Prasangka Sosial
(Mata Kuliah Psikologi Sosial)
***
1. Defenisi Prasangka Sosial
***
1. Defenisi Prasangka Sosial
Prasangka atau prejudice berasal dari kata
latin prejudicium, yang pengertiannya mengalami perkembangan sebagai
berikut: 1) semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil
atas dasar pengalaman yang lalu; 2) dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan
keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa, atau tidak matang; 3) untuk mengatakan
prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional (suka-tidak suka) dalam
keputusan yang telah diambil tersebut.
Sherif dan Sherif dalam Alex
Sobur, menyebutkan bahwa prasangka adalah suatu istilah yang menunjuk pada
sikap yang tidak menyenangkan (unfavourable attitude) yang dimiliki oleh
anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain berikut
anggota-anggotanya yang didasarkan atas norma-norma yang mengatur perlakuan
terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Sementara Harding dan kawan-kawan
mendefenisikan prasangka sebagai sikap yang tidak toleran, tidak fair,
atau tidak favourable terhadap
sekelompok orang.[1]
Prasangka
adalah merupakan evaluasi
kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaaan seseorang
tersebut menjadi anggotanya. Prasangka mengarah kepada evaluasi yang negatif. walaupun dalam streotip merupakan keadaan
yang dapat bersifat positif disamping dapat negatif, tetapi prasangka mengarah
kepada evaluasi yang negatif seperti yang telah dijelaskan.
Sedangkan yang dimaksud dengan prasangka
sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu,
golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang
berprasangka itu. Prasangka
sosial terdiri atas attitude-attitude
sosial yang negatif terhadap golongan
lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain
tadi.[2]
2.
Kaitan
Prasangka Sosial dan Sikap (Attitude)
Prasangka sosial merupakan sikap
perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau
kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka
sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan
lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain
tadi. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan
negatif itu lambat – laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang
diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan-golongan yang di
prasangka itu tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenai tindakan-tindakan
diskriminatif.
Sikap (attitude) dapat
ditrjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap
pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Jadi, attitude
bisa diterjemahkan
dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Attitide
senantiasa terarahkan kepada suatu
hal, tidak ada attitude
tanpa ada objeknya.[3]
Jadi, prasangka sosial dan sikap saling berkaitan karena sikap (attitude)
adalah suatu bagian dari prasangka sosial. Dan bagian-bagian dari prasangka sosial itu
yaitunya attitude-attitude sosial yang negatif baik terhadap golongan
orang lain maupun terhadap golongan diri
sendiri (individu).
3.
Stereotip
Stereotip merupakan tanggapan
atau gambaran tertentu mengenai
sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif akibat tidak lengkapnya
informasi dan sifatnya yang subjektif. Prasangka
sulit dipisahkan dari stereotip. Konsep stereotip pertama kali diperkenalkan
oleh Walter Lippman. Ia adalah
seorang komentator politik, melalui
bukunya yang berjudul Public Opinion (pertama kali terbit tahun
1922; edisi bahasa Indonesia diterbitkan
Yayasan Obor Indonesia 1998), mendefenisikan stereotip sebagai “gambaran dalam pikiran” (pictures in our head) yang
menyaring berita-berita, memengaruhi cara seseorang memandang sesuatu.
Sherif dan Sherif (1969, dalam
Koeswara, 1988) mendefenisikan stereotip
sebagai “kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok terhadap gambaran
tentang kelompok lain berikut
anggota-anggotanya. Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter dalam Alex Sobur, mendefenisikan
stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan
yang kita anut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dahulu
terbentuk.
Berdasarkan keterangan Lippman,
defenisi Sherif dan Sherif, serta Samovar dan Porter, diperoleh gambaran bahwa
stereotip adalah suatu kecenderungan dari seseorang atau kelompok orang untuk
menampilkan gambar atau gagasan yang keliru (false idea) mengenai kelompok
orang lainnya. Gambaran yang keliru itu biasanya berupa gambaran yang tidak
valid, bersifat menghina, atau merendahkan orang-orang yang dikenai prasangka
dan stereotip, baik dalam segi fisik maupun dalam sifat atau tingkah laku.
Salah satu cara yang banyak
dipergunakan untuk menyebarkan prasangka ialah dengan perantaraan stereotip. Kebanyakan
stereotip yang bersifat kurang
menyenangi suatu kelompok diteruskan atau disebarkan secara serampangan dan tanpa banyak dipikirkan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam bentuk lelucon serta kebiasaan dalam cara berbicara ataupun dalam bentuk karikatur.
Menurut Baron dan Paulus dalam Alex Sobur,
ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu: pertama,
sebagai manusia, kita cenderung membagi dunia ini dalam dua kategori: kita dan
mereka. Lebih jauh, orang-orang yang kita persepsi sebagai di luar kelompok kita dipandang
sebagai lebih mirip satu sama lain, karena kita kekurangan informasi mengenai
mereka, kita cenderung menyamaratakannya, dan menganggapnya homogen. Kedua,
stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja
kognitif sesedikit mungkin dalam
berpikir mengenai orang lain. Dengan memasukkan orang ke dalam kelompok, kita
dapat mengasumsikan bahwa kita tahu banyak tentang mereka (sifat-sifat utama
dan kecenderungan perilaku mereka), dan kita menghemat tugas kita yang
menjemukan untuk memahami mereka sebagai
individu. Padahal sebenarnya kita tidak mengenal mereka, bahkan mungkin tidak
pernah bertemu dengan seorang anggotapun dari kelompok mereka, meskipun kita
pernah mendapat informasi mengenai kelompok itu dari kenalan kita atau media
massa.
Beberapa contoh stereotip, antara
lain: laki-laki berpikir logis; wanita bersifat emosional; yang berkulit hitam
pencuri; orang Meksiko pemalas; orang Yahudi cerdas; orang Perancis penggemar
wanita, anggur dan makanan enak; orang Cina pandai memasak; orang Batak kasar;
orang Padang pelit; orang Jawa lembut pembawaan; lelaki Sunda suka kawin cerai
dan pelit memberi uang belanja; wanita Jawa tidak baik menikah dengan lelaki
Sunda (karena suku Jawa dianggap lebih tua dari suku Sunda); orang berjenggot
fundamentalis (padahal kambing juga berjenggot).[4]
4.
Sumber
Prasangka
Prasangka dapat bersumber baik pada interaksi sosial (hubungan antar
kelompok) maupun pada proses yang terjadi dalam diri individu ( dinamika
kepribadian ).
a. Interaksi
Sosial
1) Ketidakadilan
Asal mulanya prasangka rasial yang
di awali oleh perlakuan tidak adil dari pihak pemerintah kolonial belanda
terhadap penduduk pribumi yang didiskriminasikan dari penduduk keturunan cina.
2) In
group-out group
Prasangka
antar kelompok dapat terjadi juga karena adanya perasaan anggota dan non
anggota kelompok ( in group-out group). Kecendrungan in group-out group ini sudah terlihat
sejak kanak-kanak ( Billig & tajfel,1993 ) dan mudah sekali terbentuk
begitu ada pengelompokan tertentu.Dalam permainan pramuka, pelatihan dan pertandingan sepak bola antar
RT, sering kali orang-orang yang tadinya
berteman menjadi bermusuhan selama mereka berperan sebagai anggota kelompok.
Sebaliknya,
perasaan in group-out group ini bisa
mengatasi prasangka lainnya.
Tjun
(1990) menemukan bahwa di kalangan siswa pribumi dan non-pribumi nilai stereotip terhadap in
group selalu lebih positif dari pada out
group, sedangkan Hastuti
(1981)
menemukan bahwa karyawan pribumi yang
berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non pribumi bersikap lebih
positif terhadap non-pribumi dari pada pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi mayoritas.
3) Konformitas
Prasangka
dapat timbul dari usia anak-anak melalui proses belajar sosial. Anak yang
berusia kurang dari 5 tahun lebih cepat menyerap prasangka dari pada anak-anak
berumur 8-9 tahun (Baron & Byrne,1994,Aboud,1993). Proses belajar ini
merupakan bagian dari proses konformitas individu terhadap lingkungannya.
4) Dukungan Institusional
Dalam
kasus realisme cina di indonesia, baik pemerintah Belanda maupun pemerintah
indonesia mengeluarkan berbagai peraturan yang pada dasarnya mendiskriminasikan kedua
kelompok etnik. Di Rwanda, pemerintah Belgia mengukuhkan kekuasaan Raja Tutsi
untuk memerintah suku Hutu yang mayoritas. Dalam berbagai agama, laki-laki
secara sah mempunyai hak lebih dari pada wanita ( Laki-laki dapat menjadi imam,
pendeta, statusnya sebagai kepala keluarga, mendapat hak waris lebih besar dan
sebagainya.Sedangkan wanita tidak). Di televisi, film-film kekerasan, dan seks
seakan membenarkan berbagai prasangka tentang kekerasan dan seks. Semua ini
menunjukan bahwa prasangka dapat di timbulkan dan di dukung oleh berbagai
institusi yang ada dalam masyarakat.
5). Konflik
antarkelompok
Dalam
situasi-situasi dimana kelompok-kelompok harus bersaing karena terbatasnya
sumber dapat menimbulkan prasangka antarkelompok.
b.
Dinamika Kepribadian
1) Teori
Frustasi-Agresi atau teori ‘’kambing-hitam”
Jika
seseorang mengalami frustasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak
dapat mengatasi sumber penyebab dari frustasi itu, orang akan mencari
kambing-hitam untuk dijadikan frustasi itu, orang akan mencari kambing-hitam
untuk dijadikan sasaran prasangka dan agresinya. Inilah sebabnya mengapa Lynching dalam penelitian Hovland &
Sears (1940) lebih banyak terjadi di daerah miskin dari pada daerah yang kaya.
2) Kebutuhan
akan status dan merasa memiliki kelompok (sense of belonging)
Faktor
penyebab yang satu ini ada kaitannya dengan perasaan in group-out group. Hitler dan Bung Karno sama-sama menciptakan
musuh bersama (out group) untuk menggalang rasa saling memiliki antara
sesama orang jerman dan bangsa Indonesia (in group).
Bahkan,
menurut Harik (1996) anggota-anggota bawahan kelompok militan Hisbullah di
Palestina mempunyai kadar keagamaan dan aliansi politik yang rendah. Mereka
menjadi militan sekadar setia kawan dan merasa sebagai orang Hisbullah. Pimpinan merekalah yang
ekstrem.
3) Kepribadian otoriter
Adorno,
dkk. (1950) melaporkan bahwa dari survei mereka terhadap orang-orang Amerika
dewasa pada tahun 1990 ternyata prasangka dan sikap bermusuhan terhadap orang
Yahudi selalu bersamaan dengan prasangka dan permusuhan terhadap golongan
minoritas lain. Dengan kata lain, orang yang mempunyai prasangka akan
berprasangka kepada semua golongan, sementara orang yang tidak berprasangka
tidak mempunyainya sama sekali berarti bahwa prasangka lebih disebabkan oleh
kepribadian, bukan oleh sikap.
4) Faktor
Kognitif
Seperti
sudah dikemukakan diatas, sebagaimana halnya dengan sikap, prasangka dapat
bersumber pada skema atau kategorisasi kognitif seseorang.
Demikian
pula prasangka dapat timbul karena adanya rangsang yang secara mencolok sangat
berbeda dari lingkungannya. Misalnya, orang Eropa di tengah penduduk desa di
Jawa Tengah akan menimbulkan berbagai prasangka karena bentuk fisiknya yang
lain dari pada yang lain sehingga segera menimbulkan disonansi kognitif. Dalam hubungan
ini terjadi proses generalisasi.
Dalam
masalah terorisme, misalnya, karena pengalaman beberapa kali menunjukan bahwa
teoritas adalah orang islam dan Arab, Islam dan Arab dianggap sebagai teoritas.
Bahkan, di Amerika Serikat ternyata orang kulit putih berpendapat bahwa jumlah
orang kulit hitam di negara itu adalah 325% dan orang Hispanic berjumlah 21%.
Padahal, yang benar adalah bahwa kulit hitam berjumlah 12% dan Hispanic
berjumlah 9% saja dari populasi (Gallup pol, 1990).[5]
Akhirnya,
kejadian-kejadian yang luar biasa yang kebetulan terjadi bersamaan, juga dapat
memicu prasangka karena terjadi proses
menghubungkan antarelemen kognitif.
5.
Ciri
Pribadi Orang Berprasangka Sosial
Perkembangan prasangka sosial dapat
disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula
beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya
prasangka sosial padanya. Menurut beberapa penelitian psikologi, terdapat
beberapa ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya,
antara lain pada orang-orang yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan
dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk
khayalan-khayalan yang agresif, dll.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991)
dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social
categorization). Kategori sosial
adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial
menjadi 2 kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok
mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu
merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kita”). Sedangkan out group
adalah grup diluar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari
perasaan in group dan out group yang menguat.
Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan
penguatan perasaan in group dan out group adalah :
a. Proses
generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain.
Menurut
Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seseorang individu dari kelompok luar
berbuat negatif,
maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika
ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan
negatif tersebut tidak akan
digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.
b. Kompetisi
sosial
Kompetisi
sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk
meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok
lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik dari kelompok lain.
c. Penilaian
ekstrim terhadap anggota kelompok lain
Individu
melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif
ataupun negatif
secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.
d. Pengaruh
persepsi selektif dan ingatan masa lalu
Pengaruh
persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe.
Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok
individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang
dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide
mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku
dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi.
Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotip yang relevan dengan
individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.
e. Perasaan
frustasi (scope goating).
Menurut
Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi
seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya
menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu
dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan
frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan
yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah
berprasangka.
f. Agresi
antar kelompok.
Agresi
biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan
seseorang cenderung berprilaku agresif.
g. Dogmatisme
Dogmatisme
adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah
tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat
berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau
kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya.
Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang
menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling
bermoral.[6]
6.
Kaitan
Prasangka dengan Frustasi dan Agresi
Prasangka sosial dapat menjelma keberbagai bentuk
tindakan-tindakan diskriminatif dan agresif terhadap individu atau golongan.
Dalam penggolongannya para ahli prsikologi menejelaskannya dengan sebuah teori
yang disebut teori Frustasi yang menimbulkan
agresi. Orang akan mengalami frustasi apabila maksud-maksud dan
keinginan-keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau
kegagalan, akibatnya akan timbul perasaan jengkel atau agresif, perasaan ini
kadang-kadang dapat disalurkan kepada perasaan yang positif tetapi terkadang
perasaan itu seringkali meluap-luap dan mencari outlet-nya, jalan
keluarnya sampai puas perasaan agresif itu dengan tindakan yang agresif pula.
Ketika individu mengalami frustasi yang ingin dipuaskan secara agresif, ia
mungkin akan menendang kursi atau memukul apa yaang ada disekitarnya. Selain
itu sikap agresi ini akan mudah dilampiaskan kepada golongan-golongan lain yang
diprasangkainya akan diserang dengan lebih agresif atau pun sebaliknya, teori
ini disebut dengan teori scape-goatism
atau teori mencari kambing hitam.[7]
Jadi prasangka itu yang merupakan
sikap perasaan terhadap golongan ataupun pihak tertentu akan mempengaruhi
pandangan seseorang terhadap individu ataupun golongan lain yang nantinya akan
melahirkan sikap-sikap seperti frustasi dan melahirkan agresi, frustasi dan
agresi ini adalah suatu sikap yang timbul sebagai akibat dari prasangka.
7.
Cara
Mengatasi Prasangka
Upaya-upaya
memerangi prasangka sosial antar golongan itu kiranya jelas harus dimulai pada
pendidikan anak-anak di rumah dan di
sekolah oleh orang tua dan gurunya.
Sementara
itu, sebaiknya dihindarkan pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan
prasangka-prasangka sosial tersebut dan ajaran-ajaran yang sudah berprasangka
sosial.
Akan
tetapi, demikian juga informasi –informasi melalui media massa berperan besar,
terutama informasi yang memberikan
pengertian dan kesadaran mengenai sebab-sebab terjadinya, dipertahankannya, dan
mengenai kerugian prasangka sosial bagi masyarakat secara keseluruhan dan bagi
para anggotanya.[8]
Selain
itu, puluhan eksperimen dengan kelompok
kecil telah menyatakan bahwa interaksi antargolongan yang cukup intensif mampu
sekali melenyapkan stereotip
dan prasangka sosial antargolongan itu.
[1] Alex Sobur, Psikologi
Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 387, 388
[4] Alex Sobur, Psikologi
Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 390,391
[5]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial (Individu dan
Teori-Teori Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.282-289
Komentar
Posting Komentar