SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Penyebaran
Islam yang berkembang secara spektakuler di Negara-Negara Asia Tenggara berkat
peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh
hampir mayoritas sejarahwan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat
dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis
dan penuh kasih sayang.
Terdapat
kesepakatan dikalangan sejarahwan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan
Indonesia, bahwa tasawuf adalah faktor
terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. Secara historis, tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa
tahap, sejak pertumbuhan hingga perkembangannya sekarang. Tahap pertama masih
berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika
pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok
kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya hanya pada
pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan akhirat. Tokohnya antara lain
Hasan Al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah Al’adawiyah (w. 185 H). Kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai
memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan
perilaku hingga tasawuf menjadi sebuah
ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya
pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan serta pengaruhnya bagi
perilaku. Pemikiran-pemikiran yang lahir selanjutnya terlibat dalam
masalah-masalah epistemologis. Masalah ini berkaitan langsung dengan pembahasan
mengenai hubungan manusia dengan Allah swt., sehingga lahir konsepsi-konsepsi
seperti fana’, terutama oleh Abul Yazid al-Busthami (w. 261 H).
Dengan
demikian suatu ilmu khusus telah berkembang di kalangan kaum sufi, yang berbeda
dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan maupun
istilah-istilah yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan, antaralain, seperti
Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Al-Qusyairi dan ‘Awarif
Al-Ma’arif karya Al-Suhrawardi Al-Baghdadi. Tasawuf kemudian
menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Pada
abad ke-5 H Imam al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang
dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah upaya
mengembalikan tasawuf kepada status
semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa dan pembentukan moral.
Sejak
tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf
Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Selanjutnya, pada abad ke-6 H yang
berorientasi filsafat, antara lain Suhrawardi A-Maqtul, AL-Syaikh Al-Akbar ,
Ibn ‘Arabi (w.638 H), dll. Dalam aliran mereka berkembang panteisme (wahdah al-wujud) yang
mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah swt.,
perhatian mereka tidak tertuju kepada selain taraf spiritual ini, sedangkan aspek praktis nyaris terabaikan. Perkembangan
tasawuf akhirnya berlangsung akhirnya
berlangsung dibawah pengaruh mereka. Dan tasawuf kemudian menjadi terkait amat
luas dengan filsafat, terutama aspek-aspek ontology dan epistemology. Aliran
seperti ini mencapai puncaknya pada
pemikiran Ibn ‘Arabi yang berhasil membangun pilar tasawuf diatas
prinsip-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.
Dengan
munculnya aliran tersebut, tasawuf terbagi dua. Pertama, tasawuf Sunni
yang dikembangkan para sufi pada abad
ke-3 dan ke-4 H yang disusul Al-Ghazali
dan para pengikutnya dari
syaikh-syaikh tarekat, yaitu tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua,
tasawuf falsafi yang menggabungkan tasawuf dengan berbagai aliran mistik dari lingkungan di luar Islam,
seperti dalam Hinduisme, kependetaan
Kristen ataupun teosofi dalam
neo-Platonisme.
Perkembangan
dan penyebaran tasawuf di Indonesia tidak lepas dari peran tokoh-tokoh yang mengembangkan
tasawuf itu sendiri. Maka dalam makalah ini, pemakalah akan membahas
perkembangan tasawuf yang dibawa oleh beberapa tokoh ke Indonesia, diantaranya:
tasawuf pada masa Walisongo, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri, Muhammad Nafis
Al-Banjari, Ismail Al-Minangkabawi, dan Hamka.
B.
Tasawuf dan Penyebarannya
di Indonesia
a. Walisongo
Agama
Islam masuk ke Indonesia tidak langsung dari tanah Arab,
tetapi melalui negeri Persia dan India yang
dibawa oleh pedagang-pedagang atau mereka yang khsusus datang untuk menyiarkan
agama Islam. Agama Islam masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-4 atau ke-5 H,
maka paham-paham sufi dan tasawuf yang sedang tersiar luas dan mendapat
perhatian umum dalam Negara-negara Islam ketika itu, menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari materi dakwah yang disampaikan di Indonesia.
Wali dalam konteks ini adalah keringkasan dari waliyullah, artinya
orang-orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, orang yang mempunyai keramat
(karamah=kemuliaan), yang mempunyai bermacam-macam keanehan/kelebihan.
Wali-wali itu dianggap sebagai orang yang mula-mula menyiarkan agama Islam di
Jawa dan biasa dinamakan Wali Sembilan atau wali songo. Para wali itu dalam
menyiarkan agamanya tidaklah berupa pidato atau ceramah di depan umum, tapi
dalam kumpulan-kumpulan yang terbatas, bahkan kebanyakan secara rahasia di
bawah empat mata yang kemudian diteruskan dari mulut ke mulut. Ketika
pengikutnya mulai bertambah banyak, maka terjadilah tabligh-tabligh yang
diadakan didalam rumah-rumah perguruan, yang biasa dinamakan pondok atau
pesantren. Walisongo itu adalah: 1) Syekh Maulana Malik Ibrahim; 2) Raden Rahmat;
3) Sunan Makdum Ibrahim; 4) Raden Paku; 5) Syarif Hidayatullah; 6) Ja’far Sodiq;
7) Raden Prawoto; 8) Syarifuddin; 9) R.M Syahid (Raden Said).
b.
Syekh Siti
Jenar
Syekh Siti Jenar dikenal
dengan banyak nama seperti Sitibrit dan Lemah Abang. Menurut Dalhar Shodig,
Syeikh ini berasal dari Cirebon, Jawa Barat dengan nama asli Ali Hasan, ia
hidup pada pertengahan 16 M.
Dalam mengembangkan ajarannya Syeikh Siti Jenar
dianggap amat liberal dan kontroversial dinilai melawan arus yang dibangun oleh
Wali Songo. Pemikiran Syeikh Siti Jenar bahwa hidup didunia dinilai sebagai
kematian dan lepasnya nyawa sebagai awal dari kehidupan, baginya syariat Islam
berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian.[1]
Pendapat Siti jenar yang lain adalah bahwa tuhan
itu bersemayam didalam dirinya dan shalat lima waktu sehari juga zikir
merupakan suatu keputusan hati, tergantung kepada kehendak pribadi.
Siti Jenar berpendapat bahwa Tuhanlah satu-satunya
penguasa Alam ini dan Dia pula yang berkuasa atas segala kehendak-Nya, Dialah
yang Maha Mulia, Pangkal dari segala Ilmu, Maha sempurna dan tanpa cacat
seperti Hamba-Nya.
c. Hamzah Fansuri
Hamzah fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang
menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi
atau baku. Berdasarkan kata “fansur” yang menempel pada namanya, sebagian
peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari fansur, sebutan orang arab terhadap
barus yang sekarang merupakan kota kecil di pantai barat sumatera utara yang
terletak diantara sibolga dan singkel. Dipercaya
bahwa hamzah fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad
ke-17.
Pemikiran-pemikiran
fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi ibn’arabi dalam paham wahdat
wujudnya. Diantara ajaran-ajarannya adalah:
a.
Allah. allah
adalah dzat yang mutlak dan qadim sebab dia adalah yang pertama dan pencipta
alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa allah
tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada dimana-mana. Ketika
menjelaskan ayat “fainama tuwallu fa
tsamma wajhu’llah” ia katakana bahwa kemungkinan untuk memandang wajah allah
dimana-mana merupakan unio-mistica. Para sufi menafsirkan “wajah allah” sebagai
sifat-sifat tuhan seperti pengasih, penyayang, jalal, dan jamal.
b.
Hakikat wujud
dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak.
Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (mazh-har, kenyataan lahir)
dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya
merupakan manifestasi dari yang haqiqi
yang disebut al-haqq ta’ala. Ia menggambarkan wujud tuhan bagaikan
lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang
lautan wujud tuhan. Pengalira dari dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak
yang menimbulkan uap, asap, awan, yang kemudian menjadi dunia gejala. Itu pula
yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi kepada tuhan
(taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan dan
sungai dan kembali lagi ke lautan.
c.
Manusia.
Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat
yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. Ia
adalah alira atau dan pancaran langsung dari dzat yang mutlak. Ini menunjukkan
adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
d.
Kelepasan.
Manusia sebagai makhluk penjelmaa yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan
kamil (manusia sempurna), tetapi karena ia lalai, pandagannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta
ini adalah palsu dan bayangan.
d. Syamsuddin Sumatrani
Syamsuddin Sumatrani adalah
keturunan seorang ulama, ia mendapat pendidikan agama dari Syeikh Hamzah
Fansuri. Syamsuddin Sumatrani dikenal dengan nama Syamsuddin Pasai[2]. Hidup diantara tahun
1575-1630 M. Ia mengikuti tarekat Qadirriyah yang mendapat sokongan dari Sultan
Iskandar, selain mendapat sokongan Syamsudin Sumatrani juga pernah memangku
jabatan sebagai perdana menteri kerajaan aceh. Setelah mangkatnya sultan
Iskandar Muda, Nuruddin Al-Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Tsani
dan karena ini ajaran Hamzah Fansuri yang disiarkan oleh Syamsyudin Sumatrani
terhapus.
Pokok-pokok ajaran dari Syamsuddin Sumatrani :
1)
Tentang Allah, Syamsuddin
mengajarkan bahwa Allah itu Esa ada nya, qadim dan baqa.
2)
Tentang penciptaan. Sufi ini
menggambarkan tentang penciptaaan dari Dzat yang mutlak itu melalui beberapa
tahapan atau tingkatan dimulai dari tingkatan ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam
arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insan.
3)
Tentang manusia ia berpendapat bahwa manusia
seolah-olah semacam objek ketika tuhan menzahirkan sifatnya. Semua sifat yang
dimiliki oleh manusia ini adalah sekadar penggambaran dari sifat-sifat tuhan,
bukan berarti sifat-sifat yang dimiliki manusia sama dengan Tuhan.
e. Nuruddin Al-Raniri
Nama
lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif Al-Raniri
Al-Quraisyi Al-Syafi’i. Nuruddin Al Raniri adalah sarjana India keturunan Arab,
beliau dilahirkan di daerah Ranir yang tak jauh dari Gujarat.[3]
Al Raniri berkunjung ke Aceh pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar II, Raniri menjabat sebagai mufti untuk kerajaan
aceh selama 7 tahun. Selain sebagai Ulama
dan Mufti, Al-Raniri juga sebagai figur yang produktif dan berpengetahuan luas
diberbagai bidang Ilmu pengetahuan. Dibuktikan dengan berbagai karya-karya
ilmiahnya mencakup bidang-bidang Fiqh, Hadits, Tasawuf, Perbandingan Agama dan Filsafat.
Tak kurang dari 30 judul buku karyanya yang ditemukan hingga kini, antara lain
:
1)
Al-Shirath
Al-Mustaqim, dalam bahasa Indonesia dengan pembahasan topik
pembahasan dalam bidang fiqh meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan kurban
serta hukum-hukumnya.
2)
Nubdzah fi Da’wah
Al-Dzill. Dengan topik pembahasan tasawuf dan penegasan
aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat. Buku ini menggunakan
tanya-jawab.
3)
Asrar Al-Ihsan fi Ma’rifah Al-Ruh wa Al-Bayan dalam bahasa
indonesia dengan topik pembahasan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt,
masalah ruh beserta hakikatn ya.
4)
Akhbar Al-Akhirah fi
Ahwal Al-Qiyamah dengan topik pemabahasan al-nur Al-Muhammadi, penciptaan Adam, siksaan hari kiamat, surga
dan neraka.
5)
Jawahir Al-Ulum fi
Kasyf Al-Ma’lum dalam bahasa indonesia dengan topik pembahasan
tasawuf, teori, ilmu makrifat, ilmu hakiki, wujud dan sifat-sifat Allah SWT.
Tatkala Sultan Iskandar Tsani naik
tahta, Syaikh Nuruddin Al Raniri segera menjadi Mufti
karena menjalin hubungan yan baik dengan Sultan. Kesempatan ini tidak
disia-siakan dan dia segera melancarkan kampanye pemberantasan apa yang
disebutnya tasawuf wujudi “ateis” yang
menjadi sasarannya adalah pengikut Al-Fansuri
dan semua buku-buku dan karya dari Al-Fansuri dimusnahkan.
Adapun ajaran-ajaran
tasawuf Nuruddin Al-Raniri adalah:
a. Tentang Tuhan
Pendirian Al-Raniri
dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berusaha
menyatukan paham mutakallimin dengan
paham para sufi yang diwakili Ibn ’Arabi. Ia
berpendapat bahwa ungkapan ” wujud Allah dan alam esa” berarti bahwa alam
ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah. Namun,
ungkapan itu pada hakikatnya adalah
bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah yang esa. Jadi tidak
dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda
atau bersatu denga Allah. Pandangan Ar- Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi
bahwa alam ini merupakan tajalli Allah.
b. Tentang alam
Ar-Raniry berpandangan bahwa alam ini
diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim
sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan
wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu
bertajalli pada alam dan akal; nama Rahman ber-tajalli pada arsy,
nama Rahim ber-tajalli pada kursy, nama Raziq bertajalli
pada falaq ketujuh, dan seterusnya.
c. Tentang manusia
Manusia,
menurut Ar-Raniri, merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab,
manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-Nya. Juga karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan
sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, menurutnya
hampir sama dengan apa yang telah digariskan
Ibn ’Arabi.
d. Tentang wujudiyah
Inti
ajaran wujudiyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat al-wujud, yang
disalahartikan kaum wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam.
Menurutnya, pendapat Hamzah Fansuri tentang wahdat al-wujud dapat
membawa kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya
satu, dapat dikatakan bahwa manusia
adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia maka jadilah seluruh makhluk itu adalah
Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, buruk atau baik, Tuhan turut serta
melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
e. Tentang hubungan syari’at dan hakikat
Pemisahan
antara syari’at dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak
benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka
sufi, diantaranya adalah syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak
ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at yang merupakan pokok dan cabang
islam.[4]
Dalam berbagai karyanya
kecendrungan Al-Raniri adalah menentang pendapat-pendapat Fansuri dan
Al-Sumatrani, bersandarkan kepada pemikiran, sebagai berikut :
1)
Panteisme persis sama dengan
pendapat-pendapat filosof, Zoroaster dan ajaran Reinkarnasi dalam hal hubungan
khaliq dan makhluq.
2)
Panteisme mempraktikkan ajaran al-hulul-nya orang-orang ateis, yaitu
percaya bahwa tuhan berada di dalam makhluq.
3)
Panteisme percaya bahwa wujud
Allah swt. Adalah basith (simpel)
4)
Panteisme mengikuti doktrin
bahwa Al-Quran ini adalah sebuah makhluq sesuai dengan aliran Mu’tazillah
5)
Panteisme percaya bahwa “alam
bersifat qadim” seperti halnya ajaran-ajaran sebagian filosof.
f. Muhammad Nafis Al Banjari
Tokoh ini merupakan tokoh Tasawuf Kalimantan
selatan, lahir pada 1148/1735 di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar.
Pendidikan awalnya ditempuh dikampung halamannya kemudian diteruskan ke Mekkah.
Guru-guru beliau antara lain adalah Al-Sammani, Muhammad al-Jawhari, Abd’ Allah
Ibn Hijazi al-Syarqawi, Muhammad Shiddiq ibn Umar Khan.
Muhammad
Nafis Al Banjari diketahui berteman dengan Al-Palimbani, Muhammad Arsyad, dll. Muhammad Nafis seperti
kebanyakan Ulama Melayu Indonesia yaitu bermazhab Syafi’i dan berteologi
Asy’ari. Dia berafiliasi dengan beberapa tarekat yaitu Qadirriyah, Syatarriah,
Sammaniyah, Naqsybandiah dan Khalwatiyyah. Muhammad Nafis adalah seorang ahli
Kalam dan Tasawuf karyanya al-Durr Al-Nafs menekankan transedental mutlak dan
ke-esaan Tuhan. Buku beliau ini
dilarang oleh Belanda karena dikhawatirkan akan mendorong umat Islam melakukan
Jihad.[5]
Menurut
Muhammad Nafis keesaan Tuhan (tauhid) terdiri atas empat tahap: Tauhid Al-Af’al
(keesaan perbuatan Tuhan), Tauhid al-Shifat (keesaan sifat-sifat Allah) Tauhid
Al-Asma’ (keesaan nama-nama tuhan) dan Tauhid al-Dzat. Muhammad
Nafis menekankan pentingnya kepatuhan terhadap syariat baik lahir maupun batin
untuk mencapai tahap Kasyf, mustahil
seseorang sampai tahap itu tanpa menguatkan daya spritualnya dengan cara
menjalankan ibadah-ibadah lain yang ditetapkan dalam syariat.
Dalam ajarannya, Muhammad Nafis al Banjari mementingkan
kepatuhan kepada syariat secara lahir ataupun secara batin untuk mencapai tahap
kasyf, mustahil untuk seseorang
mencapai tahap itu tanpa menguatkan daya spritualnya dengan cara menjalankan
Ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam syariat.
f. Ismail Al-Minangkabawi
Nama lengkap beliau
adalah Al-‘Alim Al-Fadhil Al-Hammam Al-Kamil Shahib Al-Wilayah Wal Karamah
Syeikh Ismail Al-Khalidi. Syeikh Ismail al-Khalidi adalah pelopor tarekat
Naqsyabandiyah khalidiyyah di Minangkabau.
Pendidikan agama
Syeikh Ismail bermula di Surau, kemudian melanjutkan pelajarannya ke Tanah
Suci, semasa di Arab beliau menetap selama 30 tahun Makkah dan 5 tahun di
Madinah sambil menulis kitab karangan beliau yaitu Kifayat Al-Ghulam ditulis dalam bahasa Melayu klasik. Syeikh Ismail
al Minangkabawi mempunyai banyak murid, dua diantranya yang terkenal adalah
Raja Ali Ibn Yamtuan Muda Raja Ja’far dan sepupunya Raja Ali Haji.[6]
Ismail
sendiri dibai’at masuk ke Tarikat Naqsabandiyah oleh Khalifah dari Maulana
Khalid di Mekkah. Sebelum mengadakan perjalanan kembali ke Asia Tenggara,
Ismail sudah lama mengajarkan Tarikat
Naqsyabandiyah Khalidiyyah di
Makkah, dan ketika memulai perjalanannya kembali ke Asia Tenggara ia mula-mula
singgah di Singapura dan menjadikannya sebagai basis sementara dan mulai mengajarkan
tarekat disana. Ajaran yang dibawanya sendiri ini juga ada yang menentang,
diantaranya adalah seorang Ulama berasal dari Hadramaut yaitu Salim bin Samir.
Kitab Khifayat al-Ghulam karangan Ismail
al-Minangkabawi berisi dimulai dengan Rukun Islam, Rukun Iman, lalu
membicarakan sifat sepuluh yang wajib diketahui, karena menurutnya tidak sah
ibadah seseorang tanpa mengetahui sifat Tuhannya. Ada juga bab khusus yang
berbicara tentang Bersuci, Shalat, Puasa, Haji dan Nikah yang menjadi banyak
perhatian di Asia tenggara, karena keunggulan kitab ini dibanding kitab-kitab
lain.
g. HAMKA
Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai
Batang, di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H,
bertepatan dengan 16 februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah. Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pauh
Pariaman atau Tuanku Nan Tuo, salah seorang pahlawan paderi. Pemikiran-pemikiran
Hamka tentang tasawuf diantaranya:
a.
Hakikat tasawuf
Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan
untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya, tasawuf adalah alat
untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpeleset kedalam
lumpur keburukan budi dan kekotoran batin yang intinya, antara lain dengan
berzuhud seperti teladan hidup yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah lewat
As-sunnah yang shahih. Tasawuf bagi hamka bukanlah tujuan melainkan alat. Dia
tidak ingin tasawuf dijadikan tujuan seperti kebanyakan yang dia lihat di
sekelilingnya waktu mudanya yang
menyebabkan kemandegan bahkan kemunduran hidup.
Dengan dasar uraian tersebut, hamka lalu merinci beberapa hal
sebagai berikut: tasawuf menjadi negative, bahkan sangat negative kalau
tasawauf: 1) Dilaksanakan dengan bentuk berbagai kegiatan yang tidak digariskan
oleh ajaran agama islam yang terumus dalam al-qur’an dan as-sunnah, seperti
mengaharmkan pada diri sendiri terhadap hal-hal yang oleh allah swt. dihalalkan;
2) Dilaksanakan dalam wujud kegiatan
yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa dunia ini harus dibenci. Justru
pandangan semacam itu telah tampak melembaga dalam kalangan penganut tarekat.
Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:
1) Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan
muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh al-qur’an dan
as-sunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan dikerjakan dan mana yang
diharamkan ditinggalkan. Sementara itu, wajah peribadahan harus berkorelasi
antara ibadah yang “hablum minallah” (ibadah murni) dan ibadah yang “hablum
minannas” (ibadah sosial nyata); 2) Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang
berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat
mendukung “pemberdayaan umat Islam”.
b.
Fungsi tasawuf
Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, yang juga
dilaksanakan lewat peribadahan agama yang didasari I’tiqad yang benar, mampu
berfungsi sebagai media pendidikan moral yang religius yang efektif. Pendapat ini didasarkan atas pengamatannya terhadap cara melaksanakan
hidup ketasawufan dikalangan masyrakat. Menurutnya, dalam tasawuf senantiasa
ditekankan masalah pembinaan moral secara positif.
c.
Tasawuf modern
Dari segi struktur, tasawuf yang ditawarkan Hamka berbeda dengan tasawuf
pada umumnya (tasawuf tradisional). Tasawuf
yang ditawarkan Hamka (disebut tasawuf modern atau tasawuf positif) berdasar
pada prinsip “tauhid”, bukan pencarian
pengalaman “mukasyafah”. Jalan tasawufnya melalui sikap zuhud yang dapat
dilaksanakan dalam peribadahan resmi sikap zuhud, tidak perlu terus menerus
bersepi-sepi diri dengan menjauhi kehidupan normal. Penghayatan tasawufnya
berupa pengalaman taqwa yang dinamis, bukan ingin bersatu dengan tuhan (unitive
state). Dan refleksi tasawufnya berupa menampakkan makin meningginya kepekaan sosial dalam diri
sufi (disebut juga karamah dalam arti sosio-religius), bukan karena ingin
mendapat karamah yang bersifat magis, metafis, dan sebagainya.
Secara garis besar, konsep dasar
sufistik yang ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientasi kedepan, yang
ditandai dengan mekaisme sebuah system ketasawufan yang unsur-unsurnya
meliputi: prinsip tauhid, dalam arti menjaga trensendensi Tuhan dan sekaligus
merasa dekat dengan Tuhan memanfaatkan peribadahan sebagai media bertasawuf,
dalam arti disamping melaksanakan perintah agama juga mencari hikmah di balik
semua perintah agama, juga mencari hikmah dibalik semua perintah ibadah itu;
dan menghasilkan refleksi hikmah yang
berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos sosial yang
tinggi. Ketiga unsur tersebut berjalan sedemikian rupa tanpa harus mementingkan
salah satu dan menggeser unsur yang lain. Secara diametral, konsep dasar sufisme
“tasawuf modern”-nya Hamka ini berlawanan arah dengan konsep dasar sufisme “
tradisional” yang dikenal selama ini.
d.
Qana’ah
Menurut Hamka, maksud qana’ah
amatlah luas. Menyuruh benar-benar percaya akan adanya kekuasaan yang melebihi
kekuasaan kita, sabar menerima ketentuan Illahi jika ketentuan itu tidak
menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjami-Nya nikmat. Dalam hal demikian
kita disuruh bekerja, berusaha, bergiat menguras tenaga, sebab semasa nyawa
dikandung badan, kewajiban belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta
tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa ang ada ditangan, tetapi
kita bekerja, sebab orang hidup musti bekerja.
Qana’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi
penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (energi) mencari
rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, tetap pikiran,
tegap qalbu, bertawakkal kepada tuhan, mengharapkan pertolongan-Nya, serta
tidak merasa jengkel jika ada maksud yang tidak berhasil, atau yang dicari
tidak dapat.
e.
Tawakkal
Hamka menjelaskan tawakkal sebagai berikut: didalam qana’ah sebagaimana
kita nyatakan diatas, tersimpullah tawakkal, yaitu menyerahkan keputusan segala
perkara, ikhtiar, dan usaha kepada tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tidak berdaya.
Tidaklah keluar dari garisan tawakkal, jika kita berusaha menghindarkan diri
dari kemelaratan, baik yang menyangkut diri, harta-benda, anak turunan, baik
kemelaratan yang yakin akan datang, atau berat pikiran akan datang, atau boleh
jadi akan datang.
Komentar
Posting Komentar