Problem Remaja di Sekolah

A.    Stres sekolah, dimensi stress sekolah, dan dampak stress sekolah
1.      Stres sekolah
Stres sekolah merupakan kondisi stres atau perasaan yang tidak nyaman yang dialami oleh siswa akibat adanya tuntutan sekolah yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta mempengaruhi prestasi belajar mereka[1].
Menurut Verma, dkk dalam desmita mendefinisikan school demands (tuntutan sekolah), yaitu stres siswa (students stress) yang bersumber dari tuntutan sekolah(school demands). Tuntutan sekolah yang dimaksud oleh verma, dkk lebih di fokuskan pada tuntutan tugas-tugas sekolah (schoolwork demands) dan tuntutan dari guru-guru (the demands of tutors)
2.      Dimensi stress sekolah
a.       Physical demands (tuntutan fisik)
Stres ini berasal dari lingkungan fisik sekolah. Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik ini yang dapat menyebabkan terjadi stres siswa meliputi: keadaan iklim ruang kelas, temperatur yang tinggi, penerangan, sarana dan prasarana penunjang pendidikan, kebersihan, serta keamanan sekolah.
b.      Task demands (tuntutan tugas)
Stres ini ditimbulkan karena tuntutan tugas dari sekolah sehingga membuat siswa tersebut tertekan. Aspek-aspek task demands ini meliputi: tugas-tugas yang dikerjakan di sekolah dan di rumah, mengikuti pelajaran, memenuhi tuntutan kurikulum, menghadapi ulangan atau ujian, mematuhi disiplin sekolah, serta mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
c.       Role demands (tuntutan peran)
Stres ini berhubungan dengan peran yang dipikul  siswa di sekolah. Sekolah merupakan sebuah organisasi yang banyak hal memiliki kesamaan dengan oerganisasi yang lainnya. Sebagai sebuah tuntutan organisasi, sekolah memiliki struktur organisasi yang terdiri dari beberapa posisi yang ditempati oleh para anggotanya.
Semua anggota organisasi di sekolah ini diharapkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan sesuai dengan posisi masing-masing.
Tuntutan peran ini berkaitan dengan tingkah laku ynag dikomunikasikan oleh pihak sekolah serta orang tua dan masyarakat kepada siswa, seperti harapan memiliki nilai yang bagus, mempertahankan nama baik dan keunggulan sekolah, memiliki tingkah laku dan sikap yang baik, memiliki motivasi belajar yang tinggi. Semua tuntuan itu merupakan sumber stress bagi siswa, terutama saat semua tuntutan itu tidak terpenuhi.
d.      Interpersonal demand (tuntutan interpersonal)[2]
Tuntutan sekolah yang menjadi sumber stress bagi siswa adalah tuntutan interpersonal. Di lingkungan sekolah, siswa tidak hanya dituntut untuk dapat mencapai prestasi akademis yang tinggi, melainkan sekaligus mampu melakukan interksi sosial dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Bahkan keberhasilan siswa disekolah banyak ditentukan oleh kemampuannya mengola interksi sosial ini.
Keadaan lingkungan sosial sekolah mempunyai dampak yang sangat besar dan mendalam terhadap penyesuain akademis dan sosial siswa. Salah satu aspek dari lingkungan yang berhubungan dengan penyesuaian diri adalah iklim sosial yang dialami siswa.
Rice (1999) secara garis besar membedakan dua tipologi sumber stres sekolah, yaitu: personal and social dan academic stressor.
Personal and sosial yaitu stress siswa yang bersumber dari lingkungan sosial. Sedangkan academic stressor merupakan stres siswa yang berasal dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar.
3.      Dampak Stres pada Anak
Stress  sekolah memiliki dampak terhadap kehidupan kepribadian anak, baik secara fisik, psikologis, maupun psikososial atau tingkah laku.
Tuntutan kuliah merupakan sumber stress yang memprovokasikan stimuli dan menganggap bahwa anak remaja mengalami tingkat stress yang berbeda. Anak yang mengalami tingkat stres yang tinggi dapat menimbulkan kemunduran prestasi dan berbagai problem psikososial lainnya.

Dampak Stres pada Anak terbagi dua:

1.      Dampak positif
Stres yang berdampak positif umumnya merupakan bagian yang normal dari proses belajardalam kehidupan anak setiap hari. Misalnya, ketika anak mengikuti perlombaan tertentu, ia akan belajar arti kompetisi dalam mencapai keberhasilan. Stress yang dialami dalam kompetisi seperti ini bisa diarahkan untuk memotivasi semangat belajar, berlatih dan bekerja keras mencapai kemenangan, serta melatih kesiapan mental anak menghadapi kegagalan dan menerima kekalahan.
 Contoh lain, stres yang dialami anak ketika belajar bersepeda bisa dikembangkan untuk memotivasi usaha dan keinginanya agar cepat bisa. Bersepeda juga mengajarkan anak tentang teknik kecepatan dan keseimbangan, serta belajar mengenai sakit karena jatuh lalu bangkit untuk kembali belajar dari kesalahan sewaktu jatuh tadi.
Bentuk stres seperti ini memberikan stimulasi positif untuk perkembangan kemampuan dan kecerdasannya sebagai bentuk belajar menghadapi tantangan, serta melatih keterampilan menyelesaikan masalah. Stres dalam tingkat ini tentu bukan bagian dari rasa tertekan yang mendalam yang bisa mengganggu perkembangannya[3].
2.      Dampak negative
Stress pada anak yang dibiarkan berlanjut dan berkepanjangan bisa menyebabkan dampak yang membahayakan. Dalam jangka pendek, dampak negatif stres ialah mengacaukan dan merusak emosi anak yang ditandai dengan gampang marah, sulit berkonsentrasi, dan mengalami kegelisahan yang berakibat sering mengompol.   Dampak jangka panjangnya ialah bisa membuat anak mengalami chronic sress dan depresi di masa kecil. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mental anak.
Stres berkepanjangan membuat kualitas hidup anak begitu rentan karena stres sangat berisiko menurunkan kekebalan tubuh (immune system) yang bermanfaat dalam melawan penyakit dan infeksi. Stres juga bisa merusak sistem pencernaan, menghambat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mengacaukan dan merusak stabilitas emosi, serta mengganggu perkembangan sel-sel otak anak.
Dampak negatif stres pada anak begitu serius. Jika kita sebagai orang tua tidak segera melakukan upaya pencegahan, penanggulangan dan mempersiapkan kemampuan anak untuk terlatih menghadapi stres, maka stres bisa mengubah dan merenggut keindahan masa kecil anak.
Hal ini bisa ikut mempengaruhi kemampuan dan keberhasilannya dalam bersosialisasi dengan teman-temannya dan lingkungannya, menurunkan daya prestasinya (di sekolah), serta kesulitan dalam mengembangkan bakat dan minatnya sebagai salah satu faktor penting dalam proses perkembangannya dan kepribadiannya.



B.     Phobia sekolah
Phobia sekolah adalah kecemasan yang dialami anak terhadap sekolah, yang biasanya menyebabkan anak tidak ingin masuk sekolah. Phobia sekolah tidak hanya terjadi pada saat hari-hari pertama masuk sekolah saja[4].
Namun, lebih sering ditemukan berupa keengganan anak untuk masuk sekolah dengan sejuta macam alasan, Anak tersebut hampir setiap hari mengeluh tidak ingin masuk sekolah karena alasan yang tidak jelas, seringnya mengeluhkan sakit ini-itu seperti pusing, sakit perut, sakit maag dll, padahal ketika dibawa ke dokter tidak ditemukan kelainan penyakit apa-apa. Semua alasan itu adalah bentuk tampilan fisik dari ketegangan psikis yang sedang dihadapi anak.
Menurut Miftakhul Jannah Spi, Msi Spikolog, Phobia Sekolah bisa disebut juga gangguan kejiwaan. Dari segi tingkatan, mulai dari tingkat ringan, sedang akut sampai kronis.
Semua tingkatan gangguan Psikologis ini bisa disebuhkan, asalkan ditangani dengan benar. Para ahli menunjukkan tingkatan school refusal mulai dari yang ringan yaitu :
1.       Initial scholl refusal behavior
Sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu singkat (seketika/tiba-tiba) dan akan hilang dengan sendirinya.
2.       Substansial scholl refusal behavior
Sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu
3.      Acute scholl refusal behavior
Sikap penolakan yang berlangsung selama 2 minggu sampai 1 tahun dan selama ini anak mengalami masalah setiap kali akan berangkat sekolah
4.       Chronic school refusal behavior .
Sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut ditempat itu.
Phobia sekolah disebabkan oleh rasa ketidaknyamanan pada sekolah, anak merasa sekolah menjadi aktifitas yang tidak menyenangkan (punya pengalaman buruk) misalnya dicemooh guru dan diolok-olok teman. Tetapi phobia sekolah bisa juga disebabkan karena ada masalah yang dialamai orangtuanya. Misalnya anak sering mendengar dan melihat orangtuanya bertengkat, sehingga timbul tekanan emosi yang mengakibatkan konsentrasi belajar anak terganggu.
Gejala awal phobia sekolah yang sering muncul adalah menolak untuk masuk sekolah, menangis, mulai beralasan sakit, Pada tingkatan terparah anak yang mengalami phobia sekolah benar-benar sakit bahkan langsung pingsan kalau diminta pergi ke sekolah[5].




















[1] Desmita, psikologi perkembangan perkembangan peserta didik,(bandung:  PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2009) Hal. 291
[2]  Ibid, hal. 296

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIS-HADIS TENTANG AKHLAK KONSELOR ISLAMI

HUBUNGAN ANTAR BUDAYA (Penulis Makalah: Fitria Osnela, Frischa Erdila, dan M. Hasby Jamil)

KONSEP DASAR TENTANG HUBUNGAN MEMBANTU (HELPING RELATIONSHIP)