Lebaran

Minah sedang pusing. Lebaran sebentar lagi. Ia belum Membelikan kedua anaknya baju lebaran. Sejak kemaren anaknya sudah merengek minta dibelikan baju baru. Apalagi sikecil Yudha yang baru berusia lima  tahun, ia selalu saja berciloteh mengenai baju si Adi anak tetangga sebelah, teman sepermainannya. Tak tanggung-tanggung lima stel. Untung anak Minah yang besar tidak merengek lagi. Anaknya yang besar sudah duduk di kelas empat SD.
Bukannya minah tak mau belikan baju baru buat anak-anaknya, tapi tak ada uang sesenpun ditangannya. Suaminya tak lagi bekerja sebulan belakangan ini. Diberhentikan atau tidak, belum ada kepastiannya. PT tempat suaminya bekerja tutup untuk  sementara, katanya karena bulan puasa. Tidak masuk akal sebenarnya, tapi bagaimana lagi sebagai orang kecil suaminya hanya bisa manut. Tidak berani protes. Minah hanya bisa katakan pada anaknya untuk sabar, tunggu ayah kalian dapat uang. Tapi entah darimana akan dapat uang, belum tampak oleh minah dan suaminya.
Kening minah semakin berlipat-lipat mengingat dengan apa ia akan manjalang mintuo. Walaupun nanti diusahakannya uang untuk manjalang mintuo, dengan meminjam kepada tetangga atau bagaimana nantinya, Minah bersikeras tidak akan pula pergi manjalang kerumah mertuanya itu kalau anak-anaknya tidak berbaju baru. Ini sudah keputusannya yang disampaikan pada suaminya malam itu ketika anak-anaknya telah tertidur lelap.
“Kenapa pula begitu? Kita sedang tak ada uang, kalau nanti dapatnya hanya untuk manjalang bagaimana? Tidak mungkin kita tidak manjalang, sedih pula nanti ibuku. Semua anak menantunya berkumpul dihari raya, kecuali kita”. Begitu tanggapan suami Minah malam itu.
Sebenarnya ini salah satu yang tidak disenangi Minah ketika harus berkumpul dan manjalang ke rumah mertuanya. Selalu saja ada perbedaan dari mertuanya terhadap anak-anaknya yang kaya dan miskin. Acapkali ia harus mengelus dada ketika dibedakan seperti itu oleh mertuanya. Suaminya lima orang bersaudara. Hanya satu perempuan. Dari mereka berempat para menantu, hanya istri Bujang - kakak suaminya yang nomor dua - lah yang sering dipuji. Itu karena istrinya bujang PNS, guru SMP di kota Minah. Dan Badul, suami Minah tak pernah tahu perbandingan seperti itu.
 Badul, suami Minah memilin-milin benang nilon yang akan dibuat jala. Memang, suami Minah pandai membuat jala dari benang nilon untuk menangkap ikan. Tapi sayang, tak ada yang mau membeli jala sekarang ini, orang lebih senang memancing ikan di tabek Pak Hasan walaupun harus membayar insert-nya yang mahal, ketimbang manjalo ikan di sungai. Lama Minah memperhatikan wajah suaminya.
“Karena aku tahu bagaimana rasanya tidak berbaju baru di hari raya seperti ini. Mereka masih anak-anak. Yang mereka tahu tentang hari raya adalah kue, baju baru, dan sepatu baru. Tak bisa kubayangkan ketika nanti dihari raya anak-anak tetangga memanggak-manggakkan baju barunya sedang anakku hanya berbaju lusuh hari raya kemaren. Apalah rasanya hatiku sebagai ibu, melihat anakku menangis meraung-raung karena sedih tak berbaju baru seperti mereka. Apa pula nanti kata ibumu, ketika kita manjalang beliau sedang anak-anak tak bertukar pakaiannya dari tahun kemaren. Sudah kubayangkan pula ibumu bertanya padaku, ‘Kau kemanakan saja gaji lakimu Minah, hingga tak bertukar baju anak-anakmu?’ Ciih…macam anaknya bergaji banyak saja.” Minah selesai mengeluarkan semua isi hatinya. Setelah itu tiada ia berkata-kata lagi, hanya sedannya yang terdengar.  Suaminya diam.
Hening.
“Bersabarlah Minah. Hari raya masih dua minggu lagi. Masih lama. Kau kan tahu bukannya Abang tak berusaha cari kerja, tapi memang kerja itu yang sulit sekarang apalagi bulan puasa seperti ini.” Minah tahu itu, yang bisa dilakukan suaminya hanya mengumpulkan batu disungai. Syukur-syukur terjual. Minah tak bisa berharap banyak dari penjualan batu kali itu.
***
Siang itu Minah bercerita-cerita dengan Tek Neni, tetangga sebelah rumahnya. Minah menceritakan kondisi keluarga yang menimpanya sekarang ini. Ternyata Tek Neni juga begitu. Minah menceritakan kegalauannya pada Tek Neni tentang anak-anaknya yang sepertinya tidak akan berbaju baru. Cerita mereka kesana kemari tak berujung berpangkal, asyik nian tampaknya. Maka sampailah cerita mereka pada orang-orang yang berkredit baju pada abang-abang Batak yang ber-honda yang sering datang menjajakan baju pada penduduk kampung. Terbersit pula dalam pikiran Minah untuk mengambil baju anaknya barang satu atau dua stel seorang dengan berkredit. Sebelumnya Minah tak pernah berhutang pada oranglain, jangankan berhutang baju kalau tidak ada uang pembeli lauk pun ia tak pernah berhutang. Beruntung ia tak membeli beras sebab ada ia menanami sawah barang beberapa bidang, dengan sistem bagi dengan sipemilik sawah. Di-paduoi istilah orang kampung Minah. Itu sudah cukup untuk Minah berempat beranak. Prinsipnya jelas, bialah makan jo garam daripado barutang ka urang.
Tukang kredit itu datang setiap hari rabu ke kampung Minah. Ia membawa banyak baju-baju model terbaru.  Barang bawaannya akan digelar di sebuah rumah yang di daulat menjadi tuan rumah, biasanya adalah rumah Ni Upik. Maka orang-orang sekeliling akan berdatangan dan mulai memilah baju-baju yang sesuai dengan selera mereka. Untuk setiap baju tukang kredit itu memang agak banyak mengambil untung, tapi karena ada keringanan kredit maka tampaknya itu tak menjadi masalah bagi orang kampung Minah. Karena untuk membeli baju kontan sekarang tampaknya agak susah karena kesulitan ekonomi orang-orang kampung jugalah tampaknya.
Hari rabu ini Minah dan Tek Neni telah berjanji akan mengambil baju, barang satu atau dua stel seorang untuk anak-anak mereka. Minah agak sedikit takut, lantaran baru kali ini ia berhutang. Ia belum memberi tahu suaminya akan hal ini. Jika diberi tahu terlebih dahulu, Minah khawatir suaminya akan marah dan tak mengizinkan, padahal hari raya tinggal menghitung hari. Sampai sekarang ia belum melihat tanda-tanda akan adanya uang masuk. Setelah ditunggu-tunggu akhirnya Si Abang tukang kredit itu muncul. Minah melihati saja orang itu. ia berperawakan gemuk pendek. Memakai celana jeans dengan jaket kulit hitam dan mengenakan sepatu kets coklat. Ia datang dengan mengendarai sepeda motor Honda. Di pinggangnya ada tas kulit kecil. Maka mulailah tukang kredit itu menggelar barang-barang dagangannya di kedai Ni Upik. Satu persatu orang berdatangan. Kembali  ramailah hari rabu itu di kedai Ni Upik dengan orang-orang yang akan mengkredit baju. Kemudian si Abang mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya, semacam buku dan sebuah pena. Ternyata itu adalah catatan nama-nama pelanggannya. Maka mulailah ia dengan kesibukan menuliskan orang-orang yang akan membayar hutang padanya minggu ini. Dan Minah sebentar lagi akan tercatat juga di buku Abang tukang kredit itu sebagai pelanggan barunya.
Minah menghembuskan nafas panjang. Dengan bismillah ia mulai memilah-milah baju mana yang kira-kira cocok dengan anak-anaknya. Ia memasang-masangkan beberapa baju pada sikecil Yudha anaknya, tampak wajah cerah anaknya. Maka serta merta hilanglah sudah kekhwatiran Minah terhadap kemarahan suaminya karena melihat wajah ceria putranya. Setelah puas memilih dan mematut-matut mana baju yang cocok untuk kedua anaknya, akhirnya Minah mengambil 4 pasang baju yang dinilainya pas dan cocok untuk kedua anaknya itu. Tak terkata bahagianya Minah melihat anaknya menari-nari karena senang. Tukang kredit itu menulis nama Minah di buku catatannya. Sekarang Minah resmi berlangganan dengan Abang tukang kredit itu.
***
“Bukannya abang marah kau belikan anak-anak itu baju dengan berhutang. Tapi sedapat-dapatnya kita jangan berhutang, apalagi karena perkara baju yang tidak penting begitu. Lebaran itu maknanya bukan dari pakaian atau dari apa yang kita kenakan, tapi dari hati. Selama tiga puluh hari kita berpuasa dan intinya pada hari raya idul fitri itu kita kembali fitri. Kita kembali suci. Bukan dengan melihat apakah kita pakai baju baru atau tidak pada hari itu. Seharusnya kau lah yang memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai hal itu. Kau kan dulu pernah sekolah Tsanawiyah, harusnya kaulah yang lebih mengerti. Aku kan cuma tamat SD.” Minah tertunduk mendengarkan petuah suaminya malam itu ketika kedua anaknya telah terlelap tidur. Pikirnya suaminya akan marah tapi ternyata tidak.
Yah, Minah memang dulu pernah mengecap bangku Tsanawiyah. Ia mengerti sedikit-sedikit tentang agama. Suaminya benar, ia seharusnya tidak berpikiran tentang segala yang baru di hari raya. Harusnya sebagai ibu, ia yang memberikan pemahaman pada anak—anaknya mengenai fitrah di idul fitri.  Minah khilaf. Ia telah dibutakan oleh pesona duniawi. Dalam hati ia berjanji akan memperbaiki semua itu.
Gubuk Imaji, 30 Oktober 2011



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIS-HADIS TENTANG AKHLAK KONSELOR ISLAMI

JENIS-JENIS PERMAINAN DALAM KONSELING

Motif dan Sikap