KONSEP DASAR TENTANG HUBUNGAN MEMBANTU (HELPING RELATIONSHIP)
Sebagai makhluk sosial, manusia
tak pernah luput berhubungan dengan manusia lain di sekitarnya. Bentuk hubungan
antar manusia tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah hubungan membantu.
Setiap individu pernah memberikan bantuan atau menerima bantuan, meskipun
dengan cara dan maksud tertentu pemberian/penerimaan bantuan tersebut dilakukan.
Meski
Brammer (1998) membedakan membantu berupa yang profesional dan yang bukan
profesional, tapi dalam makalah ini, hanya akan di bahas hubungan membantu
dalam bentuk profesional, yang dilakukan oleh setidak-tidaknya seorang tenaga
profesional yang membantu pihak lain, dan pekerjaan tersebut dalam konteks
profesi yang ditekuninya. Tenaga profesional yang dimaksud seperti perawat,
psikolog, dokter, konselor, dan lain-lain. Meski pada dasarnya, profesional atau tidaknya hubungan membantu tersebut sangat tergantung
pada konteks permasalahan yang diselesaikan dan cara penanganannya.
Dari
sekian banyak hubungan membantu yang ada dan dilakukan oleh banyak orang,
konseling merupakan salah satu bentuk hubungan membantu yang dilakukan oleh
profesional, seperti yang telah dijelaskan di awal. Maka, melalui makalah ini,
penulis akan menguraikan terlebih dahulu pengertian hubungan membantu dan
langkah-langkah hubungan membantu. Dari pemahaman tentang hubungan membantu
ini, semoga kita dapat menarik benang merah kaitannya dengan konseling sebagai
hubungan yang membantu.
Pengertian Hubungan Membantu
A.
Terry dan Capuzzi mengartikan bahwa hubungan membantu merupakan beberapa
individu bekerja bersama untuk memecahkan apa yang menjadi perhatiannya atau
masalahnya dan atau membantu perkembangan dan pertumbuhan salah seorang dari keduanya.
Sementara
George dan Cristiani, mengemukakan bahwa pemberian bantuan profesional
merupakan proses dinamis dan unik yang dilakukan individu untuk membantu orang
lain dengan menggunakan sumber-sumber dalam (innerresaurces) agar tumbuh ke dalam arahan yang positif dan dapat
mengaktualisasikan potensi-potensinya untuk sebuah kehidupan yang bermakna.
Secara lebih mendalam lagi dikemukakan oleh Rogers, bahwa maksud hubungan
tersebut adalah untuk peningkatan pertumbuhan, kematangan, fungsi, cara
penanganan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak
yang diberikan bantuan.
Dalam
hubungan membantu ada pihak yang dibantu dan pihak pemberi bantuan. Upaya
pemberian bantuan, menurut Andi Mappiare disebut helping (di Indonesiakan tetap begitu) yang dimaksudkan dalam
pembahasan ini adalah yang bersifat profesional. McCully mengatakan bahwa suatu
profesi helping dimaknakan sebagai adanya seseorang, didasarkan pengetahuan
khasnya, menerapkan suatu teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus (existensial affairs) dengan oranglain
dengan maksud agar oranglain tadi memungkinkan lebih efektif menghadapi
dilema-dilema, pertentangan, yang merupakan ciri khas kondisi manusia.
Suatu
hubungan helping ditandai oleh
ciri-ciri dasar tertentu. Pandangan Brauce Shertzer dan Shally C. Stone, yang
diadaptasikan disini, mengenai ciri-ciri hubungan helping adalah:
1.
Hubungan
helping adalah penuh makna, bermanfaat
2.
Afeksi sangat
mencolok dalam hubungan helping
3.
Keutuhan
pribadi tampil atau terjadi dalam hubungan helping
4.
Hubungan
helping terbentuk melalui kesepakatan bersama individu-individu yang terlibat
5.
Saling hubungan
terjalin karena individu yang hendak dibantu membutuhkan informasi, pelajaran,
advis, bantuan, pemahaman dan atau perawatan dari orang lain
6.
Hubungan
helping dilangsungkan melalui komunikasi dan interaksi
7.
Upaya yang
bersifat kerja sama (collaborative) menandai hubungan helping
8.
Orang-orang
dalam helping dapat dengan mudah ditemui atau didekati (approachable).
Pada dasarnya, hubungan antara
konselor dan klien pada proses konseling merupakan hubungan pemberian bantuan
yang bersifat professional dan memiliki keunikan sendiri. Profesional dalam hal
ini dikarenakan didasarkan pada pengetahuan khas, menerapkan suatu teknik
intelektual dalam suatu pertemuan khusus dengan orang lain (klien) agar klien
tersebut dapat lebih efektif menghadapi dilema, pertentangan-pertentangan atau
konflik yang terjadi dalam dirinya. Keunikan ini tercermin pada kekhususan
karakteristik yang terjadi antara konselor dan klien. Kekhususan ini dapat
dilihat dari sasaran yang dibantu oleh konselor, metode hubungannya dan masalah
yang dihadapi oleh klien. Adapun cara dalam membangun hubungan konseling yaitu:
a) Objektif/Subjektif
Cara
untuk melihat hubungan adalah dari keseimbangan objektivitas dan subjektifitas
(Oppenheimer 1954). Keseimbangan ini mengacu pada tingkat emosional dan hal-hal
yang mempengaruhi intelektual dan elemen emosional. Objektivitas mengacu pada
lebih kognitif, scientific dan generiknya suatu hubungan. Di mana klien
dianggap sebagai obyek belajar atau sebagai bagian dari penderitaan manusia
yang luas. Oleh karena itu, konselor akan memberikan pandangan kepada klien dan
nilai-nilai tanpa penilaian pribadi. Arti perilaku konselor untuk klien
adalah bahwa mereka merasa konselor menghormati pandangan mereka, tidak
memaksakan gagasan-nya pada mereka, dan melihat masalah mereka rasional dan
analitis. Mereka ingin konselor untuk terlibat secara emosional dan menjadi pribadi
yang bersangkutan tentang mereka.
Elemen
subjektif dimaksudkan adalah sikap kehangatan dan psikologis kedekatan serta
keterkaitan yang mendalam pada masalah klien. Perilaku ini sering digambarkan
sebagai kepedulian. Sebaliknya, beberapa klien menganggap keterlibatan konselor
sebagai ancaman, karena mereka adalah “mengirimkan” untuk kontrol atau
“mengungkapkan” diri orang lain. Seorang klien melihat konselor, sebagai
seorang ibu yang penuh kasih sayang atas kebutuhan klien tersebut. Sifat
interaksi emosional tampaknya menjadi variabel kunci yang menentukan kualitas
hubungan, atau pertemuan. Dalam konseling objektivitas dan
subjektivitas haruslah harmonis, di mana konselor mengoperasikan dua posisi dan
menggabungkan kedua elemen tersebut. Objektivitas diperlukan dalam mendiagnosa,
sementara subjektivitas diperlukan dalam membangun suasana/iklim konseling itu
sendiri.
b) Kognitif/Afektif
Elemen
hubungan kognitif mengacu kepada intelektualitas seperti bertukar informasi.
Sedangkan unsur-unsur afektif mengacu pada ekspresi perasaan dan perubahan,
konselor harus tahu kapan untuk mendorong pengujian rasional pada klien dan
interpretasi masalah klien dan kapan harus mendorong eksplorasi perasaan dan
hubungan ide-ide mereka. Menurut Grater (1964) klien memilih konselor yang
mempunyai karakter kognitif dan afektif.
c) Ambiguitas/kejelasan
Bordin
(1955), menyatakan ambiguitas merupakan karakteristik dari suatu situasi
stimulus di mana orang-orang merespon secara berbeda dan tidak ada respon yang
jelas ditunjukkan. Hubungan konseling adalah kabur dan ambigu untuk klien.
Ambiguitas melayani fungsi yang memungkinkan klien untuk proyek perasaan ke
dalam situasi konseling. Proses memproyeksikan perasaan klien bantu untuk
menjadi sadar dan peduli tentang perasaan mereka, sehingga memungkinkan
konselor untuk mengetahui dan berurusan dengan mereka melalui memperjelas
teknik konseling. Terlalu banyak ambiguitas pada klien menyebabkan keanehan
dalam berhubungan di mana klien harusnya merasa aman dan terstruktur dalam
hubungannya.
Ada
beberapa kebingungan dalam hubungan jika konselor terlalu menjelaskan
kepribadian kepada klien atau menjadi terlalu akrab dengan klien. Misalnya,
konselor berperilaku lebih seperti seorang teman dibanding seorang konselor.
Jika konselor terlalu ramah dengan klien dalam arti bahwa mereka membiarkan
diri mereka dikenal terlalu dini serta-digambarkan kepribadian,
konselor
akan menemukan bahwa mereka merasa terdorong untuk “bertindak sendiri” terlalu
kuat dalam situasi wawancara. Jadi, wawancara mungkin didorong dalam arah
pembicaraan sosial atau pertemanan yang intim. Isu ini merupakan kontroversial,
karena ada beberapa literatur yang menekankan pada pentingnya seorang konselor
untuk bersikap ramah dengan klien
d) Responsibel/akuntabel
Tanggung
jawab atau menerima klien dalam hubungan konseling menyiratkan kesediaan pada
akuntabilitas dari konselor untuk memikul beberapa tanggung jawab atas hasil
konseling dan beberapa kesediaan untuk berbagi dalam masalah klien. Klien
memiliki tanggung jawab juga, yang mereka menganggap sebagian besar itu adalah
masalah mereka dan perilaku yang dipertaruhkan. Konselor berbeda dalam
penafsiran mereka tentang tanggung jawab. Kami merasa bahwa konselor tidak
bertanggung jawab untuk menjalankan hidup klien atau memilih nasihat. Bahwa
klien bertanggung jawab untuk menetapkan tujuan konseling karena dia memiliki
masalah. Konselor mempunyai lebih banyak pengaruh dari yang mereka sadari
karena mereka mempunyai kekuasaan dan status sebagai penyembuh. Tanggung jawab
konselor untuk masyarakat yang lebih luas dibahas pada bagian berikutnya pada
etika.
Langkah-Langkah Dalam
Hubungan Membantu
Untuk menjelaskan langkah-langkah
dalam hubungan membantu ini, Gerard Egan dalam Brammer (1998) mencontohkan struktur
tiga model berpengaruhnya, yatu: (1) langkah 1, what’s going on? Membantu klien untuk memperjelas hal-hal penting
yang meminta perubahan; (2) Langkah 2: what
solution can make sense for me? Membantu klien menentukan hasil; (3)
langkah 3, what do I have to get what I need and I want? Membantu
klien mengembangkan strategi-strategi untuk memenuhi tujuan.
Gerard kemudian mengubahnya menjadi; membangun
hubungan membantu dan explorasi; mengembangkan pemahaman baru dan menalarkan
perspektif berbeda; dan tindakan- membantu klien untuk mengembangkan dan
menggunakan strategi. ***
Sumber:
Sugiharto,
D.Y.P. dan Mulawarman. 2007. Psikologi Konseling. Semarang: Unnes
Press.
Latipun, Psikologi
Konseling (Malang: universitas Muhammadiah Malang: 2001)
Sofyan S.
willis. Konseling Individual Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta: 2004)
Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo,2004), h.2Andi Mappiare At, Pengantar Konseling Dan Psikoterapi ,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), H.2
Komentar
Posting Komentar