PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
|
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan
tertua di Indonesia.
Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Lembaga
pesantren telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran
dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa. Begitu juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir
semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling
tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji
lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang
terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan,
sistem yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik
yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi
magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat
manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah
membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu
ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa
kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah, karena kita
sebagai umat Islam hendaknya mengetahui bagaimana keadaan lembaga pendidikan
Islam khususnya pesantren baik pada masa dahulu hingga sekarang, serta
kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh pesantren.
|
1.
Dasar Pemikiran Pesantren
sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya
ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak Islam tidak hanya belajar di Mesjid tetapi
juga pada lembaga ketiga yaitu “kuttab” yang artinya pesantren. Kuttab
dengan karakteristik khasnya merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang
semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah. Pada tahap
berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana
dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh
pendidik dan peserta didik.[1]
Dasar yang menjadikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yaitu :
a.
Pendidikan pesantren mencanangkan
tujuan sebagai berikut :
1)
Mencetak ulama yang menguasai
ilmu-ilmu agama.
2)
Mendidik muslim yang dapat
melaksanakan syariat Islam. Lulusan pesantren walaupun mereka tidak sampai ke
tingkat ulama tetapi mereka mempunyai kemampuan dalam melaksanakan syariat
agama.
3)
Mendidik objek agar memiliki
keterampilan dasar yang relevan dengan terbentuknya masyarakat yang beragama.
b.
Pandangan bahwa pendidikan
pesantren perlu dikembangkan.
c.
Karena adanya kenyataan peserta
didik di sekolah umum diwajibkan belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) sejak Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi.
d.
Integrasi nilai-nilai agama dengan
perilaku dalam berbagai kawasan masyarakat mendorong adanya keperluan untuk mengintegrasikan
nilai-nilai agama yang secara strategis bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist
nabi.
e.
Munculnya kebutuhan akan adanya
para ahli yang menguasai ilmu teknologi dengan perspektif Islam.[2]
Lulusan pesantren meskipun tidak sampai ke tingkat
ulama mereka mempunyai kemampuan yang lebih dari masyarakat kebanyakan dalam
bidang agama. Sehingga mereka mempunyai kemampuan melaksanakan syariat agama
Islam dalam rangka mengisi, membina dan mengembangkan suatu peradaban dalam
perspektif Islam walaupun mereka tidak tergolong ulama yang menguasai ilmu-ilmu
agama secara khusus. Dengan kata lain, aspek praktisnyalah yang
dipentingkan.
2.
Unsur-unsur Sebuah
Pesantren
Di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam
terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di
Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa). Pondok
pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah
santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada
unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai, mesjid, santri, pondok dan kitab Islam
klasik (kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan
pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.[3]
a.
Kyai
Kyai merupakan unsur penting dalam pendirian,
pertumbuhan, perkembangan, dan pengurusan sebuah pesantren. Sebagai pemimpin
pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan
kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta keterampilan kyai.
b.
Mesjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan mesjid sangat dekat
dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu
memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga
pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik.masjid
merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Oleh
karena itu, mesjid dianggap tempat yang sangat tepat untuk mendidik para santri
dalam bidang pendidikan khususnya dalam bidang pendidikan Islam.
c.
Santri
Santri juga merupakan unsur yang penting sekali dalam
perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap
membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari
seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang
alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap
untuk pondoknya.
d.
Pondok
Pondok merupakan tempat kediaman kyai dan para santri.
Selain itu pondok juga digunakan sebagai tempat latihan bagi santri untuk
mengembangkan keterampilan dan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri
dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri,
mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
e.
Kitab Islam klasik (Kitab Kuning)
Kitab-kitab Islam klasik yaitu kitab yang dikarang
para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan
agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik
sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab
kebanyakan berwarna kuning.
3.
Sejarah Pesantren di Indonesia
Secara
terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari segi
bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia, sistem
tersebut kemudian diambil oleh Islam. Namun bila kita menengok waktu sebelum
tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Indonesia lebih
dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab
funduq, yang berarti penginapan bagi para musafir. Kata pesantren
sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an"
berarti tempat tinggal para santri.
Potret
Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional
dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah
bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa
tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal.
Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek
pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya
santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir
mutlak.
4.
Kelemahan Pesantren
Sudah
terbukti selama berabad-abad lamanya, institusi pendidikan yang mampu
memproduksi manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur, berilmu dan beramal
hanyalah pendidikan yang bersistem kepesantrenan. Walaupun sistem ini belumlah
bisa diberi nilai sempurna karena pesantren masih cenderung defensif
terhadap perkembangan zaman. Beberapa kelemahan dari pesantren antara lain
sebagai berikut:
a.
Banyak pesantren yang tidak dapat
mencapai tujuan pendidikannya, yaitu mencetak kader ulama sekaligus pemimpin
umat dan pemimpin bangsa.
b.
Umumnya pendidikan pesantren tidak
memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai (fisik, personal dan
finansial). Masalah kelangkaan sarana dan prasarana sebenarnya dapat diatasi dengan kerjasama
lintas sektoral, seperti kerjasama antar lembaga pendidikan yang tidak sejenis
dan kerjasama umat dalam hal menyisihkan dana dari penghasialn mereka.
c.
Lembaga pesantren memiliki kesan
tradisional, sehingga tidak menjadi pilihan untuk kemajuan. Kesan tradisional
sebenarnya mitos hanya karena lulusan pesantren tidak semua diangkat menjadi pegawai
negeri. Sebenarnya, banyak lulusan pesantren dapat menciptakan lapangan kerja
sandiri, misalnya mendirikan mendirikan pesantren sendiri. Meskipun demikian
kesan tradisional akan tumbuh terus apabila lulusan pesantren tidak memiliki
kepribadian yang kompetitif dengan lulusan pendidikan lain.
d.
Pemilikan lembaga oleh keluarga
atau kelompok. Pemilikan lembaga oleh keluarga atau kelompok tidak akan berdosa
apabila lulusannya memiliki daya fastabiqul khairat (kompetensi dalam
kebenaran).
e.
Pesantren dikesankan ekslusif.
f.
Pengelolaan pesantren cenderung
kurang professional. Pengelolaan proses pendidikan pesantren secara
professional dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1)
Kerjasama antar pesantren.
2)
Studi banding antara lembaga
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan umum.
3)
Menggunakan teknologi canggih yang
sudah dapat dikuasai seperti komputer, tenaga professional, menentukan
cangkupan bahan ajar dan sebagainya.
4)
Melakukan rencana program studi
tahunan.
5)
Mengkaji ulang cangkupan bahan
ajar.
5.
Kelebihan Pesantren
Dalam catatan sejarah, pesantren dinilai tidak hanya
mengandung nilai keislaman saja, tetapai juga mengandung makna keaslian Indonesia.
Kenyataan ini tidak lepas dari proses panjang islamisasi yang dilalui, dimana
pesantren ikut terlibat didalamnya. Selama proses tersebut pesantren dengan
canggih telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola
kehidupan masyarakat sekitar. Kelebihan pesantren antara lain sebagai berikut:
a.
Lembaga pendidikan pesantern masih
diterima sebagai lembaga pendidikan alternatif. Lamanya waktu pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia serta berhasilnya proses dakwah mempertahankan
kesepakatan bahwa lembaga pendidikan Islam masih perlu ditingkatkan dari tahun
ke tahun. Selain itu keterbatasan tempat dan kurang cerahnya harapan lulusan
sekolah umum menolong kedudukan lembaga pendidikan pesantren melaksanakan
program studinya, baik secara menyeluruh maupun trebatas.
b.
Kuantitas lembaga pendidikan
pesantren memiliki jumlah yang lebih besar daripada lembaga pendidikan umum.
c.
Adanya tradisi keagamaan dan
kepemimpinan pada pesantren yang merupakan potensi nasional untuk pembangunan,
khususnya pembinaan keimanan dan ketakwaan yang menjadi tujuan pendidikan
nasional.
d.
Terbuka untuk pembaharuan.
e.
Keakraban antar santri dan kyai
yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup.
f.
Kemampuan pesantren mencetak
lulusan yang punya kemandirian.
g.
Kesederhanaan gaya hidup komunitas pesantren.[4]
Jadi dapat disimpulkan kelebihan dari pesantren yaitu:
a) pesantren unggul dengan produktifitasnya dalam menghasilkan pribadi-pribadi
yang berakhlaqul karimah, b) sistem
pondoknya memungkinkan pendidik (kyai) melakukan tuntunan dan pengawasan
langsung pada santrinya, c) keterikatan psikologis orang tua muslim dengan lembaga-lembaga
pendidikan agama masih kuat.
6.
Pesantren Dahulu dan Masa
Kini
Dalam catatan sejarah, pesantren dikenal di Indonesia
sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di
Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para
santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di
antara para santri ada yang berasal dari Gowa, Talo dan Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya
pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan
studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka
dapatkan di pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik
segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal
itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Ciri
khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang
kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih
seperti anak dan orang tua. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak
dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama
bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka
dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan
lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti
fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan
rujukan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih
mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu
adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum
menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu
yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran
bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu
bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan
keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup
menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk
nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang
Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang
ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek)
dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak
ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan
sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia
dapat dibagi kepada dua periodisasi yaitu pertama, periode Ampel (salaf) yang
mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang
mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi
ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor.
Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana
Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada. Justru
yang menjadi cikal bakal Gontor adalah pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian
di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah
kepesantrenan di Indonesia.[5]
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada
bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di
perguruan tinggi, tapi juga pada gaya
hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana
dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa
dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada
setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi
hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan),
maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju
menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak
beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk
mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman.
Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran
utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti
perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren
yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di
antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang
Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan
bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan
Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala
cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu:
berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada
gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan
duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah
maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang
kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor
telah memenuhi kebutuhan di segala bidang kehidupan di negeri ini.
Satu persamaan yang dimilki dua mazdhab ini
adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya,
dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
|
[1]
Abdul Mudjib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006), cet
1, h. 228
[2]Jusuf
Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : Gema Insani Press. 1995) h. 183
[3] Imam Hamidi Antassalam, Unsur-Unsur Pesantren, tersedia :
hhtp://jogjakartasantri2020.blogspot.com/unsur-unsur pesantren.html, 28 Oktober
2009
[4]
Jusuf Amir Feisal, , op. cit. h. 188
Komentar
Posting Komentar