Kamis, 17 Januari 2013

Merangkai Huruf menjadi Cerpen dan Puisi


Oleh  Fitria Osnela
Batusangkar, Idealita-  Jum’at (05/10/2012) pukul 13.45 WIB, saya (Fitria Osnela, KI/BK V) dan rombongan yang terdiri dari Iisra Darmawati (KI/BK V), Niza Gusni (TBI V), Hendro Saputra (PAI III), dan Sahari Ramadhani (Alumni TBI, telah diwisuda pada September 2012), berangkat dengan menggunakan ojek ke Pagaruyung. Kami merupakan rombongan pertama, karena setelah ashar nanti rombongan kedua dari Idealita akan menyusul. Tujuan kami adalah aula BP3 (Balai Penelitian dan Pelestarian Purbakala) Sumbar-Riau-Jambi, tempat diadakannya workshop Cerpen-Puisi.
Di depan Gedung BP3, kami telah ditunggu oleh Rezi Maswar (Dewan Redaksi Idealita 2011/2012) dan Riki Eka Putra (Korlip Idealita periode 2011/2012). Mereka adalah panitia dalam acara ini, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Tanah Datar. Mereka mengantar kami menuju aula. Setelah Registrasi, kami masuk. Di dalam ternyata sudah ada beberapa peserta. Mereka dari SLTA se- Tanah Datar. Ya, acara ini memang dikhususkan untuk mahasiswa dan siswa SLTA se-Tanah Datar. Hanya saja, dari mahasiswa STAIN Batusangkar, Idealita adalah satu-satunya peserta. Idealita pun berbagi dengan mahasiswa lain yang bukan anggota Idealita. Dari rombongan pertama ini, hanya saya yang kru Idealita.
Pukul 15.00 WIB, pembukaan dimulai. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga. Kepala Dinas Pendidikan Tanah Datar, Ketua Dewan Kesenian Tanah Datar, dan Anggota DPRD Tanah Datar turut hadir pada acara pembukaan ini. Workshop Cerpen-Puisi ini menghadirkan pemateri yang handal dibidangnya. Untuk cerpen, sebagai pematerinya adalah Gus Tf Sakai dan Yetti A. KA. Sedang untuk puisi, pematerinya adalah Iyut Fitra dan Esha Tegar Putra. Ditengah acara pembukaan, rombongan kedua dari Idealita datang, mereka adalah Sry Rahmy Saputry (Pimpinan Perusahaan), Sri Wahyuni (Pimpinan Redaksi), Ratu dan Ratih Komala Sandy (Reporter).  
Usai pembukaan, kami istirahat sholat di mushola. barang bawaan kami letakkan di mess. Kemudian kami berkumpul di aula II BP3 yang lebih besar dari aula pertama tadi. Di depan kami telah duduk 4 orang pemateri. Acara diawali dengan perkenalan dari peserta. Ternyata, adik-adik dari SLTA lumayan banyak yang datang. Kemudian perkenalan dilanjutkan oleh pemateri.
Siapa tak kenal Gus Tf Sakai, beliau adalah cerpenis asal Payakumbuh yang sudah memperoleh penghargaan di Thailand dan Indonesia. Gus Tf (kemudian kami memanggilnya dengan ‘om Gus’) mengungkapkan bahwa devenisi menulis di dunia Pendidikan dan  Sastra berbeda. Di dunia pendidikan lebih kepada teori, sementara di sini praktek. Di sini, devenisi menulis adalah menulis dan menulis.
Pemateri kedua, Iyut Fitra. Beliau juga penyair asal Payakumbuh. Usai perkenalan, Iyut Fitra membacakan puisinya, Explanade. Kata beliau, puisi ini ditulis di Australia. Kami terkesima oleh pembacaan puisi Iyut Fitra. Kemudian, Iyut Fitra yang biasa dipanggil Kuyut berhenti. Kami menunggu. Tapi ternyata, beliau bilang, “habis”. Kami tertawa. Kuyut menjelaskan bahwa menulis  tidak bisa meninggalkan membaca. Apa yang akan diberikan kalau tidak ada sesuatu. Seorang penulis penting untuk memahami sesuatu yang akan dituliskan. Anggap bahwa pembaca lebih pintar.
Sementara pemateri selanjutnya, Esha Tegar Putra mula menulis sejak 2006. Ia mengaku bahwa perasaannya lebih terasah ketika menulis puisi. Menulis membuat seseorang bisa memandang banyak sisi.  Walaupun, menurutnya, tidak ada profes menulis bahkan untuk e-KTP, sehingga ia harus memilih profesi wartawan untuk e-KTP-nya.
Terakhir,  Yetti A. KA. Ibu seorang putra yang  kini berdomisili di Batusangkar ini mulai menulis sejak SMP. Yetti A. KA (kami kemudian memanggilnya dengan Kak Yetti), mendapatkan penghargaan Pariwisata kategori Fiksi pada tahun 2004. Ia mengaku menulis punya kejutan-kejutan tersendiri. Contohnya penghargaan itu.
Tak terasa, jarum jam telah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Sebelum bubar, kami dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok puisi dan kelompok cerpen. Saya memilih kelompok cerpen, meski sebenarnya saya juga ingin belajar puisi. Om Gus dan Kuyut izin untuk pertemuan malam nanti karena ada hal penting yang harus dilakukan.
Pukul 20.00 WIB, kami kembali ke Aula II. Ternyata, sudah ada Kak Yetti dan Bang Esha. Kelompok puisi langsung merapat ke tempat Bang Esha. Dan Saya, bersama kelompok cerpen dengan Kak Yetti.   Di kelompok cerpen ada beberapa orang diantaranya Ratu dan Ratih Komala Sandy, Sry Rahmy Saputry, Niza Gusni, Iisra Darmawati,  Sahari Ramadhani, Hartati, Emil Mahmuda , dan Vika Afrigusti.
Diskusi pertama ini dimulai dengan membahas cerpen salah seorang peserta yang dikirimkan sebagai syarat mengikuti Workshop Cerpen-Puisi ini. Cerpen pertama yang dibahas adalah cerpen yang ditulis Ratu, dengan judul ‘Hidup Penuh dengan Pilihan’. Ketika Ratu membacakan cerpennya, kelompok Puisi, ternyata juga telah memulai diskusi. Salah seorang peserta puisi terdengar membacakan puisinya. Konsentrasi saya jadi agak terganggu, suara Ratu yang lemah dihimpit oleh vokal anggota kelompok puisi. Tapi, itu tak berlangsung lama. Saya kembali bisa berkonsentrasi pada kelompok.
Setelah cerpen Ratu, giliran Vika, dengan ‘Hanya Lewat Katanya’. Menurut Kak Yetti, cerpen Vika menarik dengan penceritaan ala remaja-nya. Kemudian cerpen Sahari Ramadhani (kami memanggilnya Kak Dhani), dengan judul ‘Kado Terindah Darinya’. Menurut Kak Yetti,  dalam memilih penokohan, harus diperhatikan psikologi tokoh. Keimanan tokoh lebih baik ditunjukkan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan tokoh, bukan dengan kalimat-kalimat lontaran dalam cerita. Ini karena dalam cerpennya, Kak Dhani lebih banyak menggunakan kata-kata berbau agama, seperti ‘subhanallah, astaghfirullah, alhamdulillah, dll’.  Kak Yetti menegaskan, bahwa agama adalah soal sisi kemanusiaan bukan hanya sekedar atribut. Sastra, tidak menghakimi tapi membangkitkan sisi kemanusiaan.
Kemudian, ketika memulai, buka dengan sesuatu yang nendang. Dalam menulis jangan berfikir. Proses berfikir dikepala dilakukan setelah 2 atau 3 hari. Turuti aliran fikiran ketika menulis. Lanjutkan saja apa adanya. Dalam menulis, utamanya cerpen, kita bermain perasaan, biarkan ia mengalir. Tapi satu hal yang penting, cermati hal-hal kecil dalam cerpen yang masuk akal atau salah.
Banyak sekali pelajaran yang diberikan Kak Yetti malam ini. Sebagai penulis pemula, saya sering tidak bisa menyelesaikan tulisan, karena ternyata selama ini saya sering berpikir. Berpikir bagaimana kelanjutannya, bukan menulis apa yang ada di dalam kepala. Ternyata, proses seperti ini sering membuat tulisan terbengkalai.
Selanjutnya, Kak Yetti menyuruh kami menulis, dengan menggunakan media segelas teh.  Memang, pada saat diskusi panitia menyajikan kami teh dan gorengan. Melihat teh dalam gelas, dan menumpahkannya dalam tulisan ternyata lumayan rumit. Tapi, akhirnya saya bisa menyelesaikan sebuah paragraf. Pesan Kak Yetti, bayangkan sesuatu yang tidak nampak. Hufft, sulit sekali ternyata. Kemudian, secara bergilir, masing-masing kami membacakan hasil karya. Ada yang bagus, dan ada yang tidak, tentu.
Malam semakin larut. Kami pun istirahat menuju mess. Karena ruangan mess tidak mencukupi untuk peserta yang lumayan ramai, terutama dari SLTA, maka penginapanpun dibagi dua. 8 orang di mess, dan selebihnya di rumah salah seorang panitia yang juga anggota DPRD Tanah Datar.
Sabtu (06/10), pukul 08.42 Wib kami berkumpul kembali di aula II. Kelompok puisi di aula II dan kelompok cerpen di aula I tempat pembukaan berlangsung kemaren. Sebelum berpisah, saya sempat bertanya pada pemateri, tentang penggunaan kata ganti orang pertama dan ketiga dalam sebuah tulisan. Om Gus, menjelaskan  bahwa penggunaan kata ganti orang pertama dengan kata ‘aku’ terbatas, menjadi dalam, dan mudah berpihak. Sementara penggunaan orang ketiga bisa menceritakan semua, dan bermain-main dengan banyak hal.
Kak Yetti pun menjelaskan, menggunakan kata ganti ‘aku’ harus hati-hati, sesuaikan dengan logika. Sedang menurut Kuyut, penggunaan kata ganti pertama ataupun kedua tak masalah, yang penting kelihaian penulis dalam membangun karakter.
Setelah dirasa cukup, kami (rombongan cerpen) menuju aula I, yang terletak di bawah. Om Gus mengatakan bahwa imajinasi adalah modal awal penulisan. Kebanyakan orang memulai menulis dengan diary, pada diary uneg-uneg lebih tinggi, uneg-uneg ini bisa saja menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan. “Kepedulian itu berbeda setiap orang, sehingga itu yang membedakan  antara pengarang yang satu dengan lainnya. Dengan tanpa melihat nama bisa tahu siapa pengarangnya, “ jelas Om Gus.
Kemudian, Om Gus membagikan pada kami selembar kertas kosong. Om Gus menyuruh kami mengarang. Dimulai dari ujung, sisi kanan dari Ratih  dan sisi kiri oleh Iisra. Semua kami akan mendapat giliran, menyambung pokok pikiran yang dimulai oleh orang yang mula-mua menulis, dan akan berakhir disisi yang berlawanan.
Sembari menunggu tulisan itu selesai, Om Gus menyuruh kami menulis sebuah cerpen dengan tema dua hal yang berlawanan. Setelah selesai, secara acak Om Gus menyuruh membacakan cerpen beberapa peserta, dan siapa yang ingin membacakan cerpen ‘dadakan’-nya tersebut. Hasilnya, lumayan.
Tak terasa waktu zuhur telah hampir masuk. Kami pun istirahat sholat dan makan siang.  Pukul 13.25 kembali memasuki ruangan.  Pak Tri (kami kemudian memanggilnya Pak De Tri) juga ada di dalam ruangan. Ia barangkali melihat bagaimana proses dan progress kami. Memulai kegiatan siang ini, Om Gus menjelaskan bahwa biasanya sastra membenturkan kebudayaan, karena sangat mudah mempengaruhi sosial. Dalam sastra, semakin menggunakan kiasan, akan semakin membuka indera.
Selanjutnya, kami diberi tugas lagi. Kali ini dengan menggunakan kalimat yang ditentukan oleh Om Gus dan Kak Yetti. Ada tiga kalimat, dan kami harus memasukkan ketiga kalimat itu dalam sebuah cerpen. Kalimat pertama berbunyi: “Cahaya keemasan matahari pagi menerpa bunga-bunga”. Kalimat kedua: “Suara petir menggelegar, bagai cambuk raksasa yang memukul gendang telinga.” Dan kalimat ketiga: “Ah, aku lega sekali, bu,” katanya.
Bagi saya, sangat sulit memasukkan ketiga kalimat itu dalam sebuah cerpen, yang penulisannya hanya dalam waktu beberapa menit. Sampai waktu habis, saya tak bisa menyelesaikan sebuah tulisan. Ini berbeda dengan peserta lainnya yang ternyata bisa. Om Gus kemudian menyuruh beberapa peserta untuk membacakan hasil karya mereka.
Pak De Tri juga ikut memberikan masukan. Menurut Pak De Tri, dalam membuat sebuah tulisan sangat diperlukan kretifitas. Kreatifitas berangkat dari yang sebelumnya ada. Ia memberi motivasi pada kami agar tidak takut untuk mulai menggali kreatifitas itu. Satu hal yang ditekankan Pak De Tri, menulis itu harus jujur dan jangan takut dikritik. Kritik yang paling baik itu adalah dari lawan, karena lawan pasti akan mengatakan yang sejujurnya.
Waktu terasa cepat sekali berlalu. Ashar masuk, kamipun kembali istirahat untuk sholat. Usai sholat, kami kembali melanjutkan kegiatan. Sore ini kami diberi latihan oleh Om Gus, memperbaiki teks buta. Sebuah teks diberikan pada kami, kami memperbaikinya dengan ejaan dan kaidah tata bahasa yang benar. Om Gus dan Kak Yetti menjanjikan reword sebuah buku karya mereka jika kami bisa memperbaiki dengan tepat. Tapi,  setelah 3 kali mengulang dengan teks buta yang berbeda, tak satupun diantara kami yang benar semua. Buku mereka pun tak kami dapatkan. Di sini, kami belajar banyak hal tentang penggunaan tanda baca, bagaimana menentukan lanjutan paragraf, dan lain-lain. Kami diberi tugas oleh Om Gus dan Kak Yetti untuk membuat sebuah cerpen dengan tema bebas dan  dikumpul besok pagi.
Malam minggu, pukul 19.44 WIB kami kembali ke ruangan, untuk membedah cerpen yang kami tulis bersama secara bersambung tadi. Setelah dibacakan, ternyata hasilnya membuat kami tertawa. Yang tercipta adalah cerpen bingung. Setiap paragraf tidak medukung paragraf sebelumnya, mungkin karena ditulis oleh orang yang berbeda jadi banyak hal yang tidak logis dan tidak konsisten hingga akhir cerpen. Usai membahas cerpen,  dilanjutkan dengan diskusi bebas.
Paginya, pukul 09.00 WIB setelah sarapan dengan sekotak nasi goreng dan segelas teh manis, kami kembali berkumpul di aula. Kami membahas cerpen yang telah kami buat tadi malam. Ah, saya mengantuk sekali karena begadang menyelesaikan cerpen itu.
Cerpen-cerpen itu di bahas dan dikoreksi oleh Om Gus dan Kak Yetti. Saya tak sabar menunggu cerpen saya dikoreksi. Karena waktu yang singkat, mengingat masih ada agenda setelah ini, cerpen-cerpen itu hanya dibacakan dan diberi komentar saja. Akhirnya, cerpen sayapun dibacakan oleh Om Gus.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 14. 10 WIB siang. Usai sholat dan makan siang, kami (kelompok Puisi dan Cerpen) berkumpul kembali di Aula II yang terletak di atas. Pak De Tri menjelaskan pada kami tentang BP3. Kemudian kami diajak ke ruangan tempat koleksi-koleksi artifisial benda-benda purbakala disimpan. Ruangan itu terletak tepat di depan Aula. Banyak sekali koleksi-koleksi benda-benda bersejarah di ruangan ini yang kesemuanya itu berasal dari Sumbar-Riau-Kepri. Koleksi yang ada di sini menjelaskan tentang sejarah peradaban manusia di wilayah ini, sejak zaman pra-sejarah, zaman klasik, ketika nusantara didominasi oleh agama buddha-hindu, dan zaman tradisional. Sangat menarik.
Kami menyempatkan berfoto bersama di ruangan penyimpanan ini. Pukul 14.48 WIB, kami kembali ke aula. Panitia membagikan dua lembar kertas untuk menuliskan rencana masing-masing kami usai mengikuti kegiatan ini. Kemudian, penentuan terbaik penulisan baik dari kelompok cerpen maupun dari kelompok puisi. Dari kelompok cerpen terpilih 3 terbaik, yaitu Vika, Kak Putry, dan saya (saya tak menyangka akan menjadi salah satu diantara mereka).
Sementara dari kelompok puisi ada 6 pemenang. Harapan III dengan judul puisi ‘Khalayak Negeri Tua’, harapan II ‘Mahligai’, harapan I ‘Minang Maimbau’, Juara III ‘Pagaruyung 2006’, juara II ‘Sansaro Pukek Mambao Rabah’, dan juara I ‘Tangguk Kemenangan’.
Usai pengumuman terbaik, dilanjutkan dengan agenda pembentukan komunitas. Karena selama ini, belum ada komunitas sastra di Tanah Datar. Dialog tentang nama komunitaspun dimulai. Banyak nama yang bermunculan, seperti kampung sastra, komunitas langit, kertas, dan lembar. Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya terpilihlah ‘lembar’ sebagai nama komunitas.
Menurut Om Gus Tf Sakai, lembar memiliki filosofi yang dalam, dari skeptik menjadi holistik. Ke depannya, Om Gus berharap komunitas lembar tak hanya tentang sastra, tapi lebih universal, termasuk seni. Pak De Tri pun menuai harap agar komunitas lembar menjadi  maju dan menantang semua harapan.  Ya, harapan lembar tertumpang pada kami selanjutnya. Hari semakin sore, kamipun berfoto bersama. Selama 3 hari mengikuti workshop ini, banyak pengalaman berharga dan ilmu yang telah saya dapatkan.
Sahari Ramadhani, salah seorang peserta dari kelompok cerpen mengungkapkan perasaannya selama mengikuti acara ini, “enak bertemu dengan orang-orang besar, makanya kita harus besar pula. Tapi kalau sudah besar jangan pula tak mau berteman dengan orang-orang kecil,” ungkapnya. (*)