Bu Kamek dan Pak Lambok (Edisi KKN)
10
Juli 2013 lalu, hari pertama menginjakkan kaki di Korong Bayur, kami langsung
dibawa oleh Wali Korong ke Rumah ini. Rumah dengan cat oren gelap. Rumput
Jepang rapi terhampar di halaman; menunjukkan betapa pemilik rumah sangat
telaten merawatnya. Memasuki ruang tamu kami disuguhi oleh sebuah sofa berwarna
krem muda yang sudah tampak tua. Sementara
lemari pembatas berwarna merah kecoklatan berdiri gagah beberapa meter
di depan sofa; tepat menyandar ke dinding yang membatasi ruang tamu dengan
ruang lain, barangkali ruang keluarga atau mungkin dapur. TV LG 20 inch menjadi satu-satunya pemuncak
kegagahan lemari tua itu; seorang lelaki kira-kira berusia 65 tahunan tampak
menikmati acara TV siang itu; sebelum akhirnya kedatangan kami mengusiknya.
Perkenalan
dan serah terima yang singkat dari Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) kepada Wali
Korong dan pemilik rumah menandai bahwa di sinilah kami akan menghabiskan 45
hari masa KKN ini. Beruntung, kami tak tinggal se rumah dengan teman lelaki.
Aku tersenyum geli ketika mengingat bagaimana Pak Asmendri, DPL kami meminta
kepada Wali Korong sebaiknya kawan kami yang lelaki tinggal di Musholla namun
wali Korong tidak mengizinkan dengan alasan; urang piaman gadang cameeh. Bagaimanapun Pak Asmendri berharap,
tetap tak mengalahkan cemeeh urang
kampuang dalam pikiran Wali Korong. Walhasil, tiga orang anggota kelompok
kami yang laki-laki mendapat tempat penginapan di rumah salah seorang warga,
namanya Bu Dayang.
Baik,
kita kembali pada rumah dengan cat oren gelap. Usai perkenalan dan serah terima
kami langsung dipersilahkan berbenah oleh pemilik rumah dengan menempati dua
kamar tidur. Barangkali mengingat kami yang banyak tidak akan muat dalam satu
kamar. Ternyata, ruangan lain dibalik dinding itu adalah ruang keluarga dengan
satu kamar. Ada ruangan lagi setelah itu; sebuah ruang makan besar yang juga
difungsikan sebagai dapur. Di ruangan ini, terdapat dua kamar lagi. Nah, kami
ditempatkan di kamar yang terletak di ruang keluarga dan satu kamar belakang.
Rumah besar itu hanya dihuni oleh sepasang
suami isteri tua, Bu Kamek dan Pak Lambok. Tinggal berdua, bukan berarti Bu
Kamek dan Pak Lambok tidak memiliki anak. Mereka memiliki empat orang anak yang
saat ini merantau di pulau jawa. Tiga diantaranya sudah berkeluarga.
Selama
tinggal di rumah ini, banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan. Bu Kamek
dan Pak Lambok merupakan pasangan yang sangat menjaga kebersihan dan kerapian.
Oleh karena itu, kami harus pandai-pandai
menjaga hal ini. Pernah suatu ketika aku sedang menyendok nasi dari
periuk ke Magic Jar (kebetulan saat
itu listrik mati sehingga kami masak nasi di kompor), tiba-tiba saja Pak Lambok
menghampiriku sambil membawa sebuah piring dan berkata; ndeh kau piak, aleh jo piriang ko, lodah.
Terang aku kaget saat itu,
apalagi suara Pak Lambok yang lumayan keras. Memang, saat itu aku meletakkan
saja tempat nasi Magic Jar itu di
atas lantai tanpa alas, karena kupikir sebelum diletakkan kembali ke dalam Magic, periuk itu dilap terlebih dahulu.
Aku menyadari bahwa sebetulnya aku yang salah.
Pak
Lambok merupakan pribadi yang cepat naik darah. Kami sering secara sengaja
bahkan tak sengaja mendengar beliau marah-marah pada Bu Kamek. Kadang pikiran
negatifku mengatakan itu karena keberadaan kami di sini. Tapi Bu Kamek mengatakan
bahwa apapun yang dikatakan Pak Lambok, jangan dimasukkan ke dalam hati, karena
memang pribadi Pak Lambok yang seperti itu.
Suatu
hari saat duduk dengan ibu menonton TV, barangkali untuk membuat kami betah di
sini dengan kepribadian Pak Lambok yang suka marah-marah, Bu Kamek bilang; Ibu je yang tahan jo apak kau tu , kok ndak jo ibu nyo a ndak nio ughang lai. Aku
tersenyum. Lalu Ibu bilang padaku sebaiknya jangan mencari suami yang suka
marah. Aku bertanya; bagaimana cara kita tahu dia pemarah atau bukan. Ibu
jawab; lihat bagaimana ayahnya. Ibu lalu
bercerita tentang anak-anaknya yang jarang pulang karena tidak tahan dengan
sikap Pak Lambok yang acapkali marah, bahkan hanya karena hal sepele.
Begitulah,
lain Pak Lambok lain pula Bu Kamek. Mezna, demikian nama asli Bu Kamek. Wanita
yang lahir pada tahun 1958 silam ini pada mulanya tidak tahu asal mula
orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kamek. Barangkali memang karena dirinya
yang Kamek[1],
sehingga panggilan itu lekat padanya sampai hari ini. Meski sudah berusia 55
tahun, garis-garis kecantikan Bu Kamek masih kentara.
Melalui
beliau, di sini kami benar-benar merasa memiliki seorang Ibu. Beliau sejatinya
sosok penyayang. Beberapa waktu lalu dua
ekor induk kambing Bu Kamek beranak. Masing-masing dengan dua anak. Salah satu
induk tak mau menyusui seekor anaknya, sehingga si anak kambing sangat lemah.
Nah, Ibu membelikan susu SGM untuk si anak kambing. Tiga kali sehari Ibu
memberi susu itu dengan menggunakan dot pada si anak kambing kecil yang malang.
Perlakuan Ibu yang sangat menyayangi hewan peliharaan ini, mengingatkanku pada
Amak. Aku ingat, dulu ketika kami masih punya kambing peliharaan Amak pernah
melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Ibu. Bedanya, dulu Amak
menggunakan air didihan nasi. Ketika ternak sapi kami terlihat sakit Amak
memberikan obat bahkan meremaskan daun
kapuak dan meminumkannya pada si sapi.
Meski
begitu, kami juga sering kena marah oleh Bu Kamek. Tapi kami tahu marah beliau
karena ulah kami. Pun ketika Nina menangis karena dimarahi Ibu. Walau aku tak
menyaksikan langsung kejadian itu, menurut cerita kawan-kawan saat itu kami
kehabisan Air Galon. Lalu kebetulan di depan rumah ada penjual Galon keliling
yang berbeda dengan langganan yang ditunjukkan oleh Ibu pada kami. Karena air
habis, Nina lalu membeli galon itu.
Namun
apa yang terjadi? Ibu marah. Nina yang notabene anak tunggal dan barangkali
tidak pernah kena marah, langsung menangis. Tapi kemudian aku tahu, kenapa Ibu
marah. Galon yang dibeli Nina bertarif lebih mahal dari galon yang ditunjukkan
Ibu pada kami. Sejatinya, Ibu hanya ingin menunjukkan yang terbaik, kalau kami
membeli galon yang murah, bukankah dapat menghemat pengeluaran?
Sama
halnya ketika Ibu marah padaku ketika aku membeli serai dan daun kunyit. Ibu bilang
jangan beli serai dan daun kunyit; ibu punya tanaman itu di samping rumah. Tapi
aku yang merasa tidak ingin merepotkan selalu membeli dua bahan itu diantara
bahan belanjaan lain sehingga ketika ibu melihatnya aku sudah bersiap untuk
menerima apa yang akan terjadi.
Satu
kalimat yang sering diucapkan Ibu yang menjadi pameo bagi kami; Sumbaghang e kau mah. Diucapkan dengan
keras dan pengucapan kata ‘kau’ yang
terdengar seperti ‘qou’; huruf o dan u diucapkan tipis sehingga seolah-olah
jika diucapkan secara cepat terdengar seperti mengucapkan kata ‘ku”. Nadanya
begitu khas.
Dari
sekian banyak yang kuceritakan, kebaikan kedua pasangan ini pun tak terhingga.
Ingat, ketika kami ingin sayur, lalu Ibu mencarikannya. Ketika kami tak punya
sambal, lalu Ibu membagi sambalnya. Pada bulan ramadhan, Ibu sering menerima
orang yang manjalang dan kami selalu
kecipratan rezeki. Bahkan suatu ketika aku melihat Ibu memanaskan gulai atau kalio yang kami buat.
Hari
ini, Ibu membagi-bagikan jelbabnya pada kami. Cukup banyak. Anak perempuan beliau dulunya menjual jelbab,
sehingga banyak jelbab-jelbab tersebut yang bersisa dan tidak terpakai.
Jelbab-jelbab itu masih bagus. Masing-masing kami (tentu hanya yang perempuan)
mendapat dua buah jelbab. Bahkan ada yang tiga. Ini tentu kami anggap sebagai
kenang-kenangan yang diberikan Ibu pada kami.
Secara pribadi, aku sungguh merasa seperti di
rumah sendiri saat berada di sini. Aku menganggap Bu Kamek layaknya Amak.
Ketika beliau marah, akupun ingat Amak. Pernahkah kita dimarahi atau diomeli
oleh Ibu kita masing-masing karena kesalahan kita? Lalu ketika jauh dari
beliau, ketika kita berbuat kesalahan dan tak ada yang memarahi, bukankah
kemarahan itu menjadi sesuatu yang dirindu? ***
Hebat tulisannya...
BalasHapusterimakasih pak. apakah bapak masih ingat saya pak.. saya dulu adalah mahasiswa bapak dan bapak dosen pembimbing lapangan ketika saya KKN di Pariaman dulu🙏
Hapus