Rabu, 17 Oktober 2012

Metode Observasi dalam Konseling



1.      Pengertian Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu objek dalam suatu periode tertentu  dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati. Pengamatan yang dimaksudkan dapat berupa kegiatan melihat, mendengar atau kegiatan dengan alat indera lainnya.[1]
Sementara itu, Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiyono (2008) mengemukakan bahwa observasi  merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan  dan ingatan. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.[2]
Menurut Husaini Usman dan Purnomo Setiadi, observasi ialah pengamatan dan pencatatan  yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila: 1)sesuai dengan tujuan penelitian; 2) direncanakan dan dicatat secara sistematis; dan 3) dapat dikontrol keandalannya (reliabilitas-nya) dan kesahihannya (validitas-nya).[3]
Jadi observasi merupakan suatu metode penelitian yang mengamati secara langsung objek yang akan diteliti dan membutuhkan pencatatan secara sistematis terhadap objek yang diteliti tersebut, dalam melakukan proses pengamatan sangat ditekankan keandalan dan kesahihannya agar data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelum observasi dilaksanakan, pengobservasi (observer) hendaknya telah menetapkan terlebih dahulu aspek-aspek apa yang akan diobservasi dari tingkah laku seseorang. Aspek-aspek tersebut hendaknya telah dirumuskan secara operasional, sehingga tingkah laku yang akan dicatat nanti dalam observasi hanyalah apa-apa yang telah dirumuskan tersebut.
2.      Tipe-Tipe Observasi
Menurut Wayan Nurkancana ada beberapa jenis observasi,  yaitu:
a)      Berdasarkan Situasi yang Diobservasi
Berdasarkan atas situasi yang diobservasi  Jersild dan Meigs membedakan adanya tiga jenis observasi. Jenis observasi pertama adalah observasi terhadap situasi bebas (free situation), yaitu observasi yang dilakukan terhadap situasi yang dilakukan secara wajar, tanpa adanya campur tangan dari pengobservasi. Misalnya observasi yang dilakukan terhadap siswa-siswa yang sedang bermain secara bebas.
Jenis observasi yang kedua adalah observasi terhadap situasi yang dimanipulasikan (manipulated situation), yaitu suatu situasi yang telah dirancang oleh pengobservasi  dengan menambahkan satu atau lebih variabel. Misalnya seorang pengobservasi ingin mengetahui sifat  kepemimpinan sekelompok siswa. Maka siswa-siswa tersebut disuruh membentuk kelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok diberikan tugas tertentu. Selama mereka berjalan dalam kelompok diadakan observasi, sehingga dapat diketahui bagaimana kepemimpinan tiap siswa. jadi dalam hal ini situasi kerja kelompok itu tidak timbul secara wajar, melainkan sengaja ditimbulkan oleh pengobservasi.
Ketiga, disebut observasi terhadap situasi yang setengah terkontrol (partially controlled). Jenis observasi ini adalah merupakan kombinasi dari kedua jenis observasi yang telah dibicarakan diatas.
b)      Berdasarkan Keterlibatan Pengobservasi
Berdasarkan atas keterlibatan pengobservasi, maka observasi dapat dibedakan atas tiga jenis. Pertama, disebut observasi partisipasi, yaitu apabila pengobservasi ikut terlibat dalam kegiatan subjek  yang sedang diobservasi. Misalnya seorang guru bidang studi yang ingin mengetahui  bagaimana antusias siswa-siswanya  terhadap pelajaran yang diberikannya.  Maka observasi dapat dilaksanakan selama proses belajar mengajar berlangsung, dimana ia terlibat dalam kegiatan tersebut.
Kedua, observasi non partisipasi. Dalam observasi ini pengobservasi tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang diobservasi. Misalnya seorang petugas bimbingan ingin mengetahui bagaimana antusias siswa terhadap bimbingan karir. Untuk maksud tersebut petugas bimbingan tersebut dapat mengadakan observasi terhadap siswa selama mengikuti bimbingan karir yang diberikan oleh rekan lain.
Ketiga, observasi quasi partisipasi. Sebahagian waktu dalam suatu periode observasi pengobservasi ikut melibatkan diri dalam kegiatan yang diobservasi, dan sebahagian waktu lainnya ia terlepas dari kegiatan tersebut. Misalnya kita ingin mengetahui bagaimana aktifitas siswa dalam melaksanakan suatu tugas kelompok. Dalam hal ini, mula-mula kita ikut melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Setelah sebahagian periode observasi berlangsung, kita melepaskan diri dari kegiatan tersebut.
c)      Berdasarkan Pencatatan Hasil-Hasil Observasi
Ditinjau dari pencatatan hasil-hasil observasi, observasi dapat dibedakan atas observasi berstruktur dan observasi tak terstruktur. Pertama, observasi berstruktur, apabila aspek-aspek tingkah laku yang akan diobservasi telah dimuat dalam suatu daftar yang telah disusun secara sistematis. Bentuk catatan yang sistematis ini ada dua jenis yaitu daftar check (check list) dan skala bertingkat (rating scale).
Daftar check adalah suatu daftar yang memuat catatan tentang sejumlah tingkah laku yang akan diobservasi. Selama periode observasi, pengobservasi berpedoman sepenuhnya kepada daftar tersebut. Apabila seorang siswa yang sedang diobservasi memperlihatkan gejala tertentu yang telah terdapat dalam daftar, maka pengobservasi tinggal memberi tanda check (√) pada daftar tersebut.
Dengan check list dimaksudkan agar hasil observasi lebih bersifat sistematis. Dengan penggunanaan check list (√) ini, dapat memberikan jaminan bahwa pengobservasi dapat mencatat kejadian-kejadian atau sifat-sifat yang dipandang  penting dan telah ditetapkan terlebih dahulu.
Disamping pencatatan dengan menggunakan daftar check ada pula pencatatan dengan  skala bertingkat (rating scale). Kalau pada daftar check kita hanya dapat mencatat ada atau tidaknya  variabel tingkah laku tertentu, maka pada skala bertingkat gejala-gejala yang akan diobservasi itu didalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan. Jadi, kita tidak hanya mengukur secara absolut ada atau tidaknya variabel tertentu, melainkan kita lebih jauh mengukur bagaimana intensitas gejala yang ingin diukur tersebut. Sehingga dengan skala bertingkat ini akan lebih teliti, jika dibandingkan dengan daftar-check.
Kedua, observasi tidak berstruktur apabila dalam melaksanakan  observasi tersebut pengobservasi tidak menyiapkan daftar terlebih dahulu tentang aspek-aspek yang akan diobservasi. Dalam hal ini pengobservasi mencatat semua tingkah laku yang dianggap penting dalam suatu periode observasi. Prosedur ini agak lebih fleksibel dan memungkinkan adanya variasi yang lebih besar dalam observasi. Hasil-hasil observasi ini dicatat dalam bentuk catatan yang bersifat anekdot (anecdotal record), yaitu suatu catatan (record) tentang tingkah laku siswa dalam suatu situasi  tertentu.
Catatan yang bersifat anekdot tersebut harus ditulis apa adanya, tanpa interpretasi. Setelah berkumpul beberapa catatan dari beberapa periode observasi, maka dibuatlah suatu ikhtisar tentang catatan-catatan tersebut, dan barulah diadakan interpretasi tentang tingkah laku siswa.[4]
3.      Pedoman Observasi
Untuk mengadakan pengamatan yang baik agar memperoleh data yang representative Rummel dalam Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi  memberikan pedoman sebagai berikut:
1)      Memiliki pengetahuan yang akan diobservasi ini dimaksudkan untuk menentukan terlebih dahulu apa-apa yang harus diobservasi.
2)      Menyelidiki tujuan penelitian (baik umum maupun khusus). Kejelasan tujuan penelitian akan menuntun mempermudah apa yang harus diobservasi.
3)      Menentukan cara untuk mencatat hasil observasi penelitian harus memilh cara mana yang dipandang paling efektif dan efisien.
4)      Membatasi macam tingkat kategori secara tegas. Penelitian harus membuat tingkatan misalnya: utama, penting dan tidak penting mengenai data yang akan dikumpulkan apabila kalau pengumpulan datanya orang banyak (team).
5)      Berlaku sangat cermat dan sangat kritis. Penelitian tidak boleh gegabah, tergesa-gesa atau serampangan agar apa yang dicatat dalam observasi adalah benar-benar data yang dibutuhkan.
6)      Mencatat tiap gejala secara terpisah, ini dimaksudkan supaya gejala yang dicatat tidak dipengaruhi oleh situasi pencatatan, karena keadaan atau kondisi waktu mencatat dapat berpengaruh  kepada observer.
7)      Mengetahui sebaik-baiknya alat-alat pencatatan  dan cara penggunaannya  sebelum observasi dilakukan. Alat-alat observasi seperti telah disebutkan pada nomor 3 harus dipahami betul bagaimana cara penggunaannya supaya memperoleh data yang diharapkan.[5]

4.      Kelebihan dan Kekurangan Observasi
Asnelly Ilyas menjelaskan beberapa kelebihan observasi diantaranya:
1)      Data observasi itu diperoleh langsung dilapangan, yakni dengan jalan melihat dan mengamati kegiatan atau ekspresi peserta didik di dalam melakukan sesuatu, sehingga dengan demikian data tersebut dapat lebih bersifat objektif dalam melukiskan aspek-aspek kepribadian peserta didik menurut keadaan yang senyatanya.
2)      Data hasil observasi dapat mencakup berbagai aspek kepribadian masing-masing individu peserta didik, dengan demikia maka didalam pengolahannya tidak berat sebelah atau hanya menekankan pada salah satu segi dari kecakapan hasil belajar mereka.[6]
Sementara kekurangan observasi menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi adalah:
1)      Banyak kejadian-kejadian yang tidak dapat dicapai dengan oservasi langsung, misalnya kehidupan pribadi sesorang yang sangat rahasia.
2)      Bila observe tahu bahwa ia sedang di observasi maka mereka akan menunjukkan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun yang lebih jelek.
3)      Seringkali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa-peristiwa yang tidak diduga-diduga terlebih dahulu,misalnya keadaan cuaca buruk dan lain-lain.[7]
5.      Pemanfaatan  Observasi  dalam Pelayanan Konseling
Observasi dalam pelayanan  konseling sangat bermanfaat bagi konselor. Karena dengan mengadakan observasi, maka konselor akan mendapatkan data secara langsung dari klien. Dengan adanya data secara langsung tersebut maka konselor dengan mudah akan mengetahui permasalahan apa yang terjadi pada klien. Misalnya, konselor ingin mengetahui tingkah laku siswa dalam kondisi yang wajar, sehingga tingkah laku yang diamati adalah tingkah laku yang muncul secara spontan. Jadi data yang didapatkan konselor adalah data yang bersifat natural (tidak dibuat-dibuat).
Setelah konselor mengetahui titik permasalahan yang ada pada klien, maka dengan segera konselor dapat mengetahui langkah apa yang akan dilakukan dalam membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapi klien.






















[1] Wayan Nurkancana, Pemahaman Individu, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 35

[2] Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, ( Bandung: Alfabeta, 2008), h.145
[3] Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.54
[4] Wayan Nurkancana, Pemahaman Individu, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 36-41
[5] Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 70
[6] Asnelly Ilyas, Evaluasi Pendidikan, (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2006), h.72
[7] Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, op. cit., h. 75-76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar