Rabu, 10 April 2013

KONSEP DASAR TENTANG HUBUNGAN MEMBANTU (HELPING RELATIONSHIP)




 Sebagai makhluk sosial, manusia tak pernah luput berhubungan dengan manusia lain di sekitarnya. Bentuk hubungan antar manusia tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah hubungan membantu. Setiap individu pernah memberikan bantuan atau menerima bantuan, meskipun dengan cara dan maksud tertentu pemberian/penerimaan bantuan tersebut dilakukan.
Meski Brammer (1998) membedakan membantu berupa yang profesional dan yang bukan profesional, tapi dalam makalah ini, hanya akan di bahas hubungan membantu dalam bentuk profesional, yang dilakukan oleh setidak-tidaknya seorang tenaga profesional yang membantu pihak lain, dan pekerjaan tersebut dalam konteks profesi yang ditekuninya. Tenaga profesional yang dimaksud seperti perawat, psikolog, dokter, konselor, dan lain-lain. Meski pada dasarnya,  profesional atau tidaknya  hubungan membantu tersebut sangat tergantung pada konteks permasalahan yang diselesaikan dan cara penanganannya.
Dari sekian banyak hubungan membantu yang ada dan dilakukan oleh banyak orang, konseling merupakan salah satu bentuk hubungan membantu yang dilakukan oleh profesional, seperti yang telah dijelaskan di awal. Maka, melalui makalah ini, penulis akan menguraikan terlebih dahulu pengertian hubungan membantu dan langkah-langkah hubungan membantu. Dari pemahaman tentang hubungan membantu ini, semoga kita dapat menarik benang merah kaitannya dengan konseling sebagai hubungan yang membantu.

       Pengertian Hubungan Membantu
            A. Terry dan Capuzzi mengartikan bahwa hubungan membantu merupakan beberapa individu bekerja bersama untuk memecahkan apa yang menjadi perhatiannya atau masalahnya dan atau membantu perkembangan dan pertumbuhan salah seorang  dari keduanya.
            Sementara George dan Cristiani, mengemukakan bahwa pemberian bantuan profesional merupakan proses dinamis dan unik yang dilakukan individu untuk membantu orang lain dengan menggunakan sumber-sumber dalam (innerresaurces) agar tumbuh ke dalam arahan yang positif dan dapat mengaktualisasikan potensi-potensinya untuk sebuah kehidupan yang bermakna. Secara lebih mendalam lagi dikemukakan oleh Rogers, bahwa maksud hubungan tersebut adalah untuk peningkatan pertumbuhan, kematangan, fungsi, cara penanganan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak yang diberikan bantuan.
            Dalam hubungan membantu ada pihak yang dibantu dan pihak pemberi bantuan. Upaya pemberian bantuan, menurut Andi Mappiare disebut helping (di Indonesiakan tetap begitu) yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah yang bersifat profesional. McCully mengatakan bahwa suatu profesi helping dimaknakan sebagai adanya seseorang, didasarkan pengetahuan khasnya, menerapkan suatu teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus (existensial affairs) dengan oranglain dengan maksud agar oranglain tadi memungkinkan lebih efektif menghadapi dilema-dilema, pertentangan, yang merupakan ciri khas kondisi manusia.
            Suatu hubungan helping ditandai oleh ciri-ciri dasar tertentu. Pandangan Brauce Shertzer dan Shally C. Stone, yang diadaptasikan disini, mengenai ciri-ciri hubungan helping adalah:
1.      Hubungan helping adalah penuh makna, bermanfaat
2.      Afeksi sangat mencolok dalam hubungan helping
3.      Keutuhan pribadi tampil atau terjadi dalam hubungan helping
4.      Hubungan helping terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang terlibat
5.      Saling hubungan terjalin karena individu yang hendak dibantu membutuhkan informasi, pelajaran, advis, bantuan, pemahaman dan atau perawatan dari orang lain
6.      Hubungan helping dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi
7.      Upaya yang bersifat kerja sama (collaborative) menandai hubungan helping
8.      Orang-orang dalam helping dapat dengan mudah ditemui atau didekati (approachable).
9.      Perubahan merupakan tujuan hubungan helping

Pada dasarnya, hubungan antara konselor dan klien pada proses konseling merupakan hubungan pemberian bantuan yang bersifat professional dan memiliki keunikan sendiri. Profesional dalam hal ini dikarenakan didasarkan pada pengetahuan khas, menerapkan suatu teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus dengan orang lain (klien) agar klien tersebut dapat lebih efektif menghadapi dilema, pertentangan-pertentangan atau konflik yang terjadi dalam dirinya. Keunikan ini tercermin pada kekhususan karakteristik yang terjadi antara konselor dan klien. Kekhususan ini dapat dilihat dari sasaran yang dibantu oleh konselor, metode hubungannya dan masalah yang dihadapi oleh klien. Adapun cara dalam membangun hubungan konseling yaitu:
a)      Objektif/Subjektif
Cara untuk melihat hubungan adalah dari keseimbangan objektivitas dan subjektifitas (Oppenheimer 1954). Keseimbangan ini mengacu pada tingkat emosional dan hal-hal yang mempengaruhi intelektual dan elemen emosional. Objektivitas mengacu pada lebih kognitif, scientific dan generiknya suatu hubungan. Di mana klien dianggap sebagai obyek belajar atau sebagai bagian dari penderitaan manusia yang luas. Oleh karena itu, konselor akan memberikan pandangan kepada klien dan nilai-nilai tanpa penilaian pribadi. Arti perilaku konselor untuk klien adalah bahwa mereka merasa konselor menghormati pandangan mereka, tidak memaksakan gagasan-nya pada mereka, dan melihat masalah mereka rasional dan analitis. Mereka ingin konselor untuk terlibat secara emosional dan menjadi pribadi yang bersangkutan tentang mereka.
Elemen subjektif dimaksudkan adalah sikap kehangatan dan psikologis kedekatan serta keterkaitan yang mendalam pada masalah klien. Perilaku ini sering digambarkan sebagai kepedulian. Sebaliknya, beberapa klien menganggap keterlibatan konselor sebagai ancaman, karena mereka adalah “mengirimkan” untuk kontrol atau “mengungkapkan” diri orang lain. Seorang klien melihat konselor, sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang atas kebutuhan klien tersebut. Sifat interaksi emosional tampaknya menjadi variabel kunci yang menentukan kualitas hubungan, atau pertemuan. Dalam konseling objektivitas dan subjektivitas haruslah harmonis, di mana konselor mengoperasikan dua posisi dan menggabungkan kedua elemen tersebut. Objektivitas diperlukan dalam mendiagnosa, sementara subjektivitas diperlukan dalam membangun suasana/iklim konseling itu sendiri.
b)       Kognitif/Afektif
Elemen hubungan kognitif mengacu kepada intelektualitas seperti bertukar informasi. Sedangkan unsur-unsur afektif mengacu pada ekspresi perasaan dan perubahan, konselor harus tahu kapan untuk mendorong pengujian rasional pada klien dan interpretasi masalah klien dan kapan harus mendorong eksplorasi perasaan dan hubungan ide-ide mereka. Menurut Grater (1964) klien memilih konselor yang mempunyai karakter kognitif dan afektif.
c)      Ambiguitas/kejelasan
Bordin (1955), menyatakan ambiguitas merupakan karakteristik dari suatu situasi stimulus di mana orang-orang merespon secara berbeda dan tidak ada respon yang jelas ditunjukkan. Hubungan konseling adalah kabur dan ambigu untuk klien. Ambiguitas melayani fungsi yang memungkinkan klien untuk proyek perasaan ke dalam situasi konseling. Proses memproyeksikan perasaan klien bantu untuk menjadi sadar dan peduli tentang perasaan mereka, sehingga memungkinkan konselor untuk mengetahui dan berurusan dengan mereka melalui memperjelas teknik konseling. Terlalu banyak ambiguitas pada klien menyebabkan keanehan dalam berhubungan di mana klien harusnya merasa aman dan terstruktur dalam hubungannya.
Ada beberapa kebingungan dalam hubungan jika konselor terlalu menjelaskan kepribadian kepada klien atau menjadi terlalu akrab dengan klien. Misalnya, konselor berperilaku lebih seperti seorang teman dibanding seorang konselor. Jika konselor terlalu ramah dengan klien dalam arti bahwa mereka membiarkan diri mereka dikenal terlalu dini serta-digambarkan kepribadian,
konselor akan menemukan bahwa mereka merasa terdorong untuk “bertindak sendiri” terlalu kuat dalam situasi wawancara. Jadi, wawancara mungkin didorong dalam arah pembicaraan sosial atau pertemanan yang intim. Isu ini merupakan kontroversial, karena ada beberapa literatur yang menekankan pada pentingnya seorang konselor untuk bersikap ramah dengan klien 
d)     Responsibel/akuntabel
Tanggung jawab atau menerima klien dalam hubungan konseling menyiratkan kesediaan pada akuntabilitas dari konselor untuk memikul beberapa tanggung jawab atas hasil konseling dan beberapa kesediaan untuk berbagi dalam masalah klien. Klien memiliki tanggung jawab juga, yang mereka menganggap sebagian besar itu adalah masalah mereka dan perilaku yang dipertaruhkan. Konselor berbeda dalam penafsiran mereka tentang tanggung jawab. Kami merasa bahwa konselor tidak bertanggung jawab untuk menjalankan hidup klien atau memilih nasihat. Bahwa klien bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan konseling karena dia memiliki masalah. Konselor mempunyai lebih banyak pengaruh dari yang mereka sadari karena mereka mempunyai kekuasaan dan status sebagai penyembuh. Tanggung jawab konselor untuk masyarakat yang lebih luas dibahas pada bagian berikutnya pada etika.

          Langkah-Langkah Dalam Hubungan Membantu
          Untuk menjelaskan langkah-langkah dalam hubungan membantu ini, Gerard Egan dalam Brammer (1998) mencontohkan struktur tiga model berpengaruhnya, yatu: (1) langkah 1, what’s going on? Membantu klien untuk memperjelas hal-hal penting yang meminta perubahan; (2) Langkah 2: what solution can make sense for me? Membantu klien menentukan hasil; (3) langkah 3, what do  I have to get what I need and I want? Membantu klien mengembangkan strategi-strategi untuk memenuhi tujuan.
 Gerard kemudian mengubahnya menjadi; membangun hubungan membantu dan explorasi; mengembangkan pemahaman baru dan menalarkan perspektif berbeda; dan tindakan- membantu klien untuk mengembangkan dan menggunakan strategi. ***


 Sumber:
Sugiharto, D.Y.P. dan Mulawarman. 2007. Psikologi Konseling. Semarang: Unnes Press.
Latipun, Psikologi Konseling (Malang: universitas Muhammadiah Malang: 2001)
Sofyan S. willis. Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta: 2004)
Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2004), h.2Andi   Mappiare At, Pengantar Konseling Dan Psikoterapi , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), H.2

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar