ULAR
Di kampus, ada
sekelompok orang yang ingin membuat Lembaga baru dengan nama Temu Sastra. Tidak
ada orang yang peduli dengan Temu Sastra ini, karena dikampus kami organisasi
kemahasiswaan sangat banyak. Orang-orang hanya peduli pada lembaga nya masing-masing.
Sebagian tidak pernah berniat untuk mengikuti lmbaga-lembaga yang ada, dan
hanya mementingkan kuliah. Tapi kami peduli dengan pers sastra ini. bukan
karena kami ingin menjadi salah satu bagian dari mereka, tapi karena kami merasa
aneh. Lembaga kami adalah sebuah lembaga kemahasiswaan yang mewadahi aspirasi
mahasiswa dibidang jurnalis dan sastra, karena kami adalah pers mahasiswa. Tapi
kemunculan lembaga Temu Sastra, membuat kami sedikit geram. Tidak tahu apa
maksud yang membuatnya. Karena untuk masalah tulis menulis, dari dulu lembaga
kami yang mewadahinya.
Tempat
berkumpulnya disudut 36 derajat. Penasaran aku mengikuti mereka. Karena ini
aneh. Biasanya tempat berkumpul kegiatan kemahasiswaan adalah di Student Center
gedung lantai 5. Kalau mereka tidak memiliki secretariat di sana, mereka akan
mencari tempat lain diluar kampus, seperti mengontrak rumah sebagai homestay.
Penasaran, aku
dan beberapa kru Idealita mematai-matai kegiatan ini. Ini aneh, karena tempat
untuk berkegiatan yang mereka pilih adalah sudut 36 derjat. Terlebih dengan
cerita miring yang santer terdengar bahwa sudut 36 derjat adalah sudut angker
dikampus ini. Entah siapa yang menghembuskan kabar angin itu. Yang pasti sudah
turun temurun kami tahu bahwa sudut itu angker, tak satupun orang atau mahasiwa
yang berani kesana meskipun hanya sekedar untuk melihat-lihat.
Kami tak pernah
tahu apa itu sudut 36 derjat. Bahkan dimana tempatnya tidak ada yang tahu
pasti. Banyak orang mengatakan bahwa tempat itu di gedung K lantai 5. Tetapi
sebagian mengatakan di gedung K lantai 3. Kami tak pernah ingin tahu.
Hari ini, kami
mulai investigasi. Aku dan beberapa orang kru Idealita, Ezy, Novi, dan Afif. Kami
mematai-matai salah seorang yang ingin masuk Temu Sastra. Dia tampak menelpon
seseorang yang tertera nomor handphone-nya di pengumuman. Tidak ada tempat
pertemuan dalam pengumuman itu. Usai ia menelpon, kami lalu mengikuti mereka.
Ia masuk ke
dalam WC di gedung K lantai 3. Takut ketahuan, kami sembunyi. Ia celingak
celinguk untuk memastikan tidak ada orang yang melihat. Ia mendekati sudut WC.
Sudut itu berada di titik 36 derjat. Kami kaget. Ternyata ini dia sudut 36
derjat. Kami mulai merinding. Ezy memegangi tanganku ku. Afif menyeringai.
Sedang Novi tampak komat kamit membaca sesuatu. Anak LDK ini pasti berdzikir.
Aku membatin. Aku pun takut dan berdo’a pada Allah semoga tidak terjadi apa-apa
pada kami.
Usai celingak
celinguk, ia membuka tutup sudut itu, ternyata tidak dikunci. Padahal selama
ini aku mengira bahwa tempat itu adalah tempat paralon air. Setelah laki-laki itu menghilang, kami diskusi sebentar
untuk melanjutkan atau tidak investigasi ini. “Gimana nih, mau dilanjutkan atau
tidak?” aku bertanya setengah berbisik, sebenar nya pertanyaan itu ditujukan
untuk diriku. Karena aku takut.
“Kepalang tanggung.
Kita sudah sampai disini. Tidak ada salahnya kita mencoba. Lagipun saya
benar-benar penasaran”, Afif tegas ingin ikut.
“Bagaimana yang
lain?” Aku bertanya.
“Kami ikut… “ Novi
mewakili Ezy yang tampak ragu. Tapi ia terpaksa ikut karena tidak mungkin tidak
ikut. Afif sebagai satu-satunya lelaki membuka pintu.
Bismillahirrahmanirrahimm… satu persatu kami masuk ke dalam itu. Dimulai dari Afif.
Gelap dan lembab. Aku menutup hidung karena bau lembab yang menusuk hidung.
Afif di depan menyalakan senternya. Aku pun tak mau kalah. Senter di hpku
tampaknya berfungsi sekarang. Itu milikku satu-satunya. Hp turun temurun dari
kakakku.
Kami mengikuti
lorong sempit itu. Kemudian secara tiba-tiba Afif berhenti. Kami bergerombol
saling ingin tahu. Afif menunjuk kedepan. Masya Allah ternyata di depan kami
ada ruangan yang luasnya kira-kira 5x6 meter. Ruangan apa ini. Dari balik lorong Afif memeriksa
keadaan kalau-kalau ada orang.sedangkan orang yang kami ikuti tadi sudah tidak
tampak batang hidungnya. Ruangan itu lumayan terang mendapat pencahayaan
darimana kami tidak tahu. Karena tidak ada lampu. Mungkin dari ventilasi. Tapi
dimana. Juga tidak ada. Bau lembab sudah mulai menghilang. Kami tidak tahu
kalau ternyata di kampus ini ada tempat tersembunyi seperti itu. Lagipun darimana
ruangan ini. Letaknya dimana? Karena kalau dilihat dari luar bangunan ini
tampak seperti biasanya. Kalau dikira-kira ini berada di gedung K lantai 2.
Tapi disebelah mannya kami tidak tahu persis. Dan ruangan ini tidak tampak dari
luar. Atau dari manapun juga.
Ditengah-tengah
ruangan itu tampak sebuah sumur timba. Yakin tidak ada orang, kami mendekati
sumur tua itu. Ternyata sumur itu tertutupi semen. Pasti ada cara untuk
membukanya, Penat mengelilingi sumur itu kami tidak bisa juga membukanya. Kami
penasaran kemana menghilangnya laki-laki tadi.
Tiba-tiba
terdengar suara berdehem. Sontak kami terkejut. Seorang pria berambut cepak
muncul dari balik tiang diujung sana. Astaghfirullah.. ternyata tiang itu luput
dari pengamatan kami.
Pria itu
membuka sumur dengan mudahnya. Aneh. Ia mengambil sesuatu dari dalam sumur. Awwww… kami terpekik. Ezy smpai
terkencing-kencing. Aku juga merasakan ada yang hangat dibawah kakiku. Novi
tampak histeris meskipun kemudian bisa mengendalikan diri. Afif panik.
Ditangan pria
itu sekarang ada lima ekor ular. Ular-ular itu di ‘jarek’ seperti ‘jarek belut.
Jika belut dijarek shabis ditangkap dengan batang-batangan yang ada diswah ular
ini djarek dengan tali pairik kerbau yang besar.
Ternyata
didalam itu adalah mahasiswa-mahasiswa tingkat atas yang belum juga selesai
skripsinya. Stress dan mencari kesenangan lain. Mereka telah dimanfaatkan oleh
siluman ular.
“Coba dengarkan
rintihan dan jeritan mereka…” kata pria itu seraya mendelik mengerikan.
Kami terkesiap
ngeri.
Belum usai
kengerian kami, dari sisi sumur tampak sesuatu menuju ke atas. Argghh… ternyata
ular-ular itu naik ke atas.
“Sial. Cepat
pergi dari sini!” Seru pria itu.
“Kenapa?” kami
bertanya heran.
“Siluman ular
itu marah karena rahasianya telah diketahui. Cepat pergi!” teriaknya.
Kami kocar-kacir.
Aku bingung. Tak tahu bagaimana karena kakiku tak bisa diangkat. Ular itu
semakin mendekat kepadaku. Aaaaaaaaaa... uar itu cepat melesat melilit kakiku.
Aku berteriak minta tolong, tapi tidak yang bsia menolongku. Ezy, Afif dan Novi telah menghilang. Mungkin
pikirnya aku telah lari bersamaa mereka. Matilah aku disini. Aku menjadi tumbal
penasaran bodohku. Aaaakkh…. Ular-ular itu semakin banyak mendekatiku,
melilitku…. Aku berteriak-triak histeris.
***
“Dik.. dik..”
aku kaget oleh goyangan yang lumayan kuat dibahuku. Astagfirullah.. aku
ternyata bermimipi. Kak Wely membangunkanku. Karena katanya aku
berteriak-teriak sambil tidur. Aku melihat jam, pukul 03.30. Astagfirullah… ternyata
aku belum sholat isya. Karena capek, aku tertidur habis magrib tadi. (*)
Komentar
Posting Komentar