Pikiran
Kepalaku bisa
pecah jika aku tak menuliskan satu huruf pun!
Tapi apa yang
akan ditulis?
Banyak sekali. Pikiran
itu seperti gila. Memutar-mutar tak
kunjung mencapai titik jenuh. Aku jenuh tanpa satu hurufpun di sini.
Sudah. Kau tulis
saja. Apapun. Bukankah di kepalamu saat ini ada banyak hal yang ingin kau
tulis?
Aku hanya tak
mampu memulainya.
Kenapa?
Ia berputar-putar
membawaku pada pikiran gila yang entah. Aku hanya ingin menuliskan satu kata
saja. Ah, kepalaku serasa mau pecah.
Pikiran itu mengalir dengan hebatnya. Ia merangkai
cerita sendiri, tanpa henti. Sesekali kulihat bibirnya mengukir senyum. Tapi wajahnya
lebih banyak menerawang penuh ambisi. Ia sendiri. Ia tak merasa ada oranglain
disekitarnya.
Semuanya sepi,
hampa. Dan aku suka sendiri. sendiri membuatku fokus pada cita-cita.
Itu tidak benar.
Sendiri hanya akan membuatmu sepi. Kau butuh oranglain bahkan untuk sekedar
berbagi cerita tentang cita-citamu.
Tidak. Tidak! Mereka
hanya akan mentertawakan aku dan cita-citaku. Kau tahu, betapa aku menjaga
seluruh mimpi ini? Aku harus menuliskannya lagi dan lagi. Kepalaku serasa mau pecah jika tak menuliskannya.
Ia mulai berkeliaran, menggila di sini. Ia menunjuk
kepalanya. Ia, seperti kesetanan. Kurasa ia memang butuh menuliskan apa yang
dipikirkannya. Aku berpura-pura gegas pergi. Membiarkannya menumpahkan apa yang
dipikirkannya. Tapi diam-diam, aku memperhatikan apa yang dilakukannya.
Ia mengambil notebook axioo hitam miliknya yang
ditaruh di lemari pakaian, di lipat bersama pakaian kuliahnya yang hanya tujuh
helai. Jumlah pakaian itu menandakan jumlah semester ia kuliah saat ini, karena
sanggup membeli baju sejumlah itu sudah merupakan kebahagiaan baginya. Bahkan ia
berutang untuk sejumlah baju-baju kuliah itu dengan bayaran perminggu dari uang
sakunya yang tidak seberapa. Notebook hitam
itu berfungsi seperti komputer karena baterainya yang sudah tak bisa lagi
digunakan. Pun penghubung antara keyboard dan layar yang sudah retak karena jatuh dari atas meja beberapa bulan
lalu, menimbulkan derit ketika lipatan notebook itu dibuka. Ia harus bertahan
dengan notebook turunan kakaknya itu sampai akhir kuliah, karena orangtuanya
tak akan punya uang lagi untuk membelikan barang serupa untuk kedua kalinya.
Ia telah menghidupkan notebook hitam itu dan tampak tak
sabar menunggu loading star yang lama.
Ia begitu tersiksa dengan pikiran-pikiran itu. Aku mengintipnya. Belum satu
hurufpun ia tulis. Ia masih termangu pada layar di depannya yang seperti
mencemooh kaku. Aku enggan bertanya kenapa. Tiba-tiba ia menatapku tajam.
Kenapa masih di
sini? Aku tak bisa menulis apapun jika kau terus menerus menguntitku?
Baiklah, aku
tidak akan melihat. Lihatlah! Aku tidur di sini, ini tidak akan menganggumu.
Ia tersenyum. Kecut.
Aku pura-pura tidur.
Mana boleh aku membiarkannya berkelana sendiri dengan pikiran-pikiran
gilanya itu. Bagaimanapun aku akan terus mengawasinya, kerjaku memberikan
sinyal peringatan padanya jika terjadi hal-hal diluar kendali.
Setelah merasa aman, ia mulai menulis. Tulisannya mengalir
tanpa henti. Ia tak lagi menyadari
keberadaanku yang masih saja terus mengawasinya. Aku ngeri membayangkan: ia tak
bisa berhenti. Aku bahkan tak bisa menghentikannya. (Limokaum, 26/11/2013)
Komentar
Posting Komentar