HUBUNGAN ANTAR BUDAYA (Penulis Makalah: Fitria Osnela, Frischa Erdila, dan M. Hasby Jamil)
A.
Pengertian
Hubungan Antar Budaya
Secara
singkat budaya diartikan adalah suatu pandangan hidup sekelompok orang yang berbentuk kolektif berupa kelompok
peradaban, bangsa, ras, etnik dll.[1]
Menurut Knelle kata budaya sendiri bermakna semua
cara-cara hidup yang dilakukan orang dalam suatu masyarakat. Dalam budaya adalah
keseluruhan cara hidup bersama dari sekelompok orang, yang meliputi bentuk
mereka berpikir, berbuat dan merasakan yang diekspresikan, misalnya dalam
kepercayaan, hukum, bahasa, seni, adat istiadat, juga dalam bentuk
produk-produk benda seperti rumah, pakaian, dan alat-alat.[2]
Jadi dapat dilihat bahwa budaya itu adalah suatu cara pandang yang dipakai oleh
suatu kelompok dalam kehidupannya.
Sedangkan
hubungan antar budaya adalah suatu proses asimilasi dan alkulturasi kebudayaan
sehingga saling mempengaruhi satu sama lain diantara dua kebudayaan tersebut.
Menurut
Herskovitz dalam Ngurah Adhi Putra mendefenisikan bahwa akulturasi adalah suatu
fenomena yang terjadi takkala kelompok individu yang memiliki budaya yang
berbeda terlibat dalam kontak langsung disertai perubahan terus-menerus,
sejalan pola-pola budaya asal kelompok itu atau dari kedua kelompok yang
melakukan proses akulturasi tersebut.
Proses
akulturasi terjadi karena disebabkan :
1. Kebutuhan
kontak atau interaksi terus-menerus dan berhadapan secara langsung antar
budaya-budaya tersebut.
2. Akibat
dari kontak tersebut membawa perubahan-perubahan dalam fenomena budaya dan
psikologis diantara orang-orang yang melakukan kontak dan berlanjut pada
generasi-generasi berikutnya.
3. Adanya
aktifitas dinamis selama dan sesudah kontak berlangsung sehingga menghasilkan suatu
proses yang stabil dan menghasilkan fenomena baru akibat adanya proses
akulturasi tersebut.[3]
Akulturasi
dilain pihak sebagai bentuk pembelajaran bagi salah satu bagian dari satu suku
bangsa pendatang atau imigran dalam mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma dari
budaya asli sehingga mereka dapat membaur nantinya.
B.
Hakekat
Hubungan Antar Budaya
Hakikat
adalah berupa apa yang membuat sesuatu terwujud. Dengan kata lain dapat
dirumuskan, hakikat adalah unsur utama yang mewujudkan sesuatu. Hakikat mengacu
kepada faktor utama yang lebih fundamental. Faktor utama tersebut wajib
ada dan merupakan suatu kemestian. Hakekat selalu ada dalam keadaan sifatnya
tidak berubah-rubah. Tanpa faktor utama tersebut sesuatu tidak akan bermakna
sebagai wujud yang kita maksudkan. Karena hakekat merupakan faktor utama yang
wajib ada, maka esensi-nya itu tidak dapat dipungkiri atau dinafikan. Keberadaannya
(eksistensi-nya) itu di setiap tempat dan waktu tidak berubah.
Hakekat hubungan antar budaya adalah
mengenai adanya penerimaan
dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun
kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan
menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu
kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Lebih lanjut, hal utama yang sangat penting adanya
dalam hubungan antar budaya adalah komunikasi. Dalam
berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak
diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang,
nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk
terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran
informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi
dalam sebuah hubungan antar
budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.
Komunikasi
dan budaya
mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi matauang. Budaya menjadi
bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward
T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu
sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma
budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat
kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma
atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Tidak banyak orang menyadari
bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau
tidak melibatkan sebuah komunikasi.
Dalam
kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia
tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang
efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu
tahu apa-apa yang menjadi unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi
antarbudaya, yang antara lain adalah adanya komunikator yang berperan sebagai
pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang menerima pesan;
pesan/simbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim
komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Komunikasi itu muncul,
karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang
berbeda kebudayaannya.
Jadi
yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang
dilakukan mereka yang berbeda latarbelakang kebudayaan. Jadi, suatu proses
kumunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan
oleh sejumlah orang (karena memiliki keragaman) memberikan interpretasi dan
harapan secara berbeda
terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang
dipertukarkan.
Secara
alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang menghendaki adanya interaksi sosial. Karena itu, dalam kenyataan
sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau
dia tidak berkomunikasi.
Demikian
pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat
tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa
tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila
bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta
komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan,
menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif,
lahirnya semangat kesetiakawanan,
persahabatan,
hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang
seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya.[4]
C.
Keharmonisan
Hubungan Antar Budaya
Menurut Amirulloh Syarbini dkk (2011: 73, 111), rukun berarti berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam
maksud untuk saling membantu. Berperilaku rukun berarti menghilangkan
tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga
hubungan-hubungan sosial tetap terlihat selaras dan baik. Kata rukun dan
kerukunan mempunyai pengertian damai dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hunt dan Walker menyatakan (dalam Hartoyo,
1996), bahwa basis dari aspek interaksi dari integrasi ialah mengendurnya
diskriminasi yang berakar pada perbedaan-perbedaan etnik, budaya dan agama tersebut. Selain itu juga, menurut Ioanes Rakhmat (2011), untuk dapat membuat
kemajemukan sebagai sebuah unsur pemersatu dan penginspirasi bangsa, setiap
orang di Indonesia, apapun etnis dan aliran keagamaannya (atau aliran kepercayaannya),
perlu memandang etnisnya sebagai komplemen atau unsur pelengkap bagi etnis lainnya. Sebab, unsur yang potensial dapat
saling memperkaya, baik dalam doktrin antar etnis maupun dalam
praktek kehidupan bermasyarakat.
Menurut
Nasikun (dalam Hartoyo, 1996), masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnik yang terbagi menjadi beberapa agama,
masing-masing hidup dengan ciri bahasa dan identitas kulturnya. Setiap etnis memiliki
doktrin akan kerukunan dalam berkehidupan sosial, selain itu doktrin untuk
selalu menjunjung tunggi nilai-nilai gotong royong atau saling membantu antar
sesama.
Sementara Azhari Akmal Tarigan (2011), memandang setiap etnis sebagai sebuah pelengkap bagi etnis lainnya yang berbeda, dan untuk dapat saling
memperkaya antara etnis yang satu dan etnis yang lainnya, orang beretnis apapun harus sudah terbebas dari dogma superiorisme,
yakni dogma atau akidah yang memandang etnis sendiri sebagai etnis pemenang yang mengungguli
semua etnis lainnya dalam
segala segi. Karena demikianlah nilai yang dikembangkan adalah nilai plural dan
kebersamaan kita sebagai makhluk sosial.
Keharmonisan
hubungan antar budaya setidaknya memiliki landasan yang berasal dari beberapa
agama diantaranya:
1)
Landasan Keharmonisan Antar Etnis dalam Agama Islam
Dalam Al-Quran surat Al Hujurat
(ayat 13) yang artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
2)
Landasan Keharmonisan Antar
Etnis dalam Agama Kristen
Dalam surat Roma 15:5 yang berbunyi: semoga Allah adalah sumber ketekunan
dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai kehendak Yesus
Kristus”. Hal ini sesuai dengan perintah Al-kitab, surat Matius 22:37-39 yang
berbunyi: Kasihi Tuhan Allah-mu dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang kedua yang sama
dengan itu ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan Kitab para Nabi.
3)
Landasan Keharmonisan Antar
Etnis dalam Agama Hindu
Dalam Reg Weda X.191 :2 yang berbunyi: Berkumpul,
berbicaralah satu dengan yang lain. Bersatulah dalam semua pikiranmu, sebagai
halnya para Dewa pada zaman dahulu bersatu.
4)
Landasan Keharmonisan Antar
Etnis dalam Agama Budha
Dikutip dari prasasti batu kalingan No. XIII dari Raja
Asoka yang berbunyi: Jika kita menghormati agama sendiri dan mencela agama lain
tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama yang lainpun dihormati atas
dasar-dasar tetentu. Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita
sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula orang lain. Dengan
berbuat sebaliknya kita merugikan agama kita sendiri dan mencela agama orang
lain, semata-mata didorong oleh rasa bakti terhadap agamanya sendiri dengan
berfikir : “bagaimana aku dapat memuliakan agama aku sendiri”. Dengan berbuat
demikian malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu kerukunan yang
dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan
bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.
Selain agama, pemerintah juga mengatur dasar-dasar Keharmonisan Hubungan Antar Etnis,
diantaranya:
1)
Tentang Penanganan Konflik Antar Etnis
Dikeluarkan
Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tenang penanganan konflik sosial atas dasar
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J.
2)
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis
Dirumuskanlah
Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan
etnis. Sesuai Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2).
Adapun faktor pendukung Keharmonisan Hubungan Antar Etnis adalah adanya faktor
intern dan ekstern. Faktor Intern berupa adanya kesadaran dari setiap individu
itu sendiri untuk melakukan hal-hal yang dapat membawa kemaslahatan bagi
masyarakat dan ini merupakan tanggung jawab dari individu itu sendiri seperti
saling mengasihi, menyayangi, toleransi, dan saling bersilaturahmi.
Sementara faktor Ekstern adanya kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan
oleh masyarakat itu sendiri seperti gotong royong, pembuatan parit jalan,
karang taruna, tolong menolong antar tetangga, dan ataupun aktivitas yang
bersifat spontanitas.[5]
D.
Permasalahan
Hubungan Antar Budaya
Permasalahan
yang kerap terjadi dalam hubungan antar budaya disebabkan oleh kesalah pahaman
yang terjadi sehingga menyebabkan konflik yang timbul. Beberapa penyebab yang
menimbulkan permasalahan, antara lain :
1. Keanekaragaman dari tujuan
Keanekaragaman dari tujuan sering terjadi
karena alasan dan motivasi untuk berkomunikasi yang berbeda-beda. Dalam situasi
antarbudaya perbedaan ini dapat menimbulkan masalah.
2. Etnosentrisme
Banyak orang yang menganggap
caranya melakukan persepsi terhadap
hal-hal disekelilingnya adalah satu-satunya yang paling tepat dan benar.
Padahal harus disadari bahwa setiap orang memiliki sejarah masa lalunya sendiri
sehingga apa yang dianggapnya baik belum tentu sesuai dengan persepsi orang
lain.
3. Tidak
ada kepercayaan
karena sifatnya yang khusus permasalahan yang
kerap terjadi antar budaya disebabkan peristiwa pertukaran informasi yang peka
terhadap kemungkinan terdapatnya ketidak percayaan antara pihak-pihak yang
terlibat. Orang umumnya segan untuk mengambil resiko berhubungan dengan orang
asing.
4. Penarikan Diri
Komunikasi tidak mungkin terjadi bila
salah satu pihak secara psikologis menarik diri dari pertemuan yang seharusnya
terjadi. Ada dugaan bahwa macam-macam perkembangan saat ini antara lain
meningkatnya urbanisasi, perasaan-perasaan orang untuk menarik diri, apatis
semakin banyak pula.
5. Tidak
adanya empati
Beberapa hal yang menghambat empati antara lain:
a. Fokus terhadp diri sendiri secara
terus menerus, adalah sulit untuk memusatkan perhatian pada orang lain kalau
kita berpikir tentang diri kita secara terus menerus dan bagaimana orang
menyukai kita.
b. Pandangan-pandangan stereotype
mengani ras dan kebudayaan.
c. Kurangnya pengetahuan terhadap
kelompok, kelas atau orang tertentu.
d. Tingkah laku yang menjauhkan orang
untuk mengungkapakan informasi.
e. Tindakan atau ucapan yang
seolah-olah menilai orang lain.
f. Sikap tidak tertarik yang dapat
mengakibatkan orang tidak mau mengungkapkan diri.
g. Sikap superior.
h. Sikap yang menunjukkan kepastian.
6. Kekuasaan
Kekuasaan digunakan untuk mengontrol atau
menentukan tindakan orang lain.
7. Derajat
Hambatan yang timbul pada konteks kebudayaan
yaitu tidak memahami, menyadari atau memanfaatkan derajat kesamaan atau
perbedaan kepercayaan, nilai-nilai dan sikap, pendidikan, dan status sosial.
8. Hambatan
Pembentukan dan Pemograman Budaya
Hambatan ini terjadi dalam suatu proses
akulturasi yang berlangsung antara imigran dengan masyarakat pribumi. Dalam
akulturasi berkembang proses pembentukan kebudayaan dan penyesuaian kebudayaan
antara imigran dan pribumi yang dapat diatasi dengan membiasakan berkomunikasi
secara terus menerus.
9. Nilai
Nilai
(Value) merupakan kecenderungan atau disposisi mengenai preferensi (kelebih-sukaan)
yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/ diinginkan
dan disukai orang banyak yang berkenaan dengan baik atau buruk, patut atau
tidak patut, pantas atau tidak pantas. Nilai menjadi penghambat hubungan antar
budaya bilamana :
a. Memaksakan
nilai tersebut kepada orang lain
b. Memaksakan
nilai golongan mayoritas kepada minoritas
10. Streotip
Stereotip
merupakan opini atau pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian atau kritikan. Stereotip juga merupakan generalisasi mengenai orang-
orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru
mengamati.
Stereotip
menjadi kendala konseling( termasuk hambatan sikap)karena terbentuk secara lama
dan berakar sehingga sulit untuk diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang
berulang- ulang. Hal itu merupakan hasil belajar sehingga semakin lama semakin
susah di ubah.
[1]. Andrew Howard, Indonesia
dalam Tinjauan Sosiologi, (Bandung: Grafika Press, 2002) h.15
[2]. Anak Agung Ngurah
Adhiputra, Konseling Lintas Budaya,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) h.1
[3]. Anak Agung Ngurah Adhiputra, Konseling. . . .
[4]http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24743/4/Chapter%20II.pdf, diakses pada 29 September 2013.
[5]http://ceritadeniaferoyanglain.blogspot.com/2013/01/keharmonisan-hubungan-antara-etnis-bali.html. diakses pada 28 September 2013
[6]. Kartadinata, Kebudayaan
dan Pembangunan, (Badung:Alfabeta) h, 45
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus