Mimpi Amak; Adik Tapanggang (Edisi KKN)
Kembali ke lokasi KKN bukanlah
sesuatu yang dirindu. Lebaran usai, menandakan habis pula waktuku di rumah.
Rencana awal, kami kembali ke lokasi KKN pada hari Minggu tanggal 11 Agustus
2013. Namun, terasa enggan untuk kembali. Aku minta pendapat pada seluruh orang
rumah, mereka bilang; besok (red; senin) saja kembali ke lokasi KKN. Ini sesuai
dengan hatiku.
Aku ingin mengabarkan pada
kawan-kawan sekelompok bahwa aku akan kembali ke lokasi hari Senin, bertepatan
dengan keinginan itu tiba-tiba Yose sms; bilo
baliak ka pariaman Nela? Yose merupakan Koordinator kelompok kami.
Kubalas dengan cepat; nela hari senin buliah pai dek urangtuo nyo
yose. Buliah kan?
Aku tak sabar menunggu balasan sms
itu. Terasa lama sekali. Maka kukirim sms itu banyak-banyak pada Yose. Entah
karena smsku yang sudah terlalu banyak atau karena memang ingin membalas smsku,
sebuah pesan masuk dari Yose. Tak apa, katanya. Ia juga akan kembali ke lokasi
hari Senin. Alhamdulillah.
Senin pagi-pagi sekali aku berkemas.
Ketika sarapan, Amak bilang bahwa ia bermimpi tentang aku. Cerita dalam mimpi
itu begini; aku tinggal sendiri di rumah. Namun tiba-tiba saja muncul api yang
sangat besar. Amak yang saat itu ada di luar rumah berusaha mematikan api. Amak
hanya sendiri, tidak ada seorangpun yang membantu; kata Amak. Mati-matian Amak
berusaha mematikan api, tapi Amak gagal. Aku tidak bisa diselamatkan. Adik mati tapanggang, Amak manangih
sajadi-jadinyo, sadang manangih-nangih tu Amak tasintak; cerita Amak.
Aku tersenyum dan bilang itu mungkin karena Amak terlalu khawatir aku pergi sendiri ke Pariaman. Kebetulan Tek Anih (adik sepupu Amak dari pihak Ibu yang datang dua hari lalu dari kampung) juga duduk bersama kami, ia berusaha menafsirkan mimpi Amak. Katanya dengan logat bicara khas Bukik Sileh; tu berarti ado nan banci ka adik mah. Uni pi Amak o tu iyo Uni nan madaman api o nyoh. Tapi Amak kemudian membantah tafsiran mimpi ala Tek Anih. Menurut Amak, jika bermimpi tentang anak (baik anak kandung, anak orang lain, yang penting bermimpi tentang anak) selalu dikaitkan dengan tenang atau tidaknya padi di sawah. Tenang yang dimaksud berupa tidak ada gangguan baik hama tikus, belalang, wereng, atau kekurangan air. Entah mana yang benar dari kedua tafsir mimpi itu, yang pasti aku percaya bahwa mimpi adalah bagian dari aktifitas alam bawah sadar yang terjadi saat tidur. Barangkali tak semua mimpi memiliki makna.
Aku tersenyum dan bilang itu mungkin karena Amak terlalu khawatir aku pergi sendiri ke Pariaman. Kebetulan Tek Anih (adik sepupu Amak dari pihak Ibu yang datang dua hari lalu dari kampung) juga duduk bersama kami, ia berusaha menafsirkan mimpi Amak. Katanya dengan logat bicara khas Bukik Sileh; tu berarti ado nan banci ka adik mah. Uni pi Amak o tu iyo Uni nan madaman api o nyoh. Tapi Amak kemudian membantah tafsiran mimpi ala Tek Anih. Menurut Amak, jika bermimpi tentang anak (baik anak kandung, anak orang lain, yang penting bermimpi tentang anak) selalu dikaitkan dengan tenang atau tidaknya padi di sawah. Tenang yang dimaksud berupa tidak ada gangguan baik hama tikus, belalang, wereng, atau kekurangan air. Entah mana yang benar dari kedua tafsir mimpi itu, yang pasti aku percaya bahwa mimpi adalah bagian dari aktifitas alam bawah sadar yang terjadi saat tidur. Barangkali tak semua mimpi memiliki makna.
Pukul delapan aku sudah naik bus
Emkazet ke Bukittinggi. Tiba di Bukittinggi pukul 11 kurang. Memakan waktu
sedikit lama, karena bus singgah dulu ke Canduang. Ada enam orang penumpang
yang turun di Madrasah Tarbiyah Islamiah Canduang; tiga diantaranya remaja
perempuan yang terlihat lebih kecil daripada Ita, sepupuku. Sementara tiga
lainnya wanita dewasa. Mereka membawa banyak sekali barang bawaan. Yakinku,
tiga remaja itu adalah santri baru di madrasah tersebut, sementara wanita
dewasa adalah Ibu yang mengantarkan mereka. Usai mengantar ke-enam penumpang
tersebut, bus langsung ke terminal.
Bukittinggi tak ramai, barangkali
karena masih suasana lebaran. Aku berkeliling sebentar. Cukup letih, karena aku
menenteng beras di tangan walaupun cuma tiga liter. Aku langsung menuju bus
Melsy. Penumpang masih sepi; hanya ada sepasang suami isteri muda dan anaknya
yang kira-kira baru berusia 6 bulan duduk di kursi depan samping sopir.
Pasangan itu tampak sangat muda. Ah, sekarang orang suka sekali menikah muda.
Belum sampai setengah jam duduk,
sopir bus menyuruh kami pindah ke Bus Melsy yang lebih kecil. Karena kata sang
sopir, bus ini akan berangkat pukul dua. Daripada lama menunggu, penumpang
dipersilahkan pindah ke bus yang lebih cepat berangkat.
Kuperhatikan, bus itu jauh lebih
kecil. Kaca jendelanya tampak tertutup rapat, kecuali yang dibagian dekat pintu
masuk. Penumpang tampak berdesak-desakan. Melihat kondisi yang seperti itu, aku
bisa prediksi jika bersikeras naik bus yang itu, mabuk daratku pasti kambuh.
Kulihat tempat duduk di samping sopirpun sudah di isi; pasangan suami isteri
muda tadi ternyata juga pindah dan duduk di bangku depan.
Aku memilih kembali ke bus pertama
yang kunaiki. Dan mengambil tempat di depan samping sopir. Sopir yang menyuruh
pindah tadi bertanya padaku; baa ndak
jadi pindah diak, oto ko lamo barangkeknyo lai ma, jam duo beko, lai ndak
tagageh?
Ku jawab; ndag baa ghai do, pak. Wak pamabuak, kalau
lai di muko lai nio wak, pak. Nyo lah panuah bantuaknyo, pak. Sang sopir
sepertinya maklum.
Baru pukul setengah satu.
Menunggu itu membosankan, benar.
Nge-net sambil makan friedchicken yang dijajakan pedagang
keliling tak ampuh menghilangkan kebosanan. Pukul dua lewat lima bus berangkat.
Aku tak bisa lagi menahan kantuk. Ketika terbangun kulihat jam sudah
menunjukkan pukul setengah empat, tapi bus baru memasuki Padang Panjang. Macet.
Pukul lima bus tiba di Lembah Anai. Lagi-lagi
macet. Beberapa meter dari air terjun, bus tiba-tiba berhenti mendadak. Ada
kerusakan pada rem, minyak remnya kurang; kata si sopir. Bus berhenti. Aku
mulai khawatir, tapi kucoba yakinkan hati bahwa bus ini pasti tak kan mogok
lama. Kami sebentar lagi pasti berangkat.
Beruntung, di dalam bus ada seorang
teman yang juga lokasi KKN-nya di Nagari Campago, tepatnya di Kampung Tanjung.
Namanya Dian. Mahasiswi Program Studi Bahasa Inggris. Aku benar-benar
bersyukur. Jika sendiri, sedikit banyaknya aku pasti menitikkan airmata.
Perjalanan masih jauh.
Senja mulai turun. Bus tak kunjung menunjukkan
tanda-tanda membaik. Aku berani jamin, si sopir hanya ahli mengemudikan mobil,
tidak halnya dengan memperbaiki. Aku memberi kabar ke rumah. Pun ke lokasi. Aku
pasti malam sampai di lokasi. Membayangkan ini, cukup ngeri. Mengingat tak ada
transportasi yang dapat digunakan pada malam hari untuk mencapai lokasi KKN
yang berada di Kampung Dalam selain ojek. Naik ojek malam-malam seperti ini
membuat bulu kudukku meremang. Jalan satu-satunya; dijemput. Maka aku minta
tolong pada kawan-kawan yang telah berada di lokasi untuk menjemputku di
Simpang Lapai.
Aku ingat mimpi Amak tadi pagi.
Inikah maksud mimpi itu? Percaya atau tidak, inilah yang terjadi. Terbakar adalah sebuah musibah, bus mogok
diperjalanan juga sebuah musibah. Aktor utamanya adalah aku. Entahlah.
Sudah pukul setengah delapan.
Penumpang sudah banyak berkurang. Mereka lebih memilih mencari sendiri mobil
lain. Aku dan Dian juga berencana berangkat dengan bus Melsy lain, namun semua
bus yang kami lihat penuh. Penumpang banyak yang tidak mendapatkan tempat
duduk. Seorang Ibu paruh baya dengan tujuan Sungai Limau menguatkan kami; sopir
bus akan mencarikan mobil lain. Kami bertahan, menunggu bus kembali sehat atau
menunggu sang sopir mencarikan kami mobil pengganti.
Seorang penumpang yang tadi duduk
di sampingku tiba-tiba mendapat tumpangan; Mobil L300 dengan sebuah sepeda
motor terikat di belakangnya. Aku bertanya pada penumpang itu, bolehkah kami
ikut menumpang dengannya. Ternyata boleh. Sopir bus tadi memberikan ongkos kami
pada sopir mobil L300. Penumpang yang tinggal hanya delapan orang dewasa dan
tiga anak-anak. Semua akhirnya ikut menumpang. Jadilah kami berangkat ke Pariaman
dengan menggunakan L300. Ahamdulillah. Beruntung malam itu hujan tak turun.
Sopir L300 orang yang baik. Ia
bersedia mengantar penumpang sampai ke tujuan. Berhubung lokasi KKN-ku lumayan
jauh, aku dan Dian minta diantar sampai ke Simpang Toboh; Simpang terdekat
mencapai Nagari Campago. Kami sampai di sana pukul 10 malam. Aku berterimakasih
pada Yose dan Icha yang telah bersedia menjemputku malam itu.
Bagiku dan barangkali juga Dian;
ini adalah pengalaman menarik lain yang kutemui selama masa KKN. Lagi-lagi,
sebuah pengalaman yang tak akan pernah dilupakan.***
Komentar
Posting Komentar