SIMAWANG (PLKP-S Bagian 1)
Annyong...
Apa kabarmu my "A Little Note"? . Sudah lama kita tak jumpa bukan?
Hampir satu semester lebih aku tak menyapamu, sejak oktober lalu aku menjadi
enggan menemui dan malas menatap layarmu bahkan untuk sekedar menuliskan sebuah
sapaan kecut. Tapi, malam ini aku kembali. Ada banyak hal yang ingin
kubicarakan denganmu. Jika hidup adalah sebuah cerita yang patut dikisahkan,
maka kau adalah pilihan terbaik untuk menampung kisahku.
Ah,
aku merasa kaku untuk memulai. Mungkin ini karena aku yang membeku
selama beberapa waktu. Aih, waktu yang lalu itu, acap kuhabiskan dengan
menonton drama Korea dan serial kartun buatan Jepang. Kecanduanku pada menonton
drama impor dari negeri ginseng itu baru diputuskan dengan paksa saat masa PLKPS
(Praktik Lapangan Konseling Pendidikan di Sekolah) dimulai. Terhitung
sejak 03 Februari 2014 lalu. Masa-masa PL ini merupakan masa sibuk, terlebih
pertengahan Februari lalu Prodi Alhamdulillah
juga telah mengeluarkan pembimbing skripsiku, sehingga tak ada waktu untuk
berleha-leha meski hanya menonton sebuah drama. Lebay gak ya? Hhe.
Berbicara
tentang PL, Alhamdulillah di Sekolah semuanya berjalan lancar dan
menyenangkan. Lokasi PL-ku berada di SMAN 2 Rambatan. Di sekolah ini, aku
ditempatkan bersama sembilan orang teman lainnya. Baiklah, kusebutkan saja sembilan
teman itu satu persatu. Kita mulai dari prodi tertua di STAIN Batusangkar yaitu
PAI, ada Zikril Hamdi dan Mira Hendriani. Lalu di Prodi Bimbingan dan Konseling
ada saya, Mifta Hatul Husna, Erma Rani dan Feby Pratama. Kemudian di Prodi Matematika ada Mulia Ismail dan Arif
Affandi. Selanjutnya prodi termuda Fisika, ada Afrizal dan Milanda Linovia. Sementara prodi
lain yaitu Bahasa Inggris, Biologi, dan Bahasa Arab tak ditempatkan di lokasi
ini.
Awalnya,
aku merasa senang mengetahui bahwa lokasi PL-ku berada di Tanah Datar. Sebab, aku
dan keluarga memang berharap agar ditempatkan di lokasi yang dekat dari kos
mengingat biaya. Tapi ternyata setelah observasi lapangan, semua tidak seperti
yang kuharapkan. SMAN 2 Rambatan berada di Nagari Simawang.
Untuk
mencapai daerah ini, total ongkos yang musti kubayar adalah sejumlah 14 ribu
rupiah, sama dengan ongkos pulang kampung ke Sawahlunto. Beruntung, ada teman-teman
yang membawa motor ke Sekolah, sehingga ketika pulang akhir pekan dan pulang di
kala rest, aku bisa menumpang padanya
sampai di Limo Kaum. Beberapa teman memilih berulang, tapi tidak bagiku dan dua
teman lain. Kami memilih kos di daerah ini. Beberapa pertimbangan yang membuat
kami memutuskan untuk memilih kos adalah; Pertama, kondisi cuaca yang tidak
menentu dikhawatirkan akan membuat kami terlambat sampai di sekolah. Kedua,
sekolah usai pada pukul setengah tiga, jika kami berulang akan terlalu letih
sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pembuatan program dan rencana program
layanan nantinya.
Pulang
kampung setelah observasi ketika itu, aku telah bertekad akan menghentikan kos
yang di Limo Kaum. Membayangkan kos di dua tempat membuat pikiranku melayang
pada orangtua di rumah, membayangkan biaya yang akan dikeluarkan nantinya. Belum
lagi biaya-biaya untuk tetek bengek lainnya. Mereka yang sudah pernah menjalani
masa-masa PPL, barangkali tahu seperti apa dan bagaimana persiapan yang
diperlukan untuk Praktik Lapangan ini. Apalagi, saat itu keluarga kami baru saja
mambajak dan hujan yang acap turun
membuat Abak tidak bisa bekerja seperti biasa. Aku tak ingin membebani
orangtua. Tapi, ternyata Amak melarangku untuk menghentikan kos di Limo Kaum. Yang
dipikirkan Amak, setelah habis masa PL aku akan tinggal di mana, tidakkah nanti
akan sulit untuk mencari kos dengan biaya yang terjangkau dengan tempat yang
tidak terlalu jauh dari kampus. Aku menuruti apa yang dikatakan Amak. Malam itu,
benar-benar membuatku menitikkan air mata. Bagaimana tidak, Amak telah menyiapkan
jauh-jauh hari sebelum masa ini tiba. Belum lagi Nocha yang menurutku malam itu
sangat baik sekali. Ia meminjamkan padaku beberapa barang
miliknya, diantaranya tas, HP, jelbab, bahkan peralatan rias. Suasana
menjadikan malam itu berbeda bagiku.
Minggu
pertama, aku dan dua teman lain masih belum nge-kos.
Ini karena cukup sulit mencari rumah yang nyaman untuk di huni. Ada banyak
rumah yang telah kami coba cari, namun ada-ada saja yang membuat kami tidak
jadi menempati rumah tersebut sebagai rumah kami selama tiga setengah bulan
ini. Beberapa orang guru di Sekolah ini turut membantu kami mencarikan rumah,
salah satunya adalah Bu Nursan yang menjabat sebagai wakil kesiswaan. Hari pertama,
kami diberitahu bahwa ada rumah dekat sekolah yang biasa di tempati oleh
anak-anak KKN atau anak PPL. Sebenarnya,
kami sudah setuju dengan rumah ini karena ada pemilik rumah yang juga menempati
rumah itu. Namun, setelah menunggu selama tiga hari, pemilik rumah tidak
menyetujui kami untuk kos di rumah itu dengan alasan sulitnya air. Memang,
Simawang dikenal sebagai daerah yang sangat sulit mendapatkan air. Air PDAM
hanya mengalir selama dua hari dalam satu minggu. Tidak semua masyarakat dapat
menikmati aliran PDAM, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengalirkan air
PDAM ke bak-bak rumahnya. Penduduk lainnya terbiasa beramai-ramai mandi dan mencuci
ke Luak atau ke Masjid. Lalu, ketika
pulang tangan-tangan mereka membawa jerigen atau ember yang sudah penuh terisi
air.
Sebelum
itu, kami juga di tawari sebuah rumah oleh Uni kantin ujung Lapangan. Tapi,
setelah melihat langsung rumah itu, kami menjadi enggan karena rumah itu sudah
lama kosong. Letaknya cukup terpencil, bayangkan saja di sekitar rumah itu
hanya ada tiga buah rumah. Dua diantaranya merupakan rumah kosong, sedang yang satu
dihuni oleh seorang kakek yang sudah tua. Meski Uni kantin bilang, bahwa di
rumah itu mengalir air, kami enggan.
Selanjutnya,
Bu Anik, seorang Guru Biologi di Sekolah itu turut menawarkan pada kami sebuah
rumah. Rumah itu sangat besar. Bagian belakang rumah terdiri dari dua tingkat. Sekilas
melihat rumah itu, membuat kami bergidik. Tak bisa membayangkan rumah besar tak
berpenghuni dengan tujuh kamar tidur itu hanya kami tempati bertiga. Terlebih,
di bagian belakang rumah seperti menempel ke dinding terdapat sebuah kuburan.
Kuburan lainnya terlihat di bagian samping rumah. Selain sulit air, tampaknya
rumah-rumah kosong juga menjadi icon
Nagari Simawang. Bayangkan saja, apabila ada tiga buah rumah maka hanya satu
diantaranya yang dihuni. Tak bermaksud apa-apa, hanya saja banyaknya rumah
kosong di Nagari Simawang disebabkan oleh jiwa merantau penduduknya. Banyak
masyarakat yang lebih memilih hidup di Rantau, lalu memperbaiki rumah mereka di
Kampung sedemikian rupa meski tak dihuni. Rumah-rumah kosong itu kebanyakan
rumah permanen dan sangat layak huni. Namun, bisa jadi rumah-rumah itu menjadi
investasi masa tua bagi sang perantau. Jika badan sudah tak mampu lagi mencari
nafkah maka pulang kampung adalah hal terbaik, bukankah hasil kerja selama di
rantau telah dikumpulkan di kampung?
Kami
masih menunggu informasi rumah yang akan dicarikan Bu Nursan, meski ini sudah
hari ke-empat. Sembari menunggu informasi itu, kami tetap berusaha mencari
rumah-rumah lain yang barangkali bisa kami tempati. Namun, tetap saja tak ada
yang benar-benar bisa membuat nyaman dari rona dan aura yang dipancarkan
rumah-rumah itu. Salah seorang kawanku seraya berseloroh bilang; kita
bisa melihat dan merasakan sesuatu dari rona manusia, begitupun dari rona Rumah.
Lalu kami tertawa. Tepatnya mentertawakan diri sendiri. Entah, bagiku perasaan nyaman
pada saat mulai melihat sesuatu pada pandangan pertama sangat menentukan. Termasuk
perihal rumah. Dibalik itu, ada rumah yang memang ditinggali penghuninya, namun
mereka tak bisa menyewakan sebuah kamar saja, masih karena alasan klasik: air.
to be Continued ...
Komentar
Posting Komentar