KEPEMIMPINAN KHALIFA’ AL RASYIDIN ALI BIN ABI THALIB (656-661)
1.
Kelahiran dan Masa Remaja Ali Bin Abi Thalib
Kedua
orangtua Ali bin Abi Thalib berasal dari Bani Hasyim. Beliau dinamakan “Ali”
oleh bapaknya setelah dinamakan “Haidarah” oleh ibunya.[1]
Berkembang legenda seputar kelahiran
Ali. Konon ibunya masih terus melakukan thawaf
(mengelilingi Ka’bah), ketika rasa sakit
menjelang kelahiran mulai
dirasakan- sehingga terpaksa melahirkan di bawah naungan Ka’bah. Cerita lain
menyebutkan bahwa bayi Ali tidak dapat
membuka matanya sampai beliau dibaringkan dipangkuan sepupunya, Muhammad. Sehingga wajah
Muhammad menjadi wajah pertama yang beliau lihat. Pada saat kelahiran Ali,
Muhammad berusia dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah dengan Khadijah selama
empat tahun.[2]
Ketika
masih bocah, beliau dipindahkan dari rumah ayahnya ke rumah Muhammad. Ketika
itu beliau berusia lima tahun, delapan atau sebelas menurut beberapa sumber
utama yang berbeda-beda. Ali pindah kerumah sepupunya (Nabi Muhammad) untuk
mengobati kesedihan di sana karena
meskipun ke-empat putrinya hidup, ke-tiga putra Muhammad dan Khadijah meninggal
dunia. Penjelasan sederhananya: Ali muda mungkin lebih suka tinggal di rumah yang penuh dengan sepupu-sepupu yang seusia dengannya daripada saudara-saudara
sekandung yang telah dewasa di rumah ayahnya.[3]
Ali
bin Abi Thalib masuk islam pada usia Sembilan tahun. Beliau termasuk
orang-orang yang pertama masuk islam (assabiqul awwalun) dari
kalangan laki-laki. Ali merupaka seorang yang jujur, meskipun dengan sifat itu
beliau akan mendapat keuntungan maupun kerugian. Ketaqwaan dan keimanannya
diakui oleh Nabi Muhammad SAW.
Ali
mengalami pertumbuhan fisik yang sangat cepat melebihi saudara-saudaranya yang
lain dan tumbuh dengan sehat. Ali mempunyai tubuh yang sangat kuat dan tahan
terhadap cuaca panas maupun dingin. Hal ini bukan karena indera perabanya tidak
berfungsi lagi, akan tetapi karena beliau
memiliki kekebalan tubuh
yang tidak dimiliki oleh orang
lain. Beliau juga memiliki sifat pemberani, tidak takut mati dalam medan
pertempuran dan berani kepada siapapun, meskipun berhadapan dengan orang yang sangat kuat dan terkenal
sekalipun.[4] Sifat-sifat Ali dibentuk dalam rumah tangga
luar biasa yang melengkapi beliau dengan banyak atribut spiritual berharga.
Beliau sangat berkelimpahan dalam urusan agama.
Ali
adalah saksi yang paling dekat dan paling awal bagi keshalehan sepupunya,
karena beliau biasa mengantarkan makanan dan air ke gua tempat Muhammad berdo’a
dan merenung selama beberapa tahun sebelum diangkat menjadi nabi. Ketika wahyu
pertama turun pada 610, Ali masih seorang bocah. Lima tahun kemudian, pada 615,
ketika Muhammad diperintah oleh Malaikat Jibril untuk berdakwah secara
terang-terangan, Ali baru berusia
sekitar tiga belas tahun.[5]
Ketika
berusia lima belas tahun, beliau tidak malu menyatakan dukungan dimuka umum
bagi ajaran-ajaran Muhammad. Tahun 619, dengan kematian Abu Thalib dan
Khadijah, merupakan saat yang sangat sulit bagi Ali (19 tahun) dan Muhammad.
Ali kehilangan ayah dan ibu angkat. Nabi kehilangan ayah angkat dan isteri
tercinta. Tahun-tahun setelah kematian Khadijah dan Abu Thalib makin
menyedihkan bagi umat islam yang terus dianiaya. Kota Yastrib tampil sebagai
tempat pengungsian yang aman bagi umat Islam Makkah, mereka dengan segera dan
diam-diam hijrah kesana. Ali dan Abu Bakar menjadi laki-laki terakhir yang
tinggal di Mekah bersama Nabi Muhammad. Kaum musyrik memutuskan untuk membunuh
Muhammad, mereka mengepung rumah Nabi. Mereka menunggu Nabi keluar setelah
fajar, dengan sabar mereka mengamati
tanda-tanda pertama gerakan dari sosok berkemul jubah Muhammad ditempat tidur.
Ketika sosok berjubah itu bangkit dan menyibakkan jubahnya, dalam terang pagi terlihat bahwa ternyata dia adalah Ali, bukan Nabi. Mereka
sadar bahwa mereka telah dikelabui. Muhammad telah pergi bersama Abu Bakar pada malam hari. Ali memberitahu mereka bahwa
Nabi telah berangkat ke Yastrib (Madinah),
sebuah pernyataan yang sudah diperhitungkan dan sangat memudahkan perjalanan Nabi,
karena sebenarnya beliau masih bersembunyi di Gua Tsur.
Saat
itu tinggal Ali laki-laki muslim terakhir yang tinggal di makkah. Ketika Ali akhirnya
tiba di Yastrib, system persaudaraan buatan Nabi yang menempatkan Muhajirin makah
miskin diantara penduduk asli Madinah yang bertindak sebagai tuan rumah. Nabi
Muhammad tidak ingin memperlihatkan favoritisme, maka ia memilih orang terakhir
tiba, yaitu Ali bin Abi Thalib sebagai pasangan saudaranya. Untuk penghidupan
sehari-hari, Ali bekerja mengangkut air dengan ember kulit untuk ditukar dengan
kurma. Ali dengan bangga pulang dan membagi hasil upahnya sebagai makan malam
mereka. Ali membeli kercut dari
pasar-pasar yang pada malam harinya
beliau anyam menjadi keset dan dijual kembali ke pasar dengan sedikit
keuntungan. Dan paling tekun dalam pembangunan masjid Nabi.
Selain
bekerja keras, Ali juga diakui sebagai prajurit terkemuka dikalangan umat Islam.
Setelah pembangunan masjid selesai, ia dipilih bersama Zubair bin Awwan untuk
memata-matai rute-rute padang pasir yang akan dilewati oleh Kafilah Quraisy.
Kecilnya kekuatan islam di masa-masa awal terlihat dari ukuran pasukan mereka
yang berjumlah 313 orang, ketika garis pertempuran dibuat tiga jagoan yang maju
untuk bertempur adalah Ali, Pamannya dan Hamzah. Ketika harta rampasan
dibagikan Ali mendapat seekor unta, sebilah pedang dan sebuah baju besi mahal,
nabi menghormatinya sebagai “haider- I- karrar – singa yang kembali dan
kembali lagi untuk bertempur”. Nabi juga menjulukinya dengan “asadullah-
singa allah”. ini merupakan perang pertama yang diikuti Ali.[6]
Ali
kini merasa cukup percaya diri untuk memenuhi salah satu gairahnya dalam hidup,
cintanya pada sepupunya Fatimah putri termuda Nabi. Perkawinan diselenggarakan
oleh Nabi sendiri. Fatimah melahirkan anak pertama mereka, Hasan pada 625 dan
setahun kemudian melahirkan Husein, disusul dengan Zainab dan Ummi Kalsum.
Ketangkasan
Ali di medan Perang Badar selalu dikenang. Ketika Nabi ingin mengepung Kabilah
Bani Qainuqa dia memilih Ali untuk memimpin operasi tersebut. Ali yang masih
muda mengepung dengan ketat benteng-benteng Bani Qainuqa sehingga dalam waktu
dua minggu mereka terpaksa minta berdamai.
Selama
pengepungan Madinah pada 627 oleh koalisi orang-orang musyrik Mekah dan
suku-suku Badui, Ali sekali lagi memainkan peran militer. Dia adalah seorang
komandan sektor yang bertugas menggali sebagian parit perlindungan dan kemudian
hari memimpin pertahanannya. Ali dipercaya oleh Nabi Muhammad untuk menjadi
komando tunggal pada 627 M. Pada bulan-bulan musim dingin Ali memimpin sebuah
pasukan beranggotakan sekitar 100 prajurit berkendaraan keluar Madinah, Ali pulang
ke Madinah membawa 100 ekor unta dan 2000 ekor kambing.
Ali
menampilkan sisi lain dari sifatnya dengan bertindak sebagai sekretaris
kepercayaan Nabi. Tahun berikutnya, 629 M merupakan masa transisi yang lebih
besar bagi Ali. Umat islam telah berubah, dari hanya sekelompok pengungsi yang
teraniaya menjadi kekuatan yang sedang bangkit di Arabia Tengah. Pada 630 M,
ketika Nabi memimpin pasukannya ke Mekkah, Ali ditugasi sebagai pembawa bendera Islam. Pada agustus
630 M Ali diperintahkan untuk memimpin 150 tentara berkuda memasuki wilayah Thai
dan menghancurkan berhala-berhala mereka.
Tepat
pada akhir 630 M yang sarat insiden, Nabi bertekad memimpin ekspedisi militer
kembali keperbatasan Suriah, Bizantiun, tempat Zaid mati syahid tahun
sebelumnya. Ali tidak ikut karena harus menjaga keluarganya dan keluarga Nabi.
Musim semi berikutnya Abu Bakar dipilih untuk memimpin rombongan haji ke Mekah,
meskipun setelah kabilah ini berangkat, Nabi menerima wahyu. Ali diberi tugas
untuk untuk menyusul rombangan tersebut. Ketika beliau mencapai Abu Bakar,
beliau segera ditanya apakah beliau datang untuk memberikan perintah atau untuk
menyampaikan perintah. Ali menjawab bahwa beliau datang karena perintah untuk membawakan wahyu
kepada rombongan di Lembah Mina.
Akhir
tahun 631M, para utusan Muhammad berhasil meng-Islamkan penduduk Oman serta Pangeran
dan Kepala Suku yang memerintah kerajaan di lembah-lembah Pegunungan Yaman.
Lima bulan kemudian Ali dikirim untuk memimpin 300 prajurit menuju Najran dan
terus bergerak ke Selatan menuju Suku Madhij masuk Islam.
Haji
tahun 631 M merupakan haji terakhir Nabi beserta sahabat, putri, dan istrinya.
Ketika Nabi telah menunaikan semua rukun haji, dia menyampaikan khutbah
perpisahannya yang merangkum pesan moral yang agung dan mengajak manusia untuk
beriman dan bertaqwa kepada Allah. Ali selalu mengunjungi Nabi dalam sepuluh hari
terakhir kehidupannya.
Ali
memiliki kejeniusan yang tidak dimiliki oleh kalifah yang lain, diantaranya
adalah :
a.
Hubungannya
dengan setiap mazhab dari golongan islam semenjak timbulnya pada permulaan
islam.
b.
Ali
memiliki tanda-tanda sebagai syuhada dari sifat-sifat yang dimilikinya,
gambaran hidup dan saat-saat penting dalam hidupnya.
c.
Orang-orang
menisbahkan kepadanya kumpulan syair, didalam nya terdapat puluhan kasidah dan
diantaranya puluhan bait yang dinisbahkan kepadanya.
d.
Mereka
juga menisbahkan kata-kata yang belum dikenal dalam istilah-istilah ilmu kalam,
yang tidak dapat dimengerti sebelum diterjemahkan kedalam Bahasa Yunani yang
sangat rumit.
e.
Ali
memahami perbedaan aliran syair dan cara membandingkannya dan mengutamakan
suatu kasidah menurut masing-masing aliran. Diantara ketajaman fikirannya
adalah mengenai cara-cara membandingkan aliran-aliran.
f.
Ali
merupakan orang yang ahli dalam tauhid islam, peradilan islam, fikih islam,
ilmu tata bahasa arab, dan keterampilan dalam menulis bahasa Arab.
g.
Ali
adalah orang pertama yang meningkatkan kecakapan menurut cara-cara sastra dan
beliau pulalah yang pertama menyusunnya
dengan susunan yang baik.
h.
Ali
juga mampu menyerap keunggulan badiyah dan didikan kota serta pola berfikir
baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan agama dan kebudayaan islam.
i.
Kontribusi
Ali dalam ilmu nahwu sangat besar karena Ali lah yang menyusun ilmu nahwu.
Pengetahuan Ali adalah pengetahuan yang tidak ada bandingannya, dan
mencapai puncak tertinggi diantara kebanyakan orang disetiap tempat. Beliau
adalah seorang prajurit berkuda yang dalam keberaniannya, agama dan dunianya,
saling bertemu, dan beliau merupakan seorang yang berilmu, dimana pencarian dan
bisikan hatinya selaras dengan tuntutan agama dan dunianya.
2.
Pemba’iatan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah (656-661 M/ 35-40
H)
Ali
akhirnya menerima kekhalifahan, tapi dalam pidato pertamanya dihadapan massa,
beliau mengatakan kepada khalayak bahwa beliau menerima jabatan ini bawah
tekanan. Dia menyesalkan terpecahnya umat dalam satu generasi sejak kematian Nabi.
Diperlukan tangan keras untuk kembali meletakkan segalanya dalam ketertiban.
Ali bin
Thalib sebagai khalifah dalam situasi
yang kurang menguntungkan, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan,
yang dilakukan oleh kaum pemberontak yang tidak setuju dengan kebijakan yang
dianggap nepotisme. Pembaiatan Ali justru dilakukan oleh orang-orang yang
mengadakan pemberontakan menjatuhkan Usman tersebut, serta orang-orang yang
menggabungkan diri dengan mereka.[7] Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah
selama lima tahun.[8] Menurut sumber lain, Ali bin Abi Thalib menjabat
sebagai khalifah selama enam tahun.[9]
Fenomena
terbesar pada masa Ali adalah fenomena
sosial yang tidak terjadi pada masa khalifah-khalifah sebelumnya. Masa Abu
Bakar adalah masa terbentuknya Negara
Islam, masa Umar adalah masa sempurnanya pembentukan Negara Islam. Masa utsman
adalah masa dimana terdapat didalamnya masyarakat Islam setelah terbentuknya Negara dan undang-undang yang mengatur
penggunaan kekayaan yang didapat dari daerah-daerah yang ditaklukkan. Sedangkan masa Ali adalah
masa keanehan diantara apa yang dihadapinya.[10]
System
pemerintahan Ali adalah system kekhalifahan murni, dimana beliau berhadapan
dengan system Negara duniawi sebagai lawannya yang
bertentangan satu sama lain. System yang diterapkan oleh Ali adalah system yang
lebih dekat kepada persamaan dan perlindungan terhadap kaum lemah. Sebab setiap
manusia memiliki hak-hak yang sama di antara mereka. Tidak memihak yang kuat
dan tidak menindas yang lemah. Ali mengarahkan perhatiannya pada
tanah-tanah yang dibagi-bagikan sebelumnya kepada mereka yang dekat dengan
penguasa dan para pemimpin, lalu beliau menariknya dari tangan mereka dan mengembalikannya ke baitul
maal, untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak.
Beliau mengharuskan setiap gubernur berlaku
terhadap rakyat, tidak menekan tidak mengeksploitir mereka, dan pemerintahlah
yang mempunyai hak terhadap kekayaan. Peraturan Ali dalam menarik pajak yang
diwajibkan kepada rakyat lebih mementingkan perhatian pada kemakmuran
(peningkatan hasil) tanah daripada perhatiannya pada penarikan pajak. Dimasa Ali,
ibu kota Negara dialihkan ke Kuffah, dengan alasan Kuffah adalah tempat
pertemuan berbagai jenis bangsa, tempat pertemuan pedagang dari Persia, India, Yaman,
Irak dan Syam. Kota Kuffah merupakan pusat kebudayaan yang berkembang
seperti tulis menulis, bahasa, qira’at,
biografi, puisi (syair) dan sejarah.[11]
Selama masa pemerintahannya, beliau menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada
masa dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki
jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Beliau
yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka.
Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali
system distribusi pajak tahunan diantara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[12]
Penduduk
Siria dibawah pimpinan Muawiyah, menuduh Ali ikut terlibat dalam kasus terbunuhnya
Usman. Mereka meminta pertanggungjawaban terhadap Ali. Ali dipaksa untuk
memilih menyejajarkan dirinya dengan para penindas atau pembunuh. Dia memutuskan
akan mengawalinya dengan menyerang korupsi yang membusukkan kerajaan. Menang
atau kalah itulah satu-satunya harapan dengan membalik kebijakan Usman dan
memulihkan kejujuran, dia mungkin masih dapat menarik masayarakat untuk kembali
ke jalan itu, dan dengan demikian memperoleh kredibilitas dan pengakuan yang
dia butuhkan untuk melakukan semua hal lain yang perlu dilakukan.
Ali
memecat semua gubernur yang telah diangkat Usman dan mengirim orang-orang baru
untuk menggantikan mereka, tapi tidak seorang pun dari Gubernur yang dipecat
setuju untuk mundur, kecuali seorang Gubernur Yaman, dan dia melarikan diri
dengan semua uang di perbendaharaan, meninggalkan propinsi yang bangkrut untuk
diambil alih oleh orang yang ditunjuk Ali.
Sementara
itu, masalah muncul dipojok lain, Aisyah kebetulan berada di Makah ketika Usman
dibunuh. Ketika Muawiyah memulai keributan, Aisyah berpihak kepadanya. Karena sebelumnya
hubungan antara Ali dan Aisyah memang sudah buruk. Memanfaatkan semangat yang
telah ia bangkitkan, Aisyah mengumpulkan tentara mengadakan rapat perang dan
memetakan serangan.
Gubernur
Yaman yang dilengserkan menjanjikan semua harta curian untuk tujuan itu. Melimpah
dengan dana, Aisyah memimpin pasukan ke Utara dan menyerbu Basrah, kota utama
di Irak Selatan. Dia menaklukan para royalis Ali dengan cepat dan mengambil
alih.
Dalam posisinya dan kondisi penduduk Madinah yang
sedang kacau, Ali memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kuffah.
Sebelum menghadapi pasukan Siria, terlebih dahulu Ali menindas gerakan oposisi
yang dipimpin oleh Aisyah, Talhah, Zubair. Maka terjadilah Perang Jamal. Dalam Perang
Jamal, kemenangan berada dipihak Ali.
Ali
tidak pernah kembali ke Madinah. Dia menjadikan kota Kuffah di Irak zaman
modern, tempat kedudukan pemerintahannya sebagai hadiah bagi penduduk kota yang
telah mendukungnya, dan mencoba menyatukan kembali sisa-sisa kekhalifahan, tapi
pertempuran yang mematahkan hati dengan Aisyah telah menandai awal dari
masalahnya. Pengacau utama masih berada dipinggiran, mengasah pedang dan
melatih pasukannya. Muawiyah sedang bersiap-siap untuk serangan terakhir.
Pada
masa kekhalifahan Ali ada dua kelompok yang saling berlawan, yaitu :
a.
Kelompok
yang setuju dengan system kenegaraan pada waktu itu yaitu kelompok Ali di Jazirah
Arab.
b.
Kelompok
yang tidak setuju dengan system yang berlaku yaitu kelompok Muawiyah di Syam.
3.
Khalifah Ali Bin Abi Thalib terbunuh.[13]
Setelah Ali dibaiat di Mesjid Madinah sebagai Khalifah tahun 658 M,
Umayyah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi
Syam bin Abdi Manaf (602-680 M) melakukan makar, pertempuran besar segera
terjadi antara pendukung Ali melawan pendukung Muawiyah di Siffin. Dalam
literatur islam dikenal sebagai bencana besar (fitnatul qubra), yang
tidak lain adalah perang saudara. Kedua kekuatan tersebut relatif sama,
sehingga tidak dilihat tanda-tanda perang akan usai.
Pada suatu saat terlihat kekuasaan golongan Umayyah mulai melemah.
Disaat itulah pihak Umayyah melakukan tipu muslihat busuk, tiba-tiba ditengah
berkecamuknya perang saudara, seorang prajurit Umayyah menaikkan mushaf Qur’an di ujung tombak yang diacungkan sebagai tanda gencatan
senjata. Sehingga Khalifah Ali menghentikan pertempuran, dan dilakukan
perjanjian yang dipandu oleh penengah. Pihak Ali memilih Musa bin al-Asyari
sebagai wakil Ali, sementara Amr bin Ash merupakan tokoh pilihan Muawiyah,
ternyata penengah pihak Muawiyyah tidak jujur, dan berpihak pada Umayyah.
Disaat tidak ada penguasa resmi, keduanya menyerahkan pada pihak
penengah. Muawiyah menyatakan diri sebagai khalifah resmi. Tak urung perang pun
berkobar lagi, sampai pada suatu waktu di tahun 661 M Khalifah Ali tewas
terbunuh dengan pedang beracun. Pelakunya bernama Abdul Rahman bin Muliam,
seorang pengikut fanatik kelompok
Khawarij, yang menganggap Ali bersikap lemah menghadapi lawan.
Setelah itu kelompok Syiah membai’at Hasan menjadi khalifah.
Ternyata Hasan menolak jabatan tersebut dengan maksud mencegah berkecamuknya
lagi perang saudara. Untuk itu Hasan mengajukan sejumlah syarat yang harus
disetujui Muawiyah untuk menduduki jabatan tersebut, persyaratan tersebut
adalah :
a.
Muawiyah
tidak akan membenci bangsa Irak yang merupakan pendukung Ali.
b.
Muawiyah
akan menjamin keamanan pengikut Ali dan memaafkan semua kesalahan mereka.
c.
Pajak
negeri Ahwaz dikawasan Persia diserahkan kepada pengikut Ali.
d.
Pihak
Umayyah harus memberi uang kompensasi kepada Husein, adik Hasan sebesar dua
juta dirham.
e.
Hak
Bani Hasyim dalam penghasilan Negara lebih besar dibandingkan untuk Bani Syam.
Muawiyah tidak keberatan atas persyaratan
tersebut. Sejak itu dimulailah masa kekuasaan Khalifah Muawiyyah, sebagai
peletak dasar kekhalifahan Bani Umayyah. Kekhalifahan ini berlangsung hampir
selama satu abad, dari 661-750 M, yang berpusat di Damaskus, Siria.
[1]
Abbas Mahmud al aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), h.12, 13
[2]
Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, (Yogyakarta: Diglossia Media,
2007), h. 23-24
[3]
Ibid. h. 24
[4]
Abbas Mahmud al Aqqad, op. cit, h. 14, 15
[5]
Barnaby Rogerson, Para Pewaris Nabi, (Yogyakarta: Diglossia Media,
2007), h. 25
[6]
Ibid., h. 28-30
[9]
Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.39.
[13]
Abu Su’ud, Islamologi : Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Islam (Jakarta :
Rineka Cipta, 2003), h. 63-64
Komentar
Posting Komentar