Ravi's Note; Ya, Aku Bisa! (Bagian I)


TK dan Sambalado Panggang Bada

Malam itu aku tidur di rumah Etek[1]. Sudah dua hari aku tidak ke rumah Etek. Etek adalah adik Amak[2] satu-satunya. Amak hanya bertiga bersaudara, yang tua biasa kupanggil Mak Adang. Karena selalu memanggilnya dengan sebutan itu aku bahkan sampai lupa siapa nama Mak Adang yang sebenarnya. Beliau tinggal di kampung isterinya. Lima kilometer dari sini. Meski Amak dan Etek sama-sama tinggal di kampung, tapi nasib mereka sangat jauh berbeda. Bagaikan bumi dan langit saja. Rumah Etek terbuat dari beton, besar. Ada empat buah kamarnya. Sudah pula pakai listrik. Sedang rumah Amak kecil. Rumah papan berjenjang. Belum ada listrik.
 Rumahku dan rumah Etek tidak jauh. Sesungguhnya hanya bukit kecil ini sajalah yang membatasi kami. Rumah Etek di bagian puncak dan rumahku di bagian lembah. Rumahku adalah satu-satunya yang terlihat dari bawah sana. Orang-orang kampungku biasa menyebut lembah itu dengan sebutan Pasia. Karena dulu di lembah itu banyak pasir katanya. Di depan rumahku adalah hamparan sawah yang sesungguhnya ia diapit oleh bukit. Tidak terlalu luas. Tapi memanjang mengikuti demografi lembah. Kurasa hasil panennya cukup untuk sebuah keluarga dengan dua orang anak dari masa panen hingga panen berikutnya. Sayang, sawah ini bukan milik keluarga kami. Di belakang rumahku ada sebuah sungai kecil. Airnya jernih. Mengalir dari bukit-bukit yang membentang.
Aku tercenung-cenung memandangi apa yang terjadi malam itu. Fina tengah asyik dengan sebuah tas lengkap dengan peralatan sekolah lainnya. Ia membangga-banggakan semua miliknya. Ternyata Fina akan masuk Te-Ka. Semua keperluannya sudah dibelikan Etek. Tinggal mendaftar saja lagi.  Tas itu berwarna merah muda dengn gambar boneka Barbie. Sandang belakang. Disampingnya terdapat sebuah kantong untuk meletakkan air minum. Kucoba pegang sebentar, tapi Fina langsung menyambarnya dariku. Aku kaget. Aku tidak tahu kenapa Fina terlihat tidak menyukaiku.
 Fina merupakan anak bungsu Etek. Ia seusia denganku. Aku juga ingin memiliki sebuah tas seperti Fina. Kenapa Amak belum membelikan, ya? Apa amak lupa kalau umurku sudah masuk enam tahun sekarang. Dan itu artinya aku juga sudah bisa masuk Te-Ka.
Pukul sembilan malam Etek menyuruh kami tidur. Tivi belum dimatikan. Pak etek[3] masih menonton. Aku tidur dikamar Fina. Meski ia tidak menyukaiku, tapi kalau aku tidur di sini, Fina masih mau berbagi kamarnya denganku. Fina membawa tidur semua perlengkapan sekolah barunya. Aku hanya bisa melihatnya dengan keinginan yang tertahan.
Bunyi kokok ayam jantan membangunkanku. Kulihat Fina masih tidur. Pulas. Bukankah hari ini ia akan mendaftar di Te-Ka? Dengan cepat kubuka jendela, udara segar menyeruak masuk. Fina tak terpengaruh oleh hawa sejuk itu. Aku keluar kamar. Tiba-tiba Etek muncul dari dapur.
“Raf, basuahlah piriang lai, Raf”, perintahnya. Aku mengangguk. Aku melangkah ke dapur. Cepat kukumpulkan piring-piring kotor bekas makan malam itu. Kemudian kucuci. Pikiranku tidak lagi pada piring, tapi pada sekolah. Aku juga mau sekolah. Fina tidak pernah cerita akan masuk Te-Ka. Etek juga. Setelah selesai mencuci piring aku kembali ke ruang tengah. Aku mendekati Etek yang sedang memasak. Aku berharap Etek mau membawaku bersama Fina untuk mendaftar hari ini.
Tek, wak nak sekolah lo”, kataku  memelas. Etek menatapku tajam.
Pailah kecek an ka Amak kau”, katanya. Jawaban ini bukan yang kuharapkan. Aku diam. Pelan aku melangkah meninggalkan Etek yang masih sibuk. Aku pergi keluar. Tanpa terasa ada airmata jatuh dipipiku. Menderas begitu saja. Aku memang cengeng.
Aku berlari menuruni bukit di belakang rumah Etek. Aku ingin segera sampai di rumah. Ingin menyampaikan pada Amak bahwa aku juga ingin dibelikan perlengkapan seperti Fina. Bahwa aku juga ingin sekolah. Aku tak peduli ketika kakiku tersangkut akar dan tergelincir karena jalanan yang licin sehabis diguyur hujan tadi malam.
Aku sampai dirumah. Kulihat Apak[4] sibuk mengasah parang. Sapaan Apak tak kuhiraukan. Aku mencari Amak ke dalam rumah, tidak ada. Hanya Seno yang kulihat sibuk memainkan mobil-mobilan yang sudah tidak berbentuk lagi. Sementara di dalam kamar hanya Amad yang masih lelap kutemukan. Da Eri pun sudah berangkat sekolah. Aku bergegas ke dapur. Kulihat Amak sedang memasak. Dua tungku terisi. Yang satu untuk menanak nasi sedang satunya lagi digunakan amak untuk merebus air. Amak memperhatikanku sekilas.
Dek a baju kumuah? Tajatuah kau? Pailah barasiah-barasiah lu,” katanya. Kemudian beliau kembali pada kesibukannya. Aku belum berani bicara. Air mendidih, amak mengambil termos dan menyalin air.
Tolongan galeh di ateh meja tu, Raf”, aku mengambil gelas di atas meja yang berisi kopi dan gula. Amak menyeduhnya dengan air panas. Itu kopi untuk Apak, kata Amak. Amak meletakkannya kembali di atas meja.
Sedang manga etek kau tadi?” Tanya Amak. Beliau mengambil Bada[5] dari periuk yang sudah tidak terpakai. Amak biasa meletakkan Bada disana. Periuk itu digantung di dinding dapur. Kata amak supaya Bada tidak dapat dimakan kucing. Bada itu kemudian dibersihkan dan Amak memanggangnya di tungku bekas merebus air tadi. Bau panggang Bada-nya memenuhi ruangan. Aku jadi lapar.
Etek ka pai mantaan Fina ka sekolah Te-Ka”, kataku memancing amak. Tapi ekspresi Amak tak seperti yang kuharapkan. Amak cuma ber-oohh sebentar. Aku mulai tak tahan. Aku langsung menyatakan keinginanku untuk sekolah seperti Fina. Amak cuma diam. Sibuk dengan panggang Bada-nya. Tiba-tiba Apak masuk. Diambilnya gelas kopi di atas meja. Dengan santai beliau menyeruput kopi seduhan Amak. Dua kali seruput kopi itu habis. Kemudian beliau melanjutkannya dengan sebatang rokok Soery Mas. Asapnya mengepul. Bercampur dengan asap api tungku juga berbaur dengan bau panggang Bada. Aroma khas rumahku hampir setiap pagi.
Apak bicara dengan Amak tentang uang pensiunnya yang belum diambil. Sudah tanggal lima sekarang. Besok sajalah diambil kata Amak, sekalian ke pasar. Uang pensiun itu diambil di kota kecamatan. Apak adalah seorang veteran.  Kata Apak, Veteran itu adalah orang-orang yang ikut berjuang merebut kemerdekaan. Beliau sering menceritakan padaku tentang kisah heroiknya. Dulu, Apak pernah melemparkan granat ke pasukan Belanda. Beliau bersama kawan-kawan seperjuangannya. Pada saat itu Apak kehilangan sahabat karibnya sedari kecil. Beliau sangat menyesal kenapa saat itu kawannya itu tidak menuruti kata-katanya. Kawannya itu yakin sekali kalau orang-orang Belanda itu telah mati semuanya setelah digranat karena markas yang digunakan mereka hanyalah sebuah rumah penduduk yang tidak terlalu besar. Diperkirakan hanya ada dua puluh Serdadu Belanda di situ. Malang tidak dapat ditolak, ketika kawannya itu menghampiri rumah yang telah hancur itu tiba-tiba muncul sepasukan serdadu lagi. Apak sudah mengatakan agar setelah digranat langsung meninggalkan tempat itu. Sayang, kawannya itu tidak mempedulikan. Serdadu itu kemudian menembaki kawan Apak hingga tewas di tempat. Apak melihatnya sedih dari balik bukit. Aku kagum sekali pada Apak. Sering aku meminta Apak mengulang-ulang cerita itu. Tak puas-puasnya aku mendengarkan.
Kemudian cerita Amak sampai pada Fina yang masuk sekolah Te-Ka. Ia juga mengatakan aku ingin masuk Te-Ka pada Apak. Apak melihat padaku. Dan menyuruhku mendekat. Beliau tersenyum dan menanyakan apakah yang dikatakan Amak itu benar. Aku mengangguk kuat-kuat. Apak mengelus-elus kepalaku. Aku senang sekali. Besok saja mendaftarnya, kata Apak pada Amak karena sudah siang hari ini. Amak mengiyakan. Tidak sabar rasanya menunggu besok.
####@####
Pagi-pagi sekali aku bangun. Da Eri belum berangkat sekolah. Ia masih memakai sepatu. aku tahu harus mencari Amak kemana. Aroma panggang Bada amak melesat sampai ke dalam rumah. Sedangkan Apak telah selesai mengasah cangkul dan parangnya. Beliau pamit pada Amak dan mengingatkan jangan lupa mengantarku mendaftar sekolah. Amak mengiyakan dari dapur. Tak lama kemudian Da Eri pun pamit. Da Eri kelas dua SMP. Aku jarang bicara dengannya. Dia pendiam. Dia tidak suka kalau kudekati. Tak jarang sikapnya seolah-olah memusuhiku. Tapi dia tidak pernah menyakitiku. Hanya saja sikapnya itu membuatku enggan berurusan dengannya.
Tanpa disuruh aku segera mandi ke sungai belakang rumah. Ya, seperti kukatakan tadi, di belakang rumahku ada sungai kecil. Airnya mengalir dari bukit nun di atas sana. Sungai inipun digunakan penduduk untuk mengairi sawah. Lama aku mencangkung di tepi sungai. Dingin. Amak kemudian muncul. Beliau menggendong Amad, adikku paling kecil. Sementara dibelakangnya mengekor Seno yang berusia empat tahun. Amak memandikan Amad. Sedang Seno asyik bermain-main air.
Lah mandi kau, Raf?”
Alun”, kataku. Sedetik kemudian aku langsung berendam di sungai. Dingin. Aku menghembuskan nafas. Nafasku berasap. Hanya sebentar. Aku selesai dan menyambar handuk yang kuletakkan di tepi sungai. Seno pun telah selesai. Ia sudah bisa mandi sendiri. Amak menyuruhku membawanya pulang.
Aku memakaikan baju Seno. Menyisirkan rambutnya dan memberinya sedikit bedak. Aku memakai baju paling bagus yang kupunya. Baju hari raya tahun lalu. Aku tidak seperti anak-anak lain atau seperti Fina yang punya banyak baju bagus-bagus. Aku mendapatkan baju baru hanya pada hari raya saja. Sekali setahun. Itupun hanya dibelikan satu pasang saja. Kusisir rambutku dan berbedak sedikit. Amak muncul berserong handuk, sementara Amad di gendongannya.
Sambil menunggu Amak selesai berkemas, aku bermain-main dengan Seno. Tidak lama kemudian Amak selesai. Kami berangkat. Amak menggendong Amad. Sedang Seno berjalan di samping Amak. Amak memegang tangannya. Aku berjalan di depan. Membusungkan dada. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata perasaanku. Bangga bukan main.
Mulut kecil Seno tak henti-hentinya mengoceh. Ada-ada saja yang ditanyakannya pada Amak. Sementara Amad kulihat sudah mulai terkantuk-kantuk digendongan Amak. Di sepanjang jalan orang-orang bertanya pada Amak, mau kemana kami. Amak menjawab; mengantarku ke Te-Ka. Setiap Amak menjawab, setiap itu pula hidungku kembang kempis karena bangga. Aku belum pakai seragam hari ini. Kata Amak, seragamnya setelah mendaftar nanti diberikan.
Taman Kanak-Kanak yang jaraknya satu kilometer dari rumah terasa lebih jauh dua kali lipat olehku. Jalanan becek bekas hujan semalam. Yah, sekarang musim penghujan. Ini penurunan terakhir yang harus kulewati untuk sampai ke sana. Dari atas kulihat bangunan dengan atap yang berkilat-kilat. Seng ditimpa cahaya matahari. Bendera merah putih berkibar, meliuk-liuk mengikuti hembusan angin. Aku sudah tidak sabar untuk sampai di bawah sana. Amak tertinggal jauh beberapa meter di belakangku. Ku lihat Amak menggandeng Seno yang berjalan tertatih-tatih mengikuti langkah kaki Amak. Sedang Amad mungkin sudah tidur digendongan Amak.
Aku sampai di bawah. Dari gerbang, mataku menyapu seantero sekolah. Bangunan bercat putih itu mempunyai dua ruangan. Bangunannya dari beton, tapi cat putihnya sudah terkelupas di sana sini. Di depan bangunan itu ada satu buah ayunan, seluncuran dan kati-kati[6]. Sedang di teras masing-masing kelas, berderet lima buah pot bunga. Bunga-bunga keladi dan aneka warna piladang. Di depan dekat gerbang ada sebatang bunga kertas[7] yang besar. Sedang mekar. Bunganya merah keriting-keriting. Di bawah batang bunga kertas itu ada sebuah bangku ukuran duduk dua atau tiga orang dewasa. Dua batang bunga asoka berjejer pula di kiri kanan bangku. Selebihnya adalah bunga-bunga cirik ayam[8] aneka warna. Kuning, merah, dan merah jambu.
Amad berlari mengejarku. Sedang Amak mempercepat jalannya mengikuti dari belakang, sembari memperbaiki posisi serongnya. Aku mengikuti amak masuk dalam area sekolah. Seorang perempuan lebih muda dari amak menyambut kami. Mungkin ia ibu guru yang akan mengajariku nanti. Amak berbincang-bincang. Sedang Seno langsung terpikat oleh seluncuran di depan bangunan itu. Ia langsung bermain seluncuran. Amak dan ibu guru itu masuk ke dalam kelas yang satunya. Aku melongok ke dalam kelas satunya lagi. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Kursi-kursi tersusun rapi. Di dinding kelas itu terpajang gambar dua orang. Entah siapa aku tak tahu. Di tengahnya agak ke atas ada gambar burung garuda. Dua orang di gambar itu seakan tersenyum padaku. Selamat datang di bangku Te-Ka, ahh... Mereka menyapaku.
 Tiba-tiba Amak memanggilku. Aku bergegas menuju ruangan di sebelahku. Ibu guru itu menepuk-nepuk pundakku seraya berkata,” kau harus jadi orang, nak”. Aku mengangguk meski aku tak mengerti apa maksudnya.
Ibu guru itu kemudian menyerahkan sebuah bungkusan. Itu seragam katanya. Amak membuka bungkusan itu. Seragam itu berwarna kuning. Dengan kaos putih. Rompi berwarna kuning dan rok berwarna kuning. Topinya pun berwarna kuning. Topinya agak melebar di bagian pinggir. Menggunakan tali di kiri kanannya yang kemudian diletakkan dibawah dagu untuk membantu mengencangkan agar tidak mudah lepas. Seperti topi yang sering dipakai Amak ke sawah, hanya ukuran dan bahannya saja yang berbeda.
 “Siapa namamu, nak” Tanya ibu guru itu.
“Rafi, Rafiatul Mahmudah”, kataku.
####@####
“Ayo semuanya, anak-anak ibuk bawa bekal kan, sekarang waktunya makan. Ayo keluarkan bekal masing-masing.”
Aku membuka bungkus nasi yang dibungkuskan amak tadi pagi. Samba lado[9] dan sepotong panggang Bada. Ini menu rutin di rumah. Ibu guru Te-Ka kami namanya Bu Dewi. Orangnya baik, penyayang. Beliau tidak pernah marah. Tepatnya, aku belum pernah melihatnya marah. Bu Dewi mengitari satu persatu tempat duduk kami. Aku melihat ke Fina. Ia duduk di belakangku. Sambalnya goreng kentang. Goreng kentang merupakan sambal mewah di kampungku.
Bu Dewi sampai di bangkuku. Ia memperhatikan agak lama. Beliau mengambil tutup tempat nasiku yang tergeletak di atas meja. Kemudian ia kembali berkeliling. Meminta pada teman-temanku untuk memberikan sedikit sambalnya dan menaruh di tutup tempat nasiku. Setelah selesai Bu Dewi kembali ke bangkuku dan memberikan sambal itu. Bermacam-macam sambalnya. Ada goreng tahu, tempe, kentang, dan telur dadar. Hanya aku satu-satunya yang membawa samba lado dan panggang bada.
Aku berterimakasih pada Bu Dewi dan juga pada semua teman-teman. Kemudian Bu Dewi meninggalkan ruang kelas. Kelas ribut. Aku hendak menyuap nasiku ketika tiba-tiba Fina muncul di hadapanku. Ia meminta kembali goreng kentangnya yang tadi dimintai Bu Dewi untukku. Aku tidak mau. Tapi Fina mengambilnya dengan paksa. Aku biarkan. Aku tak menduga ternyata apa yang dilakukan Fina diikuti juga oleh yang lainnya. Sekarang tutup nasi di depan meja itu kosong. Tidak ada lagi sambal-sambal itu. Air mataku jatuh. Mungkin orang miskin sepertiku tidak pantas makan makanan mewah seperti mereka. Aku menelan ludah. Aku melanjutkan makan dengan samba lado dan panggang bada Amak. Pedas. Asin. Semakin asin bercampur dengan air mataku.
Di kelas, aku tak punya teman kecuali Amy. Tapi kadang Amy juga sering berteman dengaan Fina dan meninggalkanku sendiri. Teman-teman banyak yang bilang bahwa aku; lato[10], banyak kutu, dan miskin. Aku tidak begitu mengerti istilah itu, yang ku tahu, aku memang jarang mandi ke sekolah. Sedang Amak mengikatkan rambutku kalau beliau tidak sibuk saja. Jika tidak, kubiarkan saja rambutku tergerai. Dan di sekolah, Bu Dewi yang mengikatkan rambutku. Apak tidak membolehkan rambutku dipotong. Katanya anak perempuan itu cantik kalau berambut panjang. Sejelek apapun dia, kalau berambut panjang pasti akan tetap terlihat cantik. Dan aku merasa cantik dengan rambut panjangku.
###@###
Bagiku Fina bukanlah sepupu yang baik. Ia terus saja menjahiliku. Setiap istirahat makan, Bu Dewi selalu mengumpulkan sambal anak-anak lalu memberikannya padaku. Dan setiap itu pula anak-anak itu mengambilnya kembali. Kejadian itu terus-menerus berulang sampai aku tamat Te-Ka. Bu dewi tidak pernah tahu. Dan aku juga tidak ingin mengadukannya pada Bu Dewi. Di sekolah, aku juga menabung. Tidak banyak. Paling tinggi cuma dua ratus rupiah. Itu pun kadang-kadang, sehabis Amak menerima pensiun Apak. Beda dengan Fina. Ia selalu menabung banyak-banyak. Etek selalu memberinya uang lebih.
Tidak terasa satu tahun berjalan dengan cepat. Besok adalah hari pembagian rapor. Dan juga pembagian tabungan. Untuk acara perpisahan, Bu Dewi sudah wanti-wanti dari seminggu yang lalu. Dalam rangka perpisahan, kami akan pergi jalan-jalan ke Danau Singkarak. Aku belum pernah ke Danau Singkarak. Kata Apak, Danau Singkarak itu besar dan indah. Aku sudah tidak sabar menunggu besok. Uang tabunganku cukup untuk membayar uang jalan-jalan. Sudah kukatakan pada Amak mengenai hal ini. Amak setuju. Juga Apak. Kegembiraanku meluap-luap membayangkan akan pergi ke Danau Singkarak.
Hanya Da Eri, udaku yang tidak tertarik. Ia asyik mengerjakan sesuatu di bawah temaram lampu dinding. Da Eri naik kelas tiga Es Em Pe sekarang. Da Eri orang nya pendiam. Ia jarang bicara denganku. Yang ku dengar, aku dan dua orang adikku adalah adik tiri baginya. Mungkin karena itulah ia bersikap begitu padaku.
Apak adalah suami kedua amak. Dari suaminya yang pertama beliau dikaruniai dua orang anak. Anaknya yang pertama adalah Uni Ida. Ia di Jakarta sekarang. Merantau ikut suaminya. Merantau adalah salah satu ciri orang minang yang paling menonjol. Tak terkecuali di kampungku. Yang kedua adalah Da Eri. Udaku yang pendiam itu.
Sedang bagi Apak, Amak adalah isteri ke empat. Isteri apak yang pertama adalah orang Paninjauan ini juga. Dari pernikahan pertama itu mereka tidak memiliki anak.  Kemudian Apak pergi ke Bengkulu. Masih zaman-zaman perang waktu itu. Beliau meninggalkan isterinya itu di kampung. Diperantauan ternyata ia menikah lagi. Aku tidak tahu apakah di sini Apak punya anak atau tidak. Apak tidak pernah cerita. Kemudian beliau kembali lagi ke kampung tanpa membawa isterinya yang di Bengkulu itu. Setelah bertahun-tahun pergi dan tidak ada kabar berita, ia sudah disangka mati. Apalagi saat itu masih zaman perang. Dan isterinya yang di kampung sudah menikah lagi.
Kemudian apak menikah pula dengan orang dusun sebelah. Masih gadis. Dari isteri ketiga-nya ini, beliau dikaruniai enam orang anak. Sayang, saat melahirkan anak terakhir isterinya pun meninggal dunia. Ketika Ni Upik, anak terakhir Apak sudah berusia empat belas tahun barulah Apak menikah lagi dengan Amak. Maka lahirlah aku dan dua orang adikku.
Pagi-pagi aku bangun. Aku sudah tidak sabar ingin ke sekolah. Amak hanya menggeleng-geleng. Beliau sibuk di dapur. Aroma panggang bada amak membuatku lapar. Aku cepat-cepat ke sungai membasuh muka.
Hari ini aku tidak membawa bekal ke sekolah. Sekali lagi, ini adalah hari pembagian rapor dan pembagian uang tabungan. Aku deg-degan membayangkan uang tabungan itu. Aku sibuk berandai-andai berapa uang tabunganku nantinya. Mengenai rapor, ia juga penting. Tapi uang tabungan lebih penting.
Sudah ramai orang di sekolah. Hampir semua mereka datang dengan orangtuanya masing-masing. Termasuk Fina. Ia datang dengan Etek. Hanya aku yang datang sendiri. Ooh… Ternyata tidak. Amy juga sendiri. Aku mendekati Amy. Kata Amy, ibu dan ayahnya ke sawah. Mereka panen hari ini. Aku ingat, Amak tadi katanya juga akan pergi ke sawah orang. Mungkin ke sawah orangtuanya Amy.
Bu Dewi menyuruh kami masuk kelas. Semua teman-temanku melepaskan genggaman tangan orangtuanya masing-masing. Aku dan Amy berhenti bermain ayunan. Kami masuk kelas. sebelum acara pembagian rapor, Bu Dewi sedikit berceramah dulu. “Jangan sampai ada anak-anak ibuk yang tidak melanjutkan ke Es De. Dan nanti harus rajin-rajin belajar, biar jadi orang pintar.” Itu akhir ceramahnya.
Aku sudah tidak sabar. Satu persatu nama teman-temanku sudah di panggil. Sementara namaku belum juga. Banyak tabungan teman-temanku. Yang paling sedikit baru si Ijep. Badannya besar. Uang tabungan yang diberikan orangtuanya habis di jajaninya. Ibunya si Ijep protes kenapa tabungannya sedikit. Padahal ia selalu menyediakan uang untuk tabungan anaknya. Dipisahkan dengan uang jajan.
Bu dewi menjelaskan apa adanya. Kemudian Bu Dewi menanyai Ijep lembut, “Ijep, jujur ya. Ijep tahu kan apa balasan untuk orang jujur? Allah akan memberinya pahala. Dan tentunya ia akan masuk surga.” Ijep manggut-manggut.
“Benar Ijep selalu dikasih uang tabungan sama mama?” Ijep mengangguk.
“Terus kenapa gak Ijep tabung?” Ijep diam.
“Ijep jajanin uangnya?”
Ijep mengangguk. Jelaslah semuanya. Ibu si Ijep baturo-turo pada anaknya. Malu.
Amy sudah dipanggil. Cukup banyak tabungannya. Sekarang tinggal aku satu-satunya di dalam kelas. akhirnya, Bu Dewi memanggilku. Ia memberikan raporku. Aku heran kenapa Bu Dewi tidak langsung memberikan uang tabunganku, seperti teman-temanku yang lainnya.
Kemudian Bu Dewi menjelaskan. Katanya, uang tabunganku digunakan untuk membayar uang sekolah. Uang sekolahku sudah dua bulan tidak dibayar. Lagi katanya, Amak belum membayar uang sekolahku. Pemotongan itu harus dilakukan Bu Dewi, karena Amak juga tidak datang sekarang. Begitu penjelasan Bu Dewi.
Aku tidak bisa berkata-kata. Air mataku jatuh. Uang itu untuk jalan-jalan rencananya. Itu berarti aku tidak bisa pergi jalan-jalan. Kalau dijemput pulang, Amak dan Apak juga tidak di rumah. Aku pulang berurai airmata. Bu Dewi melepas kepergianku dari depan pintu. Mungkin beliau iba. Aku ingin mengadu pada Etek, tapi ternyata Beliau sudah pulang. ***



[1] Adik perempuan Ibu (Bahasa Minang), sama dengan Bibi.
[2] Panggilan orangtua perempuan/Ibu.
[3] Panggilan untuk suami Etek.
[4] Bapak, Ayah
[5]Ikan laut yang dikeringkan; ukurannya lebih besar sedikit dari teri  
[6] Jungkat jangkit
[7] bougenville
[8]  Lantana camara, nama latinnya
[9] Cabe digiling, orang Minang biasa menyebutnya Samba Lado. Biasanya samba lado dibuat dengan cara cabe di rebus, kemudian digiling dengan mencampurkan tomat, bawang, dan garam secukupnya.
[10] Kumuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIS-HADIS TENTANG AKHLAK KONSELOR ISLAMI

HUBUNGAN ANTAR BUDAYA (Penulis Makalah: Fitria Osnela, Frischa Erdila, dan M. Hasby Jamil)

KONSEP DASAR TENTANG HUBUNGAN MEMBANTU (HELPING RELATIONSHIP)