A.
Pendahuluan
Konseling lintas
budaya adalah hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, oleh karena itu konselor perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai
yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya
dan masyarakat pada umumnya akan membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal Persamaan pandangan
atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan
konseling lintas budaya.
Oleh karena itu dalam
makalah ini penulis akan memaparkan mengenai perbedaan konselor peka budaya
dengan konselor bias budaya dan simulasi pendekatan konseling peka budaya.
B.
Perbedaan
konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
1. Konselor
peka budaya
Budaya merupakan
sesuatu yang ada dalam setiap diri
individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu
konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun
pengertian dari konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari
bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam
proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut. [1]
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya
keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang satu dengan
klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus
sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin
menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari, masalah bisa muncul akibat interaksi individu
dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan
unsur-unsur kebudayan yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya
yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada
di sekitar individu.
2. Konselor
bias budaya
Ke dalam proses konseling, konselor maupun klien
membawa serta karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan,
bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya.
Sejauh ini di Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi
tersebut (terutama pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan
terhadap latar belakang budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk
perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987
dalam Supriadi, 2001). Misalnya, etnik, afiliasi kelompok, keyakinan,
nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal dan
termasuk bias-bias budaya yang dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa
semakin banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan klien
dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun sosial-budaya), maka akan semakin
besar kemungkinan konseling akan berjalan efektif, dan demikian sebaliknya.[2]
Dari penelitian Harrison
(Athinson,1985:193) diketahui misalnya bahwa konseli/klien cenderung lebih
menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam
komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily (Rogers, 1983:18-19).
Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu memilki dua
kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak yang memiliki
banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis merupakan
identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam
kelompok etnis/ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung (Hall &
Lindzey, 1970:83-84) disebut “ketidaksadaran kolektif” yang bersifat primordial
dan diwariskan dari generasi ke generasi.[3]
Efektivitas proses konseling juga
dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait dengan latar belakang
etnik/budaya konselor. Triandis (1986) yang dianggap sebagai pelopor psikologi
lintas budaya mendekati isu konseling lintas budaya dari segi perbedaan budaya
indivdualistik dan kolektif. Budaya individualistik adalah ciri masyarakat
Barat, sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah kolektif.
3. Perbedaan
konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
Adapun karakteristik konselor peka budaya sebagai
berikut :
a. Konselor lintas Budaya sadar
terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang
prilaku manusia
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri
yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga
menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan
dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda
itu sekaligus mempelajarinya.
b. Konselor
lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai
konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan
kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian
terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
c. Konselor
lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian
terhadap lingkungannya
Konselor dalam melaksanakan
tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat
proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan
yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan
praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama
besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri Pelayanan Konseling yang Bias Budaya
adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara
konselor dan klien mempunyai perbedaan.
b. Konselor sadar bahwa latar belakang kebudayaan yang dimilikinya.
c. Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya
d. Konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien
dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi,
dapat disimpulkan pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
yaitu konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok
klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri
dengan kliennya. Konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai
“perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
4.
Contoh Simulasi Konseling Lintas Budaya
Dul adalah seorang
mahasiswa di
sebuah perguruan tinggi yang terletak di Kota Batusangkar. Ia
baru
duduk di semester I. Ia bukanlah penduduk asli kota tersebut.
Ayahnya yang berprofesi sebagai karyawan sebuah bank di mutasi ke daerah ini
tepat saat kelulusannya dari SMA sehingga ia kemudian melanjutkan kuliah di
tempat yang asing baginya ini. Orangtuanya asli Batak. Sejak kecil hingga tamat
SMA ia menghabiskan waktunya di Medan. Saat ini, ia telah menjalani proses
perkuliahan selama beberapa bulan. Namun, ia masih kesulitan untuk beradaptasi
dengan teman-temannya di kampus yang kebanyakan penduduk asli. Kalaupun bukan
penduduk asli, mereka umumnya masih berasal dari provinsi Sumatera Barat dengan
bahasa dan karakteristik yang hamir sama. Kesulitan beradaptasi membuatnya
frustasi. Suatu siang, Dul menyambangi UPTLBK, sebuah unit layanan konseling
yang ada di kampus tersebut. Ia ingin mengkonsultasikan kesulitannya tersebut.
Dul
(untuk selanjutnya disingkat dengan Ki):assalammu’alaikum buk....
konselor (untuk
selanjutnya disingkat dengan Ko): wa’alaikumslalam... (membuka pintu) mari
masuk sambil menjabat tangan ki) silahkan duduk..
Ki: ya
terimakasih bu, (duduk dikursi yang telah disediakan)
Ko: Namanya
siapa?
Ki: Nama saya Dul, Bu.
Ko: Sudah semester berapa, Dul?
Ki: baru semester I, Bu.
Ko: hmm.. masih baru di sini, ya.. ambil program studi apa, dul
Ki: Iya, bu... Prodi Akhwalul Syakhsiyyah, bu.
Ko: pilihan prodi yang tepat untuk yang mau
jadi ahli hukum islam. Oiya.. Ada
yang bisa ibu bantu?
Ki: hehheh. Sebenarnya saya mau konseling, bu.
Ko: sebelumnya apakah anda sudah pernah konseling?
Ki: sudah bu, dulu waktu kelas I SMA.
Ko: Hmm sudah
lama sekali, ya... apakah anda sudah tau apa itu konseling?
Ki: Sudah, bu.
Ko: Apakah menurut anda ibu perlu perlu menjelaskannya lagi ?
Ki: Tidak usah, bu. Kita langsung konseling
saja.
Ko: Baiklah kalau
begitu. Oiyaa sepertinya anda bukan asli minang, ya?
Ki: hehhehheh. Tepat sekali, bu. Saya bukan
penduduk asli sini. Ini juga alasan kenapa saya mengganggu kesibukan ibu
siang-siang begini.
Ko: Hmm... Bagaimana ceritanya?
Ki: Begini bu, saya asli Medan dan baru pindah
beberapa bulan lalu ke daerah ini karena ayah saya terkena mutasi dari
kantornya. Karena bertepatan dengan kelulusan UN, maka saya memilih kuliah di sini saja sesuai dengan
saran ayah. Namun, hingga saat ini saya masih kesulitan untuk beradaptasi, bu.
Dulu, semasa di Medan saya memiliki banyak teman. Namun sekarang, karena
lingkungannya yang berbeda saya sulit sekali mendapatkan teman, bu. Sulit
sekali rasanya berkomunikasi dengan mereka. dan itu membuat saya frustasi. Saya
tidak berbahasa minang. Sedangkan mereka semua jarang sekali berbahasa Indonesia kecuali saat tampil
makalah. Saya kan tidak mengerti bahasa minang, itu membuat saya merasa minder
dan sulit untuk beradaptasi di sini, bu.
ko: Anda sudah memahami bagaimana karakteristik orang minang?
Ki: sepengetahuan saya, orang-orang minang itu ramah dan pandai bergaul.
Kaum lelaki minang dikenal perantau dan memiliki system kekerabatan matrilineal
yang berarti bahwa kaum perempuan memiliki peranan penting. Hanya itu yang saya
tahu, bu.
Ko: benar sekali.
Ki: meskipun saya telah memahami karakteristik mereka, saya masih tidak
bisa beradaptasi dengan baik, bu.
Ko: nah, sekarang setelah kita memahami karakteristik orang minang, mari
kita bandingkan dengan orang medan, dari sisi anda.
Ki: kalau karakteristik orang medan atau batak, ya seperti saya ini lah
bu.
Ko: baik.. sebelumnya bagaimana ada mencoba memulai adaptasi dengan
teman-teman di kampus?
Ki: ya.. seperti biasalah bu. Orang medan itu senang sekali bergaul. Ia ramah. Saya mulai sapa kawan-kawan itu,
misalkan ketika sudah selesai kuliah. Saya tanya mau pergi kemana mereka, kan
saya juga ingin bergabung dengan mereka. kalau mereka ke kantin saya ingin
sama-sama dengan mereka.
Ko: bisa anda praktekkan apa yang anda sampaikan pada mereka saat
bertanya seperti itu?
Ki: ya.. seperti biasalah bu. Saya bilang, “mau kemana kau”? tapi mereka
itu nampak tak senang sama saya. Padahal saya kan cuma tanya mau kemana begitu.
Ko: nah.. itu dia barangkali. Anda perlu tahu bahwa kata ‘kau’ merupakan panggilan kasar
untuk perempuan minang. Panggilan itu ditujukan jika seorang perempuan minang
punya niat tidak baik pada perempuan minang lainnya. Seperti ketika para
perempuan minang bertengkar, mereka akan menggunakan kata tersebut untuk
menunjukkan kebencian terhadap lawannya. Jika seorang perempuan menggunakan
kata tersebut dalam pergaulan sehari-hari maka orang akan langsung menyebutnya
sebagai tak beradat, tak pandai bersopan santun, dan lain sebagainya. Sedang, jika penggunaan kata ‘kau’ diucapkan
pada kaum lelaki minang, lebih parah lagi. Panggilan itu hanya khusus untuk
perempuan. Seorang lelaki yang dipanggil dengan sebutan kau, harga dirinya akan
jauh, betapa ia akan merasa orang lain melecehkannya sama seperti wanita.
Ki: (terheran-heran) begitu ya bu? Betapa berbeda sekali kedua hal ini
bu. Bagi kami yang orang medan penggunaan kata ‘kau’ itu biasa bu. Memang
begitulah kami menyapaorang lain. Ternyata hanya dari satu kata, tapi perbedaan
yang diciptakan sungguh luar biasa.
Ko: nah, setelah anda mengetahu hal ini, apa yang akan anda lakukan?
Ki: ya.. saya akan mengubah cara bicara saya bu. Mungkin saya akan
berpikir dua kali untuk menggunakan kata ‘kau’ di sini, bu.
Ko: hanya itu?
Ki: saya akan berusaha untuk terlebih dahulu memulai berkomunikasi
dengan kawan-kawan di sini bu.
Ko: bagus sekali. Ibu apresiasi keinginan anda.
Ki: terimakasih, bu.
Ko: nah, apa masih ada lagi yang anda rasakan?
Ki: cukup, bu. Terimakasih sekali bu, karena ibu sudah bersesia
mendengarkan saya.
Ko: sama-sama. Itu sudah tugas ibu.
Ki: baiklah, bu.. kalau begitu saya permisi dulu, bu.
Assalammu’alaikum..
Ko: W’alaikumsalam.
C. Kesimpulan
Jadi,
dapat disimpulkan pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
yaitu konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok
klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri
dengan kliennya. Konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai
“perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
[1]Dedi Supriadi, Konseling Lintas
Budaya, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang BK FIP UPI, 2001),
hal. 33
[2] Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya,; isu-isu dan
Relevansinya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang BK
pada FIP Universitas Pendidikan Indonesia, 2001, h. 22-23
[3] Anak Agung Ngurah Adhiputra, Konseling Lintas Budaya,
(Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013), h. 8-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar