), h.195
[2]
Abu Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran,dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, 2003), h. 55-56
[3]
Abbas Mahmud al Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), h.12, 13
[4]
Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, (Yogyakarta: Diglossia Media,
2007), h. 23,24
[5]
Ibid. h. 24
[7]
Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.39.
[9]
MacDonal dalam Muhaimin dan abdul Mujib, Kawasan dan Wawasan Nusantara,
(Prenada Media: Jakarta, 2005), h. 256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar