Sesuatu yang Seperti Bekas Gigitan Nyamuk (Edisi KKN)
Pertama kali
menginjakkan kaki, aku sudah merasakan betapa panasnya Korong Bayur. Panas
laut. Aku butuh menyesuaikan diri dengan kondisi ini, terlebih ketika
mengetahui bahwa ternyata air sumur rumah Bu Kamek yang kami gunakan untuk
mandi berwarna kuning kecoklatan. Hari kedua di sini, aku sudah mulai merasakan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang seperti bekas gigitan nyamuk, menyebar hampir
di seluruh badan. Itu sangat menyiksa. Aku butuh fresh care selalu di tangan.
Awalnya, kupikir ini akan hilang
dalam waktu tiga atau empat hari. Tapi ternyata sudah lebih satu minggu belum
juga hilang. Aku belum ingin memberitahukan kepada Amak di rumah, karena
takut Amak khawatir. Akhirnya dengan
ditemani Jaini, kuputuskan untuk berobat ke bidan desa yang berjarak 6 buah rumah dari posko.
Bidan
desa tersebut mengatakan bahwa aku alergi. Ia memberikan tiga jenis obat untuk
dua kali makan pada waktu berbuka dan sahur. Namun, gatal-gatal itu tetap
terasa. Bahkan terasa lebih menyiksa dari sebelumnya. Aku mulai khawatir. Hari
Rabu malam tanggal 25 Juli 2013, kuputuskan untuk memberitahukan ke rumah. Amak
menyuruhku pulang. Aku yang sudah sangat rindu ingin pulang seperti mendapat
kesempatan, karena kami boleh minta izin meninggalkan lokasi karena alasan
tertentu, salah satunya sakit.
Kamis
pukul tujuh pagi, aku pulang. Sendiri melewati Rajang[1]
memang membuatku sedikit was-was. Aku enggan minta bantuan pada kawan-kawan
untuk mengantar karena tidak ingin merepotkan melihat jarak antara Korong Bayur
dengan Pasar Kampung Dalam tempat menunggu angkot ke Pasar Pariaman lumayan
jauh. Memang, untuk pulang kami harus naik angkot di Pasar Kampung Dalam sampai
ke Terminal Pasar Pariaman. Dari sana, naik angkot lagi ke Simpang Lapai. Di
Simpang Lapai naik bus Melsy Trans dengan tujuan Bukittinggi. Nah, dari
Bukittinggi baru naik bus Emkazet ke Sawahlunto.
Sesungguhnya
aku tak tahu jalan. Memang beberapa hari yang lalu kami sudah jalan-jalan ke
Pantai Gondoriah yang terletak tak jauh dari Pasar Pariaman, tapi mengenai di
mana letak Simpang Lapai, aku belum
tahu. Seorang tukang ojek menawarkan jasanya padaku. Setelah berpikir, aku
memutuskan langsung ke Simpang Lapai dengan menggunakan Ojek. Tarif yang
dimintanya lumayan murah, 10 ribu. Padahal kupikir-pikir, letak Simpang Lapai
sangat jauh.
Perjalanan
Pariaman-Bukittinggi-Sawahlunto cukup melelahkan. Aku sampai di rumah pukul
tiga sore. Rindu itu lepas. Di rumah, Amak merebuskan-ku sedandang air dengan
daun sirih dan daun kunyit. Untuk mandi, kata Amak. Sorenya, dengan diantar
Etek aku berobat ke Bidan Ari. Bidan Ari merupakan Bidan yang ditempatkan di
Pustu desaku. Keluargaku sering berobat ke Pustu sehingga sudah sangat kenal
dengan Bidan Ari. Beliau memberiku obat makan dan obat berbentuk butir-butiran
halus yang digunakan untuk mencampur air mandi yang digunakan. Butiran-butiran
halus tersebut membuat air berubah warna menjadi merah. Gunanya melenyapkan
bakteri.
Usai
dari Bidan Ari, Etek mengajakku ke kedai untuk membeli sabun Esepso Shoap yang berwarna hijau gelap
dan bedak tabur Caladdin, tapi yang
ada hanya Herocyn. Pemilik kedai
berseloroh, katanya; ha, siapo lho yang
dek kodou ko?
Aku
cemberut. Ku jawab; dag dek kodou do, Da…
gatau-gatau. Tapi urang KKN di Pariaman, ndak suai udaronyo, alergi aia yo lho…
Etek
dan Pemilik kedai yang biasa kami panggil Da Dodong ini tertawa. Memang, kami sudah sangat kenal.
Esok
pagi, aku kembali ke Pariaman. Satu malam di rumah, sejatinya belum cukup untuk
melepaskan rindu Rencananya aku kembali hari Sabtu pagi, namun karena harus
bayar uang semester dulu ke Batusangkar, kuputuskan untuk kembali hari Jum’at.
Karena kembali hari Sabtu, kantor pasti tutup. Menunggu Senin, terlalu lama.
***
.
Komentar
Posting Komentar