Nikah Sambil Kuliah?
Apa yang anda pikirkan
jika seseorang melontarkan pernyataan,
menikah sambil kuliah? Wow, pasti
tidak ada seorangpun yang menginginkan -
terutama sekali mahasiswa wanita (baca: mahasiswi) - ataupun sekedar mambayangkan hal itu terjadi
pada mereka. Banyak alasan yang mereka
kemukakan. Diantaranya adalah belum siap,
takut mengganggu kuliah, dan masih ingin menikmati masa-masa remaja.
Dampak psikologis yang
sangat besar dirasakan oleh mahasiswa wanita. Sebagai contoh bunga (nama
samaran), mahasiswi semester tiga
jurusan tarbiyah. Ia memutuskan mengakhiri masa lajangnya karena faktor
ekonomi, dengan catatan sang suami membiayai kuliahnya sampai selesai. Menurut
sahabatnya beban psikologis jelas terlihat pada bunga. Meski tidak sampai
mengganggu tugas-tugas kuliah, sahabatnya merasakan perbedaan pada diri bunga. Seperti sering membicarakan hal-yang tidak
penting, dan badan terlihat lebih kurus.
Selain itu bunga terlihat sangat sensitif, dan sering merasa tidak di
acuhkan teman. Akan tetapi hal yang kontras di tunjukkan oleh mawar (nama
samaran), mahasiswi semester lima pada
jurusan yang sama. Di mana letak perbedaannya? Toh, mereka sama-sama menikah
sambil kuliah, belum lagi mawar yang sudah memliki seorang putra. Saya pikir, perbedaan
mendasar nya terletak pada proses penyesuaian diri masing-masing individu. Dan
bagaimana tanggung jawabnya terhadap komitmen yang telah dibuat.
Pakar psikologi, Diane E.
Papalia dan Slly Wendkos Olds dalam
bukunya “human development” (1995), mengemukakan bahwa usia terbaik
untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki usia
20-25 tahun. Ini adalah usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai
kehidupan rumah tangga ataupun untuk menjadi
pengasuh anak pertama (the first time parenting). Sedangkan Norman Sprinthall dan W. Andrew Collins
mencatat dalam bukunya “Adolecent Psychologi” (1995) bahwa gejolak
syahwat yang semula meledak-ledak akan berubah menjadi stabil ketika menikah
usia dini. Yang lebih menarik adalah temuan Campbell dan kawan-kawan bahwa yang
paling bahagia diantara pasangan nikah, adalah pasangan nikah usia 20-25 tahun
(Papalia dan Olds, 1995).
Sementara itu Muhammad
Fauzil Adzim Spsi, pakar psikologi UII, menyatakan bahwa dari perspektif
psikologi ,menikah saat kuliah lebih banyak memiliki nilai positif. Ini akan memberi motivasi yang
tinggi bagi seseorang untuk mengarungi kehidupan. Dengan menikah seseorang
dipacu agar berusaha semaksimal mungkin menggunakan potensi yang dimiliki. Ia
juga dituntut berani menghadapi segala persoalan, meski yang paling berat
sekalipun. Karena itulah mahasiswa tidak perlu takut untuk menikah sambil
kuliah.
So, apakah anda termasuk orang yang setuju
menikah sambil kuliah? Atau anda adalah orang yang lebih suka menghabiskan
waktu untuk pacaran? Pilihan ada
ditangan anda masing-masing. (Buka-buka
File lama, tulisan ini merupakan syarat ketika dulu mendaftar di TMI, Oktober 2010)
Komentar
Posting Komentar