Motif dan Sikap
A.
Motif
1.
Pengertian
Motif
Baik hewan maupun manusia merupakan makhluk yang hidup, makhluk
yang berkembang, makhluk yang aktif. Hewan dan manusia dalam berbuat atau
bertindak terikat oleh faktor-faktor yang terdapat dalam diri organisme
yang bersangkutan. Oleh karena itu baik hewan maupun manusia dalam bertindak
selain ditentukan oleh faktor luar juga ditentukan oleh faktor dalam, yaitu berupa
kekuatan yang datang dari organisme yang bersangkutan yang menjadi pendorong
dalam tindakannya. Dorongan yang datang dari dalam untuk berbuat itu yang
dinamakan motif. Motif berasal dari bahasa Latin movere yang berarti
bergerak atau to move (Branca, 1964). Karena itu motif diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat atau
merupakan drive force.[1]
Pada dasarnya, motif merupakan pengertian yang melingkupi
penggerak. Alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusialah yang
menyebabkan manusia itu berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada
hakikatnya mempunyai motif. Juga tingkah laku yang disebut tingkah laku secara
fefleks dan yang berlangsung secara otomatis mempunyai maksud tertentu meskipun
maksud itu tidak disadari oleh manusia. Motif manusia bisa bekerja secara sadar
dan juga secara tidak sadar. Untuk mengerti dan memahami tingkah laku manusia
dengan lebih sempurna, patutlah kita pahami dan mengerti terlebih dahulu apa
dan bagaimana motif-motifnya dari pada tingkah lakunya.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian mengenai motif. Sherif
& Sherif (1956), misalnya menyebut motif sebagai suatu istilah generik yang
meliputi semua faktor internal yang mengarah pada berbagai jenis perilaku yang
bertujuan, semua pengaruh internal , seperti kebutuhan (needs) yang
berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi dan
selera sosial, yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut. Giddens (1991:64)
mengartikan motif sebagai inpuls atau dorongan yang memberi energi pada
tindakan manusia sepanjang lintasan kognitif/perilaku kearah pemuasan
kebutuhan. Menurut Giddens, motif tak harus dipersepsikan secara sadar. Ia
lebih merupakan suatu “keadaan perasaan”. Secara singkat, Nasution menjelaskan
bahwa motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu.
R.S. Woodworth mengartikan motif sebagai suatu set yang dapat atau
mudah menyebabkan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu (berbuat sesuatu) dan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
Jadi, motif itu adalah
tujuan. Tujuan ini disebut insentif (incentive). Adapun insentif bisa
diartikan sebagai suatu tujuan yang menjadi arah suatu kegiatan yang bermotif.
Secara etimologis, motif atau dalam bahasa inggrisnya motive,
berasal dari kata motion, yang berarti “gerakan” atau “sesuatu yang bergerak”.
Jadi istilah “motif” erat berkaitan dengan “gerak”, yakni gerakan yang dilakukan oleh manusia, atau disebut juga
dengan perbuatan atau tingkah. Motif dalam psikologi berarti ransangan,
dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.
Selain motif, dalam psikologi dikenal pula istilah motivasi.
Sebenarnya motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada
seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul
dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkannnya, dan tujuan atau akhir
dari gerakan atau perbuatan. Karena itu, bisa juga dikatakan bahwa motivasi
berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau menggerakkan
seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu
kepuasan atau tujuan.[2]
2.
Bentuk-bentuk
Motif
Dalam masalah motif terdapat ada bermacam-macam motif, namun
ternyata pendapat ahli yang satu dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain.
Disamping itu ada ahli yang menekankan pada sesuatu macam motif, tetapi juga
ahli yang menekankan pada macam motif yang lain. Namun demikian para ahli pada
umumnya sependapat bahwa ada motif yang berkaitan dengan kelangsungan hidup
organisme, yaitu yang disebut sebagai motif biologis (Gerungan, 1965) atau
sebagai kebutuhan fisiologis (Maslow, 1970)
1.
Motif
fisiologis
Dorongan atau motif fisiologis pada umumnya berakar pada keadaan
jasmani, misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan seksual,
dorongan untuk mendapatkan udara segar. Dorongan-dorongan tersebut adalah
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai
makhluk hidup. Karena itu motif ini juga sering disebut sebagai motif dasar (basic
motives) atau motif primer (primary motives), juga da motif yang
dipelajari.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif itu timbul apabila
adanya kebutuhan yang diperlukan. Apabila ada kebutuhan, maka hal ini memicu
organisme untuk bertindak atau berperilaku untuk memperoleh kebutuhan yang
diperlukan.
2.
Motif
sosial
Motif sosial merupakan motif yang kompleks, dan merupakan sumber
dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Dikatakan sosial karena motif ini
dipelajari dalam kelompok sosial (sosial group), walaupun menurut kunkel
dalam diri manusia adanya dorongan alami untuk untuk mengadakan kontak dengan
orang lain.karena motif ini dipelajari, maka kemapuan untuk berhubungan dengan
orang lain satu dengan yang lain itu dapat berbeda-beda. Berkaitan dengan hal
tersebut diatas, maka memahami motif sosial adalah merupakan yang penting untuk
mendapatkan gambaran tentang perilaku individu kelompok. McCelland berpendapat
bahwa motif sosial itu dapat dibedakan dalam :
a.
Kebutuhan
akan berprestasi
Kebutuhan akan berprestasi
merupakan salah satu motif sosial yang dipelajari secara mendetail dan hal ini
dapat diikuti sampai pada waktu ini. Orang yang mempunyai kebutuhan atau need
ini akan meningkatkan peformance, sehingga dengan demikian akan
terlihat tentang kemampuan berprestasinya.
b.
Kebutuhan
untuk berafiliasi dengan orang lain
Afiliasi menunjukan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan berhubungan
dengan orang lain. Penggunaan alat seperti halnya dalam mengungkapkan n-achievement,
maka dalam mengungkap kebutuhan afiliasi ini peneliti juga akan dapat
memberikan gambaran tentang besar kecilnya, atau kuat atau tidaknya seseorang
dalam kaitannya dengan kebutuhan akan afiliasi ini. Orang yang kuat akan
kebutuhan afiliasi, akan selalu mencari teman, dan juga akan mempertahankan
hubungan yang telah dibina dengan orang lain tersebut. Sebaliknya apabila
kebutuhan akan afiliasi ini rendah, maka orang akan segan mencari hubungan
dengan oranglain, dan hubungan yang telah terjadi tidak dibina secara baik agar
tetap dapat bertahan.
c.
Kebuthan
akan kekuasaan
Kebutuhan akan power ini timbul dan berkembang dalam
interaksi sosial. Dalam interaksi sosial orang akan mempunyai kebutuhan untuk
berkuasa (power). Kebutuhan akan kekuasaan ini bervariasi dalam
kekuatannya dan dapat diungkapkan dengan teknik proyeksi. Orang yang mempunyai
(power need) tinggi akan mengadakan kontrol, mengendalikan atau
memerintah orang lain, dan ini merupakan salah satu indikasi atau salah satu
manifestasi dari power need tersebut.
3.
Teori
kebutuhan dari Murray
Murray
mengemukakan suatu daftar dari dua puluh kebutuhan yang pada umumnya mendorong
manusia untuk bertindak atau berperilaku. Daftar yang berisi kebutuhan-kebutuhan tersebut
sangat bervariasi, diantaranya
mengandung kebutuhan yang berlawanan satu dengan yang lain, misalnya
kebutuhan akan nurturance, yaitu kebutuhan untuk memberikan care, untuk
memberikan asuhan, dan kebutuhan succorance (n-succorance), yaitu
kebutuhan untuk menerima asuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan Marry
atau juga disebut motif-motif adalah sebagai berikut, merendah atau merendahkan
diri (abasement), berprestasi (achievement), afiliasi (afiliation),
agresi, otonomi, counteraction, pertahanan, hormat, dominasi, pamer,
penolakan perusakan, infavoidance, memberi bantuan, teratur, bermain,
menolak, seintence, bantuan atau pertolongan dan mengerti. Kedua puluh
motif atau kebutuhan tersebut berkaitan dengan motif sosial.
4.
Motif
Eksplorasi
Pembicaraan
mengenai motif belumlah tuntas apabila
belum mengemukakan tentang ketiga motif ini, khususnya menyangkut manusia.
Ketiga macam motif itu adalah (1) motif untuk mengadakan eksplorasi terhadap
lingkungan (2) motif untuk menguasi tantangan yang ada dalam lingkungan dan
menanganinya secara efektif, dan (3) motif untuk aktualiasasi diri, yang
berkaitan sampai seberapa jauh seseorang dapat bertindak atau berbuat untuk
mengaktualisasikan dirinya seperti yang dikemukakan oleh maslow.[3]
3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Motifasi
Motivasi
sebagai proses batin atau proses psikologis dalam diri seseorang, sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Faktor Ekstern
·
Lingkungan kerja
·
Pemimpin dan kepemimpinannya
·
Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas
·
Dorongan atau bimbingan atasan
2. Faktor Intern
·
Pembawaan individu
·
Tingkat pendidikan
·
Pengalaman masa lampau
·
Keinginan atau harapan masa depan.
Sumber lain mengungkapkan,
bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu rangkaian interaksi antar
berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud meliputi :
·
Individu dengan segala unsur-unsurnya : kemampuan dan ketrampilan,
kebiasaan, sikap dan sistem nilai yang dianut, pengalaman traumatis, latar
belakang kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.
·
Situasi dimana individu
bekerja akan menimbulkan berbagai rangsangan: persepsi individu terhadap kerja,
harapan dan cita-cita dalam kerja itu sendiri, persepsi bagaimana kecakapannya
terhadap kerja, kemungkinan timbulnya perasaan cemas, perasaan bahagia yang
disebabkan oleh pekerjaan.
·
Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing individu
terhadap pelaksanaan pekerjaannya.
·
Pengaruh yang datang
dari berbagai pihak : pengaruh dari sesama rekan, kehidupan kelompok maupun
tuntutan atau keinginan kepentingan keluarga, pengaruh dari berbagai hubungan
di luar pekerjaan
·
Reaksi
yang timbul terhadap pengaruh individu
·
Perilaku
atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu
·
Timbulnya
persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita dan tujuan
B.
Sikap
1.
Pengertian
sikap
Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan
psikologi sosial. Bahkan ada sementara ahli yang berpendapat bahwa psikologi
sosial menempatkan maasalah sikap sebagai problem sentralnya. Seperti yang
dikemukakan oleh Krech dan Crutchfield (1954: 151):
“as we have already indicated, attitudes lie behind many of the
significani and dramatic instances of man’s behavior. It is for this reason
that psychologists regard the study of attitudes as the central problem of
social psychology.
Pendapat tersebut kiranya cukup beralasan bila dilihat dari segi
pentingnya masalah sikap dikaitkan dengan perilaku atau perbuatan manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna atau
corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui
sikap seseorang orang dapat menduga bagaimana respons atau perilaku yang akan
diambil oleh orang yang bersangkutan, terhadap sesuatu masalah atau keadaan
yang dihadapkan kepadanya. Jadi dengan mengetahui sikap seseorang, orang akan
mendapatkan gambaran kemungkinan perilaku yang timbul dari orang yang
bersangkutan. Bagaimana hubungan sikap dengan perilaku akan dipaparkan dibagian
belakang.[4]
Istilah sikap yang dalam bahasa inggris disebut “attitude” pertama
kali digunakan oleh Herbert Spencer (1862), yang menggunakan kata ini untuk
menunjuk suatu status mental seseorang. Kemudian pada tahun 1888 lange
menggunakan konsep ini dalam suatu eksperimen laboratorium. Kemudian konsep
sikap secara populer digunakan oleh para ahli psikologi, perhatian terhadap sikap berakar pada alasan
perbedaan individual. Mengapa individu yang berbeda memperlihatkan tingkah laku
yang berbeda dalam didalam situasi yang sebagian besar gejala ini diterangkan
oleh adanya perbedaan sikap. Sedang bagi para ahli sosiologi sikap memiliki arti
yang lebih besar untuk menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan.
Menurut L.L. Thurstone (1946), sikap sebagai tingkatan
kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek
psikologi. Obyek psikologi disini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang,
lembaga, ide dan sebagainya.
Zimbardo dan Ebbesen mengartikan sikap suatu predisposisi (keadaan
mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi
komponen-komponen cognitive, effective, dan behavior.
D.Krech and RS.
Crutchfield, sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi, persepsi atau pengamatan
atas suatu aspek dari kehidupan individu.
John H. Harvey dan
William P. Smith, sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam
bentu positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
Menurut Gerungan
pengertian attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek
tertentu, yang dapat merupakan sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi
sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap
terhadap obyek tadi itu. Jadi attitude itu lebih diterjemahkan sebagai
sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.[5]
Sedangkan Warren
(1931) dan juga Cantril (1931) merumuskan sikap sebagai disposisi atau
prodisposisi untuk bereaksi; Baldwin (1905) dan juga Allport (1975) merumuskan
sebagai kesiapan; sedangkan Allport menyebut sebagai berfungsinya disposisi.[6]
Dari berbagai
defenisi diatas dapat dismpulkan bahwa sikap merupakan kencnderungan bertindak,
berfikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau
nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecenderungan untu
berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa
orang, benda, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Dengan demikian, pada
kenyataannya, tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri.
2.
Sikap
dan perilaku
Pengkajian antara sikap dan perilaku telah banyak dilakukan oleh
ahli-ahli ilmu sosial. Apakah sikap itu mengungkapkan hal yang berhubungan
dengan perilaku ? pertanyaan ini telah menjadi pokok pembahasan dalam suatu
perdebatab yang berkelanjutan didalam ilmu-ilmu sosial selama seratus tahun
lalu.
Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap
yang ada pada orang yang bersangkutan.
Namun demikian tidak semua ahli menerima pendapat bahwa perilaku itu dilatar
belakangi oleh sikap yang ada pada diri orang yang bersangkutan.
Menurut Meyrs (1983) sampai sekitar tahun 1960 para ahli memandang
bahwa adanya kaitan antara sikap dengan perilaku. Seperti apa yang Krech dan
Cruthfield (1954) diatas dengan jelas menyatakan hal tersebut. Tetap pada
sekitar tahun 1964 dengan penelitian Leon Festinger pandangan diatas mengalami
perubahan yang sangat berati, seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa
perilaku seseorang tidak dilatar belakangi oleh sikap yang ada pada orang yang
bersangkutan. Ini berarti bahwa asumsi bila sikap berubah, akan mengubah
perilaku tidak berperilaku lagi. namun
demikian menurut Meyrs (1983) pendapat Festinger tersebut merupakan
antitesa terhadap pada pendapat Hegel, yaitu adanya tesa, antitesa, maka ada
pula sintesanya, dan ini yang diambil langkah oleh Meyrs. Meyrs (1983)
berpendapat bahwa perilaku itu merupakan
bahwa sesuatu yang akan kena banyak pengaruh dari lingkungan. Demikian
pula sikap yang diekspresikan juga merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh
keadaan sekitarnya. Sedangkan expressed attutudes adalah merupakaan
perilaku. Orang tidak dapat mengukur sikap secara langsung, maka yang diukur
adalah sikap yang menampak, dan sikap yang menampak adalah juga perilaku.
Karena itu bila orang menetralisir pengaruh terhadap perilaku, maka denga jelas
bahwa sikap mempunyai kaitan dengan
perilaku. Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu
dengan yang lain. Dengan demikian dapat ditarik pendapat bahwa pada dasarnya
pendapat Meyrs cenderung adanya kaitan antara sikap dengan perilaku, sikap
dengan perilaku saling berpengaruh satu dengan yang lainnya.[7]
Warner & DeFleur (1069, dalam Azwar, 1995) mengmukakan tiga
postulat untuk mengidentifikasi tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan
perilaku, yaitu: postulate of consistency, postulate of independent
variation, dan postulate of contingent consistency. Penjelasan mengenai postulat tersebut adalah sebagai berikut :
a.
postulat
konsitensi (postulate os consistency)
postulat
konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat
untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada
suatu objek sikap.
Jadi, postulat ini mengansumsikan adanya
hubungan langsung antara sikap dan perilaku. Bukti yang mendukung postulat
konsistensi dapat terlihat pada pola perilaku individu yang memiliki sikap
ekstrem. Hal ini terjadi karena individu yang memiliki sikap ekstrem cenderung
untuk berperilaku yang didominasi keekstreman sikapnya itu; sedangkan mereka
yang sikapnya lebih moderat akan berperilaku didominasi oleh faktor-faktor
lain.
b.
postulat
variasi independent (postulate of independent variation)
postulat
variasi independent mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa
sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan
dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda.
Mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku. Dukungan yang jelas pada postulat ini adalah hasil studi klasik yang
sangat terkenal yang dilakukan oleh LaPierre (1934).
Penelitian ini mengilustrasikan bahwa
perilaku ditentukan oleh banyak faktor selain sikap, dan faktor-faktor lain itu
mempengaruhi konsistensi sikap-perilaku. Salah satu faktor yang jelas adalah
tingkat kendala dalam situasi; kita seringkali bertindak dengan cara yang tidak
konsisten dengan apa yang kita rasakan dan yakini.
c.
postulat
konsistensi tergantung (postulate of contingent consistency)
postulat
konsistensi tergantung menyatkan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat
ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan,
keanggotaan kelompok, kebudayaan dan sebagainya, merupakan kondisi
ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena
itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap, akan berbeda
dari waktu kewaktu dan dari satu situasi kesituasi lainnya.
Tampaknya, postulat terakhir ini merupakan
postulat yang masuk akal dan paling
berguna dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilku (Allen, Guy, & Edgley,
1980 dalam Azwa, 1955).[8]
3.
Bentuk-bentuk
sikap
1)
Sikap
sosial
Sikap sosial dinyatakan
tidak oleh seorang saja tetapi diperhatikan oleh orang-orang sekelompoknya.
Obyeknya
adalah obyek sosial (obyeknya banyak orang dalam kelompok) dan dinyatakan
berulang-ulang.
Misalnya
: sikap berkabung seluruh anggota kelompok karena meninggalkannya seorang
pahlawannya.
Jadi
yang menandai sikap sosial adalah :
a.
Subyek
: orang-orang dalam kelompoknya.
b.
Obyek
: obyeknya sekelompok, obyeknya sosial.
c.
Dinyatakan
berulang-ulang.
2)
Sikap
individual
Ini hanya dimiliki secara individual seorang demi seorang. Obyeknya
pun bukan merupakan obyek sosial. Misalnya : sikap yang berupa kesenangan atas
salah satu jenis makanan atau salah satu jenis tumbuh-tumbuhan. Individu sangat
senang terhadap rujak cingur. Senang yang bersiafat individual. Mungkin
orang-orang lain meskipun dalam kelompoknya belum tentu senang akan rujak
cingur. Obyeknya bukan obyek sosial.
Disamping pembagian sikap atas sosial dan individual sikap dapat
pula dibedakan atas :
1.
Sikap
positif
Sikap
yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta
melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.
2.
Sikap
negatif
Sikap
yang menunjukan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap
norma-norma yang berlaku dimana individu
itu berada.
Sikap positif/negatif itu
tentu saja berhubungan dengan norma. Orang tidak akan tahu apakah sikap
seseorang itu positif atau negatif tanpa mengetahui norma yang berlaku.[9]
4.
Ciri-ciri
sikap
Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya
dengan perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapatlah
dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor
internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut :
1.
Sikap
itu dipelajari (learnability)
Siakp
merupakan hasil belajar. Ini perlu dibedakan dari motif-motif psikologi
lainnya. Misalnya: lapar, haus, adalah motif psikologis yang tida dipelajari,
sedangkan pilihan kepada lapangan eropa adalah sikap.
Beberapa
sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu.
Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu
mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri),
membantu tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya
perseorangan.
2.
Memiliki
kestabilan (stability)
Siakp
bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap stabil, melalui
pengalaman. Misalnya : perasaan like dan dislike terhadap warna tertentu(spesifik)
yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi.
3.
Personal-sicietal
significance
Sikap
melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan
barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa oranglain menyenangkan,
terbuka serta hangat, maka ini akan sangat berarti bagi dirinya, ia merasa
bebas dan favorable.
4.
Berisi
kognisi dan affeksi
Komponen
cognisi dari pada sikap adalah berisi informasi yang Faktual, misalnya : obyek
itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
5.
Approach-avoidance
directionality
Bila
seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu obyek, mereka akan
mendekati atau membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang
unfavorable, mereka akan menghindarinya.[10]
Adapun
pendapat lain yang menjelaskan tentang ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut :
1) Sikap itu tidak dibawa sejak lahir, ini berarti bahwa manusia pada waktu
dilahirkan belum membawa sikap-sikap tertentu terhadap seseuatu objek; 2) sikap
itu selalu berhubungan dengan objek sikap, oleh karena itu sikap selalu terbentuk
atau dipelajari dalam hubungannnya dengan objek-objek tertentu, yaitu
melalui proses persepsi terhadap objek
tersebut; 3) sikap dapat tertuju pada satu objek saja, taapi juga dapat tertuju
pada sekumpulan objek-objek; 4) sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar;
5) sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.[11]
5.
Pembentukan
dan perubahan sikap
Sikap timbul karena adanya stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu
banyak dipengaruhi oleh perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan
misalnya : keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Dalam hal ini
keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap putra-putranya.
Sebab keluargalah sebagai kelompok
primer bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Siakp seseorang tidak
selamanya tetap. Ia dapat berkembang manakala mendapat pengaruh, baik dari
dalam maupun dari luar yang bersiafat positif dan mengesankan. Antara perbuatan
dan sikap ada hubungan yang timbal
balik. Tetapi sikap tidak selalu menjelma dalam bentuk perbuatan atau tingkah
laku. Orang kadang-kadang menampakan diri dalam keadaan “diam” saja.
Ini bukan berarti orang tidak bersikap. Ia bersiakap juga hanya
bentuknya : diam. Misalnya : seorang ayah sedang enak-enak membaca koran.
Tiba-tiba datang putera laki-lakinya yang berumur lima tahun sambil menangis
melaporkan bahwa ia habis berkelahi denag temannya. Melihat hal semacam ini
ayah hanya “diam saja” hal ini tida berarti bahwa ayah tidak bersikap. Ayah itu
telah bersikap, hanya perwujudan sikapnya diam. Memang dalam kasus ini ada
dua kemungkinan :
1.
Ayah
itu diam-diam dengan alasan kalau buru-buru anak itu dilerai, akan menimbulkan
kebiasaan tidak baik.
2.
Ayah
itu akan cepat-cepat bertindak misalnya menggendong atau membelikan kembang
gula dan sebagainya agar anak tersebut berhenti menangis.
Kedua kemungkinan ini,
keduanya merupakan sikap si ayah, baik yang bertingkah laku maupun yang tidak.
Sikap tumbuh dan
berkembang dalam basis sosial yang tertentu, misalnya : ekonomi, politik, agama
dan sebagainnya. Didalam perkembangannya sikap banya dipengaruhi oleh
lingkungan, norma-norma atau grup. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan sikap
antara individu yang satu dengan yang lain karena perbedaan pengaruh atau
lingkungan yang diterima. Sikap akan terbentuk tanpa interaksi manusia,
terhadap obyek tertentu atau suatu obyek.
Faktor-Faktor yang
menyebabkan perubahan sikap :
1)
Faktor
intern : yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor
ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah
pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar.
Pilihan terhadap pengaruh
dari luar itu biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap didalam diri manusia,
terutama yang menjadi minat dan perhatiannya. Misalnya : orang yang sangat
haus, akan lebih memperhatikan perangsang dapat menghilangkan hausnya itu dari
perangsang-perangsang yang lain.
2)
Faktor
ekstern : yaitu faktor yang terdapat dari luar pribadi manusia. Faktor ini
berupa interaksi sosial diluar kelompok. Misalnya : interaksi antara manusia
yang dengan hasil kebudayaan manusia yang sampai padanya melalui alat-alat
komunikasi seperti : surat kabar, radio, televisi, majalah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini Sherif mengemukakan bahwa sikap itu dapat diubah atau
dibentuk apabila :
a.
Terdapat
hubungan timbal balik yang langsung antara manusia.
b.
Adanya
komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari suatu pihak
Ada tiga hal yang paling penting dalam pembentukan sikap yang
diperhatikan dalam masa adolesen adalah :
a.
Media
massa
b.
Kelompok
sebaya
c.
Kelompok
yang meliputi lembaga sekolah, lembaga keagamaan, organisasi kerja dan sebagai.[12]
6.
Metode
pengukuran atau memahami sikap
Para ahli
psikologi sosial telah berusaha untuk mengukur sikap dengan berbagai cara. Beberapa
bentuk pengukuran sudah mulai dikembangkan sejak diadakannya penelitian sikap
yang pertama yaitu pada tahun 1920. Kepada subyek diminta untuk merespon obyek
sikap dalam berbagai cara.
pada umumnya
digunakan tes psikologi yang berupa sejumlah item yang telah disusun secara
hati-hati, seksama, selektif sesuai dengan kriteria tertentu, tes psikologi ini
kemudian dikembangkan menjadi skala sikap. Dari skala sikap ini diharapkan
mendapat jawaban atas dengan berbagai
cara oleh responden terhadap suatu obyek psikologi. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan pernyataan (item) didalam skala sikap ini, antara
lain :
1.
Hindarkan
pernyataan yang menunjuk kepada masa lampau sebaliknya pada masa sekarang
2.
Hindarkan
pernyataan yang dapat diinterprestasikan dengan lebih dari satu macam
3.
Hindarkan
pernyataan yang tidak relevan dengan obyek psikologi yang akan diungkap.
4.
Hindarkan
pernyataan yang mungkin dibenarkan oleh setiap orang atau sebaliknya tidak
seorangpun
5.
Pilihlah
pernyataan yang telah anda percaya mampu menjangkau skala effeksi
6.
Jagalah
agar penggunaan bahasa dalam pernyataan itu sederhana dan jelas
7.
Pernyataan
diusahakan singkat, pendek, tidak lebih dari duapuluh kata
8.
Satu
pernyataan diusahakan berisi hanya satu masalah yang sifatnya lengkap
9.
Pernyataan
berisi suatu yang sifatnya umum misalnya : semua, selalu, tidak seorangpun
10.
Jika
mungkin, pernyataan disusun dalam kalimat yang sederhana, tidak dalam kalimat
yang kompleks.
11.
Hindarkan
penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh responden
12.
Hindarkan
penggunaan istilah yang double
negatives
Pengukuran sikap secara langsung yang sering digunakan :
1. skala
Thurstone (L.L Thurstone, 1928)
Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
1.
Langkah
pertama thurstone memilih dan mendefenisikan setepat mungkin “sikap” yang akan
diukur.
2.
Kemudian
merumuskan sejumlah pernyataan tentang obyek sikap. Dalam hal ini perlu
diadakan perbaikan serta editing untuk penyempurnaan pernyataan itu. Dalam
proses editing ini Thurstone mengemukakan 5 kriteria, yaitu :
a.
pernyataan harus pendek
b. pernyataan harus merumuskan sedemikian rupa sehingga responden dapat membenarkan atau menolak
c.
pernyataan harus relevan dengan masalahnya.
d.
pernyataan harus tidak mengandung pengertian ganda
e.
pernyataan harus dapat menggambarkan semua kemungkinan secara lengkap suatu
pendapat terhadap masalah
3.
Langkah
Thurstone berikut thurstone membagikan daftar pernyataan itu kepada sejumlah
responden yang secara obyektif dan bebas
akan menyatakan pendapatnya baik positif maupun negatif.
4.
Kemudian,
nilai skala menunjukan tingkat kepositifan atau kenegatifan terhadap obyek,
yang dihitung untuk setiap pernyataan.
2. Skala
Likert (Rensis Likert)
Rensis Likert mengembangkan
suatu skala beberapa tahun setelah Thurstone. Likert juga menggunakan sejumlah
pernyataan untuk mengukur sikap yang mendasar pada rata-rata jawaban. Namun
memiliki perbedaan disana-sini. Likert didalam pernyataannya menggambarkan
pandangan yang ekstrem pada masalahnya. Setelah pernyataan itu dirumuskan,
Likert membagikannya kepada sejumlah responden yang akan diteliti. Kepada
responden diminta untu menunjukan tingkatan dimana mereka setuju atau tidak
setuju pada setiap pernyatan dengan 5 (lima) pilihan skala : sangat setuju,
setuju, netral, tidak setuju, sangat tidak setuju. Salah satu pernyataan untuk
mengukur sikap terhadap kulit hitam berbunyi : “saya tidak akan pernah kawin
dengan orang kulit hitam”
Demikianlah, score 5 diberikan kepada yang menjawab sangat setuju,
score 1 diberikan kepada yang sangat tidak setuju. Dengan cara ini setiap
pernyataan memberikan nilai skala dari 1 sampai 5. Pernyataan semacam ini
dimaksudkan untuk menghilangkan pernyataan yang terasa membosankan atau
diinterprestasikan dengan lebih dari satu macam.
Pernyataan
seperti : “inteligensi secara historis tak dapat dielakan” mula-mula kelihatan
sepintas lalu sebagai pernyataan yang sederhana. Tetapi sebenarnya tidak sebab
agak sulit ditafsirkan, atau mengandung lebih dari 1 (satu) penafsiran. Mungkin
juga kata-kata itu terasa asing. Likert menghendaki konsistensi atau keajegan
dalam pernyataan-pernyataan.
Skala Likert sangat populer saat ini karena skala ini termasuk
mudah dalam penyusunannya. Sudah banyak peneliti yang telah mempergunakan akan
menyempurnakannya.
3. skala Bordagus
Emery Bordagus pada tahun 1925 menemukan suatu skala yang disebut
skala jarak sosial (social distance Scale) yang secara kuntatif mengukur
tingkatan jarak seseorang yang diharapkan untuk memelihara hubungan orang
dengan kelompok-kelompok lain. Dengan skala bordagus responden diminta untuk
mengisi atau menjawab pernyataan satu atau semua dari 7 pernyataan untuk
melihat jarak sosial terhadap kelompok etnik group lainnya.
4. skala perbedaan semantik (the simantic differnt scale)
Skala ini dikembangkan oleh Osgood, Suci dan Tannerbaum (1957) yang
meminta responden untuk menentukan sikapnya terhadap obyek sikap, pada ukuran
yang sangat berbeda dengan ukuran yang terdahulu. Responden diminta untuk
menentukan suatu ukuran skala yang bersifat berlawanan yaitu positif atau
negatif, yaitu : baik-buruk, aktif-pasif, bijaksana-bodoh, dan sebagainya.
Skala ini terbagi atas tujuh ukuran, dan angka 4 akan menunjukan ukuran yang
secara relatif netral. Score sikap dari individu diperoleh dengan mentallies
semua jawaban. Score yang lebih tinggi berarti lebih positif sikapnya terhadap
obyek, orang atau masalah lain yang ditanyakan.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.1991. psikologi sosial.Jakarta : PT Rineka Cipta
Sobur , Alex.2003. Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah.Bandung:
Pustaka Setia
Walgito, Bimo Walgito.2003. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta:
Penerbit Andi
Walgito.2002.Psikologi Sosial, Yogyakarta : Penerbit Andi
[1] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2003), h. 220
[2] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2003),h. 267-268
[3] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2003), h.224-232
[4] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002),
hal.
[5] Abu Ahmadi, psikologi sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta,
1991), h.161-164
[6] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2003),h. 355
[7] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002),
hal.
[8] Alex Sobur, Psikologi Umum
Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003),h. 380-381
[9] Abu Ahmadi, psikologi
sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.166-167
[10] Ibid, h. 178-179
[11] Walgito, psikologi sosial, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002),
hal.
[12] Abu Ahmadi, psikologi
sosial, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.170-172
[13] Ibid, h. 182-188
Komentar
Posting Komentar