Minggu, 01 Desember 2013

PROFIL KONSELOR PEKA BUDAYA (LANJUTAN)



A.    Pendahuluan
Konseling lintas budaya adalah hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, oleh karena itu konselor  perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat  pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling lintas budaya.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan memaparkan mengenai perbedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya dan simulasi pendekatan konseling peka budaya.

B.     Perbedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
1.      Konselor peka budaya
Budaya merupakan sesuatu  yang ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut. [1]
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari,  masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan  yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

2.      Konselor bias budaya
Ke dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini di Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut (terutama pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987 dalam Supriadi, 2001). Misalnya, etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias budaya yang dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan klien dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun sosial-budaya), maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan efektif, dan demikian sebaliknya.[2]
Dari penelitian Harrison (Athinson,1985:193) diketahui misalnya bahwa konseli/klien cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily (Rogers, 1983:18-19). Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu memilki dua kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak yang memiliki banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis merupakan identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam kelompok etnis/ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung (Hall & Lindzey, 1970:83-84) disebut “ketidaksadaran kolektif” yang bersifat primordial dan diwariskan dari generasi ke generasi.[3]
Efektivitas proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Triandis (1986) yang dianggap sebagai pelopor psikologi lintas budaya mendekati isu konseling lintas budaya dari segi perbedaan budaya indivdualistik dan kolektif. Budaya individualistik adalah ciri masyarakat Barat, sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah kolektif.

3.      Perbedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
Adapun karakteristik konselor peka budaya sebagai berikut :
a.        Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
b.      Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
c.       Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri Pelayanan Konseling yang Bias Budaya adalah sebagai berikut:
a.       Pelayanan konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan.
b.      Konselor sadar bahwa latar belakang kebudayaan yang dimilikinya.
c.       Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya
d.      Konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi, dapat disimpulkan pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya yaitu konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
4.      Contoh Simulasi Konseling Lintas Budaya
Dul adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang terletak di Kota Batusangkar. Ia baru duduk di semester I. Ia bukanlah penduduk asli kota tersebut. Ayahnya yang berprofesi sebagai karyawan sebuah bank di mutasi ke daerah ini tepat saat kelulusannya dari SMA sehingga ia kemudian melanjutkan kuliah di tempat yang asing baginya ini. Orangtuanya asli Batak. Sejak kecil hingga tamat SMA ia menghabiskan waktunya di Medan. Saat ini, ia telah menjalani proses perkuliahan selama beberapa bulan. Namun, ia masih kesulitan untuk beradaptasi dengan teman-temannya di kampus yang kebanyakan penduduk asli. Kalaupun bukan penduduk asli, mereka umumnya masih berasal dari provinsi Sumatera Barat dengan bahasa dan karakteristik yang hamir sama. Kesulitan beradaptasi membuatnya frustasi. Suatu siang, Dul menyambangi UPTLBK, sebuah unit layanan konseling yang ada di kampus tersebut. Ia ingin mengkonsultasikan kesulitannya tersebut.
Dul (untuk selanjutnya disingkat dengan Ki):assalammu’alaikum buk....
konselor (untuk selanjutnya disingkat dengan Ko): wa’alaikumslalam... (membuka pintu) mari masuk sambil menjabat tangan ki) silahkan duduk..
Ki: ya terimakasih bu, (duduk dikursi yang telah disediakan)
Ko: Namanya siapa?
Ki: Nama saya Dul, Bu.
Ko: Sudah semester berapa, Dul?
Ki: baru semester I, Bu.
Ko: hmm.. masih baru di sini, ya.. ambil  program studi apa, dul
Ki: Iya, bu... Prodi Akhwalul Syakhsiyyah, bu.
Ko: pilihan prodi yang tepat untuk yang mau jadi ahli hukum islam. Oiya.. Ada yang bisa ibu bantu?
Ki: hehheh. Sebenarnya saya mau konseling, bu.
Ko: sebelumnya apakah anda sudah pernah konseling?
Ki: sudah bu, dulu waktu kelas I SMA.
Ko: Hmm sudah lama sekali, ya... apakah anda sudah tau apa itu konseling?
Ki: Sudah, bu.
Ko: Apakah  menurut anda ibu perlu   perlu menjelaskannya lagi ?
 Ki: Tidak usah, bu. Kita langsung konseling saja.
Ko: Baiklah kalau begitu.  Oiyaa sepertinya anda bukan asli minang, ya?
Ki:  hehhehheh. Tepat sekali, bu. Saya bukan penduduk asli sini. Ini juga alasan kenapa saya mengganggu kesibukan ibu siang-siang begini.
Ko: Hmm...  Bagaimana ceritanya?
Ki: Begini bu, saya asli Medan dan baru pindah beberapa bulan lalu ke daerah ini karena ayah saya terkena mutasi dari kantornya. Karena bertepatan dengan kelulusan UN, maka saya  memilih kuliah di sini saja sesuai dengan saran ayah. Namun, hingga saat ini saya masih kesulitan untuk beradaptasi, bu. Dulu, semasa di Medan saya memiliki banyak teman. Namun sekarang, karena lingkungannya yang berbeda saya sulit sekali mendapatkan teman, bu. Sulit sekali rasanya berkomunikasi dengan mereka. dan itu membuat saya frustasi. Saya tidak berbahasa minang. Sedangkan mereka semua jarang sekali   berbahasa Indonesia kecuali saat tampil makalah. Saya kan tidak mengerti bahasa minang, itu membuat saya merasa minder dan sulit untuk beradaptasi di sini, bu.
ko: Anda sudah memahami bagaimana karakteristik orang minang?
Ki: sepengetahuan saya, orang-orang minang itu ramah dan pandai bergaul. Kaum lelaki minang dikenal perantau dan memiliki system kekerabatan matrilineal yang berarti bahwa kaum perempuan memiliki peranan penting. Hanya itu yang saya tahu, bu.
Ko: benar sekali.
Ki: meskipun saya telah memahami karakteristik mereka, saya masih tidak bisa beradaptasi dengan baik, bu.
Ko: nah, sekarang setelah kita memahami karakteristik orang minang, mari kita bandingkan dengan orang medan, dari sisi anda.
Ki: kalau karakteristik orang medan atau batak, ya seperti saya ini lah bu.
Ko: baik.. sebelumnya bagaimana ada mencoba memulai adaptasi dengan teman-teman di kampus?
Ki: ya.. seperti biasalah bu. Orang medan itu senang sekali bergaul.  Ia ramah. Saya mulai sapa kawan-kawan itu, misalkan ketika sudah selesai kuliah. Saya tanya mau pergi kemana mereka, kan saya juga ingin bergabung dengan mereka. kalau mereka ke kantin saya ingin sama-sama dengan mereka.
Ko: bisa anda praktekkan apa yang anda sampaikan pada mereka saat bertanya seperti itu?
Ki: ya.. seperti biasalah bu. Saya bilang, “mau kemana kau”? tapi mereka itu nampak tak senang sama saya. Padahal saya kan cuma tanya mau kemana begitu.
Ko: nah.. itu dia barangkali. Anda perlu tahu  bahwa kata ‘kau’ merupakan panggilan kasar untuk perempuan minang. Panggilan itu ditujukan jika seorang perempuan minang punya niat tidak baik pada perempuan minang lainnya. Seperti ketika para perempuan minang bertengkar, mereka akan menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan kebencian terhadap lawannya. Jika seorang perempuan menggunakan kata tersebut dalam pergaulan sehari-hari maka orang akan langsung menyebutnya sebagai tak beradat, tak pandai bersopan santun, dan lain sebagainya.  Sedang, jika penggunaan kata ‘kau’ diucapkan pada kaum lelaki minang, lebih parah lagi. Panggilan itu hanya khusus untuk perempuan. Seorang lelaki yang dipanggil dengan sebutan kau, harga dirinya akan jauh, betapa ia akan merasa orang lain melecehkannya sama seperti wanita. 
Ki: (terheran-heran) begitu ya bu? Betapa berbeda sekali kedua hal ini bu. Bagi kami yang orang medan penggunaan kata ‘kau’ itu biasa bu. Memang begitulah kami menyapaorang lain. Ternyata hanya dari satu kata, tapi perbedaan yang diciptakan sungguh luar biasa.
Ko: nah, setelah anda mengetahu hal ini, apa yang akan anda lakukan?
Ki: ya.. saya akan mengubah cara bicara saya bu. Mungkin saya akan berpikir dua kali untuk menggunakan kata ‘kau’ di sini, bu.
Ko: hanya itu?
Ki: saya akan berusaha untuk terlebih dahulu memulai berkomunikasi dengan kawan-kawan di sini bu.
Ko: bagus sekali. Ibu apresiasi keinginan anda.
Ki: terimakasih, bu.
Ko: nah, apa masih ada lagi yang anda rasakan?
Ki: cukup, bu. Terimakasih sekali bu, karena ibu sudah bersesia mendengarkan saya.
Ko: sama-sama. Itu sudah tugas ibu.
Ki: baiklah, bu.. kalau begitu saya permisi dulu, bu. Assalammu’alaikum..
Ko: W’alaikumsalam.



C.    Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya yaitu konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.



[1]Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang BK FIP UPI, 2001), hal. 33
[2] Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya,; isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang BK pada FIP Universitas Pendidikan Indonesia, 2001, h. 22-23
[3] Anak Agung Ngurah Adhiputra, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013), h. 8-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar