Merangkai Huruf menjadi Cerpen dan Puisi
Oleh Fitria Osnela
Batusangkar,
Idealita-
Jum’at (05/10/2012) pukul 13.45 WIB, saya (Fitria Osnela, KI/BK V) dan
rombongan yang terdiri dari Iisra Darmawati (KI/BK V), Niza Gusni (TBI V),
Hendro Saputra (PAI III), dan Sahari Ramadhani (Alumni TBI, telah diwisuda pada
September 2012), berangkat dengan menggunakan ojek ke Pagaruyung. Kami
merupakan rombongan pertama, karena setelah ashar nanti rombongan kedua dari
Idealita akan menyusul. Tujuan kami adalah aula BP3 (Balai Penelitian dan Pelestarian
Purbakala) Sumbar-Riau-Jambi, tempat diadakannya workshop Cerpen-Puisi.
Di depan Gedung
BP3, kami telah ditunggu oleh Rezi Maswar (Dewan Redaksi Idealita 2011/2012)
dan Riki Eka Putra (Korlip Idealita periode 2011/2012). Mereka adalah panitia
dalam acara ini, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Tanah Datar. Mereka
mengantar kami menuju aula. Setelah Registrasi, kami masuk. Di dalam ternyata
sudah ada beberapa peserta. Mereka dari SLTA se- Tanah Datar. Ya, acara ini
memang dikhususkan untuk mahasiswa dan siswa SLTA se-Tanah Datar. Hanya saja,
dari mahasiswa STAIN Batusangkar, Idealita adalah satu-satunya peserta.
Idealita pun berbagi dengan mahasiswa lain yang bukan anggota Idealita. Dari
rombongan pertama ini, hanya saya yang kru Idealita.
Pukul 15.00
WIB, pembukaan dimulai. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pariwisata,
Pemuda, dan Olahraga. Kepala Dinas Pendidikan Tanah Datar, Ketua Dewan Kesenian
Tanah Datar, dan Anggota DPRD Tanah Datar turut hadir pada acara pembukaan ini.
Workshop Cerpen-Puisi ini menghadirkan pemateri yang handal dibidangnya. Untuk
cerpen, sebagai pematerinya adalah Gus Tf Sakai dan Yetti A. KA. Sedang untuk
puisi, pematerinya adalah Iyut Fitra dan Esha Tegar Putra. Ditengah acara
pembukaan, rombongan kedua dari Idealita datang, mereka adalah Sry Rahmy
Saputry (Pimpinan Perusahaan), Sri Wahyuni (Pimpinan Redaksi), Ratu dan Ratih
Komala Sandy (Reporter).
Usai pembukaan,
kami istirahat sholat di mushola. barang bawaan kami letakkan di mess. Kemudian
kami berkumpul di aula II BP3 yang lebih besar dari aula pertama tadi. Di depan
kami telah duduk 4 orang pemateri. Acara diawali dengan perkenalan dari
peserta. Ternyata, adik-adik dari SLTA lumayan banyak yang datang. Kemudian
perkenalan dilanjutkan oleh pemateri.
Siapa tak kenal
Gus Tf Sakai, beliau adalah cerpenis asal Payakumbuh yang sudah memperoleh
penghargaan di Thailand dan Indonesia. Gus Tf (kemudian kami memanggilnya
dengan ‘om Gus’) mengungkapkan bahwa devenisi menulis di dunia Pendidikan dan Sastra berbeda. Di dunia pendidikan lebih
kepada teori, sementara di sini praktek. Di sini, devenisi menulis adalah
menulis dan menulis.
Pemateri kedua,
Iyut Fitra. Beliau juga penyair asal Payakumbuh. Usai perkenalan, Iyut Fitra
membacakan puisinya, Explanade. Kata
beliau, puisi ini ditulis di Australia. Kami terkesima oleh pembacaan puisi
Iyut Fitra. Kemudian, Iyut Fitra yang biasa dipanggil Kuyut berhenti. Kami menunggu.
Tapi ternyata, beliau bilang, “habis”. Kami tertawa. Kuyut menjelaskan bahwa
menulis tidak bisa meninggalkan membaca.
Apa yang akan diberikan kalau tidak ada sesuatu. Seorang penulis penting untuk
memahami sesuatu yang akan dituliskan. Anggap bahwa pembaca lebih pintar.
Sementara
pemateri selanjutnya, Esha Tegar Putra mula menulis sejak 2006. Ia mengaku
bahwa perasaannya lebih terasah ketika menulis puisi. Menulis membuat seseorang
bisa memandang banyak sisi. Walaupun,
menurutnya, tidak ada profes menulis bahkan untuk e-KTP, sehingga ia harus
memilih profesi wartawan untuk e-KTP-nya.
Terakhir, Yetti A. KA. Ibu seorang putra yang kini berdomisili di Batusangkar ini mulai
menulis sejak SMP. Yetti A. KA (kami kemudian memanggilnya dengan Kak Yetti),
mendapatkan penghargaan Pariwisata kategori Fiksi pada tahun 2004. Ia mengaku
menulis punya kejutan-kejutan tersendiri. Contohnya penghargaan itu.
Tak terasa,
jarum jam telah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Sebelum bubar, kami dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok puisi dan kelompok cerpen. Saya memilih kelompok
cerpen, meski sebenarnya saya juga ingin belajar puisi. Om Gus dan Kuyut izin
untuk pertemuan malam nanti karena ada hal penting yang harus dilakukan.
Pukul 20.00
WIB, kami kembali ke Aula II. Ternyata, sudah ada Kak Yetti dan Bang Esha. Kelompok
puisi langsung merapat ke tempat Bang Esha. Dan Saya, bersama kelompok cerpen
dengan Kak Yetti. Di kelompok cerpen ada beberapa orang
diantaranya Ratu dan Ratih Komala Sandy, Sry Rahmy Saputry, Niza Gusni, Iisra
Darmawati, Sahari Ramadhani, Hartati, Emil
Mahmuda , dan Vika Afrigusti.
Diskusi pertama ini dimulai dengan
membahas cerpen salah seorang peserta yang dikirimkan sebagai syarat mengikuti
Workshop Cerpen-Puisi ini. Cerpen pertama yang dibahas adalah cerpen yang
ditulis Ratu, dengan judul ‘Hidup Penuh dengan Pilihan’. Ketika Ratu membacakan
cerpennya, kelompok Puisi, ternyata juga telah memulai diskusi. Salah seorang
peserta puisi terdengar membacakan puisinya. Konsentrasi saya jadi agak
terganggu, suara Ratu yang lemah dihimpit oleh vokal anggota kelompok puisi.
Tapi, itu tak berlangsung lama. Saya kembali bisa berkonsentrasi pada kelompok.
Setelah cerpen Ratu, giliran Vika,
dengan ‘Hanya Lewat Katanya’. Menurut Kak Yetti, cerpen Vika menarik dengan
penceritaan ala remaja-nya. Kemudian cerpen Sahari Ramadhani (kami memanggilnya
Kak Dhani), dengan judul ‘Kado Terindah Darinya’. Menurut Kak Yetti, dalam memilih penokohan, harus diperhatikan
psikologi tokoh. Keimanan tokoh lebih baik ditunjukkan dengan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan tokoh, bukan dengan kalimat-kalimat lontaran
dalam cerita. Ini karena dalam cerpennya, Kak Dhani lebih banyak menggunakan
kata-kata berbau agama, seperti ‘subhanallah, astaghfirullah, alhamdulillah,
dll’. Kak Yetti menegaskan, bahwa agama
adalah soal sisi kemanusiaan bukan hanya sekedar atribut. Sastra, tidak
menghakimi tapi membangkitkan sisi kemanusiaan.
Kemudian, ketika memulai, buka
dengan sesuatu yang nendang. Dalam menulis jangan berfikir. Proses
berfikir dikepala dilakukan setelah 2 atau 3 hari. Turuti aliran fikiran ketika
menulis. Lanjutkan saja apa adanya. Dalam menulis, utamanya cerpen, kita bermain
perasaan, biarkan ia mengalir. Tapi satu hal yang penting, cermati hal-hal
kecil dalam cerpen yang masuk akal atau salah.
Banyak sekali pelajaran yang
diberikan Kak Yetti malam ini. Sebagai penulis pemula, saya sering tidak bisa
menyelesaikan tulisan, karena ternyata selama ini saya sering berpikir. Berpikir
bagaimana kelanjutannya, bukan menulis apa yang ada di dalam kepala. Ternyata,
proses seperti ini sering membuat tulisan terbengkalai.
Selanjutnya, Kak Yetti menyuruh
kami menulis, dengan menggunakan media segelas teh. Memang, pada saat diskusi panitia menyajikan
kami teh dan gorengan. Melihat teh dalam gelas, dan menumpahkannya dalam
tulisan ternyata lumayan rumit. Tapi, akhirnya saya bisa menyelesaikan sebuah
paragraf. Pesan Kak Yetti, bayangkan sesuatu yang tidak nampak. Hufft, sulit
sekali ternyata. Kemudian, secara bergilir, masing-masing kami membacakan hasil
karya. Ada yang bagus, dan ada yang tidak, tentu.
Malam semakin larut. Kami pun
istirahat menuju mess. Karena ruangan mess tidak mencukupi untuk
peserta yang lumayan ramai, terutama dari SLTA, maka penginapanpun dibagi dua.
8 orang di mess, dan selebihnya di
rumah salah seorang panitia yang juga anggota DPRD Tanah Datar.
Sabtu (06/10), pukul 08.42 Wib kami
berkumpul kembali di aula II. Kelompok puisi di aula II dan kelompok cerpen di
aula I tempat pembukaan berlangsung kemaren. Sebelum berpisah, saya sempat
bertanya pada pemateri, tentang penggunaan kata ganti orang pertama dan ketiga
dalam sebuah tulisan. Om Gus, menjelaskan
bahwa penggunaan kata ganti orang pertama dengan kata ‘aku’ terbatas,
menjadi dalam, dan mudah berpihak. Sementara penggunaan orang ketiga bisa
menceritakan semua, dan bermain-main dengan banyak hal.
Kak Yetti pun menjelaskan,
menggunakan kata ganti ‘aku’ harus hati-hati, sesuaikan dengan logika. Sedang
menurut Kuyut, penggunaan kata ganti pertama ataupun kedua tak masalah, yang
penting kelihaian penulis dalam membangun karakter.
Setelah dirasa cukup, kami (rombongan
cerpen) menuju aula I, yang terletak di bawah. Om Gus mengatakan bahwa imajinasi
adalah modal awal penulisan. Kebanyakan orang memulai menulis dengan diary,
pada diary uneg-uneg lebih tinggi, uneg-uneg ini bisa saja menumbuhkan
kepedulian terhadap lingkungan. “Kepedulian itu berbeda setiap orang, sehingga
itu yang membedakan antara pengarang yang
satu dengan lainnya. Dengan tanpa melihat nama bisa tahu siapa pengarangnya, “
jelas Om Gus.
Kemudian, Om Gus membagikan pada
kami selembar kertas kosong. Om Gus menyuruh kami mengarang. Dimulai dari
ujung, sisi kanan dari Ratih dan sisi
kiri oleh Iisra. Semua kami akan mendapat giliran, menyambung pokok pikiran
yang dimulai oleh orang yang mula-mua menulis, dan akan berakhir disisi yang
berlawanan.
Sembari menunggu tulisan itu
selesai, Om Gus menyuruh kami menulis sebuah cerpen dengan tema dua hal yang
berlawanan. Setelah selesai, secara acak Om Gus menyuruh membacakan cerpen
beberapa peserta, dan siapa yang ingin membacakan cerpen ‘dadakan’-nya tersebut.
Hasilnya, lumayan.
Tak terasa waktu zuhur telah hampir
masuk. Kami pun istirahat sholat dan makan siang. Pukul 13.25 kembali memasuki ruangan. Pak Tri (kami kemudian memanggilnya Pak De
Tri) juga ada di dalam ruangan. Ia barangkali melihat bagaimana proses dan progress
kami. Memulai kegiatan siang ini, Om Gus menjelaskan bahwa biasanya sastra
membenturkan kebudayaan, karena sangat mudah mempengaruhi sosial. Dalam sastra,
semakin menggunakan kiasan, akan semakin membuka indera.
Selanjutnya, kami diberi tugas
lagi. Kali ini dengan menggunakan kalimat yang ditentukan oleh Om Gus dan Kak
Yetti. Ada tiga kalimat, dan kami harus memasukkan ketiga kalimat itu dalam
sebuah cerpen. Kalimat pertama berbunyi: “Cahaya keemasan matahari pagi
menerpa bunga-bunga”. Kalimat kedua: “Suara petir menggelegar, bagai
cambuk raksasa yang memukul gendang telinga.” Dan kalimat ketiga: “Ah,
aku lega sekali, bu,” katanya.
Bagi saya, sangat sulit memasukkan
ketiga kalimat itu dalam sebuah cerpen, yang penulisannya hanya dalam waktu
beberapa menit. Sampai waktu habis, saya tak bisa menyelesaikan sebuah tulisan.
Ini berbeda dengan peserta lainnya yang ternyata bisa. Om Gus kemudian menyuruh
beberapa peserta untuk membacakan hasil karya mereka.
Pak De Tri juga ikut memberikan masukan.
Menurut Pak De Tri, dalam membuat sebuah tulisan sangat diperlukan kretifitas.
Kreatifitas berangkat dari yang sebelumnya ada. Ia memberi motivasi pada kami
agar tidak takut untuk mulai menggali kreatifitas itu. Satu hal yang ditekankan
Pak De Tri, menulis itu harus jujur dan jangan takut dikritik. Kritik yang
paling baik itu adalah dari lawan, karena lawan pasti akan mengatakan yang
sejujurnya.
Waktu terasa cepat sekali berlalu.
Ashar masuk, kamipun kembali istirahat untuk sholat. Usai sholat, kami kembali
melanjutkan kegiatan. Sore ini kami diberi latihan oleh Om Gus, memperbaiki
teks buta. Sebuah teks diberikan pada kami, kami memperbaikinya dengan ejaan
dan kaidah tata bahasa yang benar. Om Gus dan Kak Yetti menjanjikan reword sebuah
buku karya mereka jika kami bisa memperbaiki dengan tepat. Tapi, setelah 3 kali mengulang dengan teks buta
yang berbeda, tak satupun diantara kami yang benar semua. Buku mereka pun tak
kami dapatkan. Di sini, kami belajar banyak hal tentang penggunaan tanda baca,
bagaimana menentukan lanjutan paragraf, dan lain-lain. Kami diberi tugas oleh Om
Gus dan Kak Yetti untuk membuat sebuah cerpen dengan tema bebas dan dikumpul besok pagi.
Malam minggu, pukul 19.44 WIB kami
kembali ke ruangan, untuk membedah cerpen yang kami tulis bersama secara
bersambung tadi. Setelah dibacakan, ternyata hasilnya membuat kami tertawa.
Yang tercipta adalah cerpen bingung. Setiap paragraf tidak medukung paragraf
sebelumnya, mungkin karena ditulis oleh orang yang berbeda jadi banyak hal yang
tidak logis dan tidak konsisten hingga akhir cerpen. Usai membahas cerpen, dilanjutkan dengan diskusi bebas.
Paginya, pukul 09.00 WIB setelah
sarapan dengan sekotak nasi goreng dan segelas teh manis, kami kembali
berkumpul di aula. Kami membahas cerpen yang telah kami buat tadi malam. Ah,
saya mengantuk sekali karena begadang menyelesaikan cerpen itu.
Cerpen-cerpen itu di bahas dan
dikoreksi oleh Om Gus dan Kak Yetti. Saya tak sabar menunggu cerpen saya
dikoreksi. Karena waktu yang singkat, mengingat masih ada agenda setelah ini,
cerpen-cerpen itu hanya dibacakan dan diberi komentar saja. Akhirnya, cerpen
sayapun dibacakan oleh Om Gus.
Jarum jam telah menunjukkan pukul
14. 10 WIB siang. Usai sholat dan makan siang, kami (kelompok Puisi dan Cerpen)
berkumpul kembali di Aula II yang terletak di atas. Pak De Tri menjelaskan pada
kami tentang BP3. Kemudian kami diajak ke ruangan tempat koleksi-koleksi
artifisial benda-benda purbakala disimpan. Ruangan itu terletak tepat di depan
Aula. Banyak sekali koleksi-koleksi benda-benda bersejarah di ruangan ini yang
kesemuanya itu berasal dari Sumbar-Riau-Kepri. Koleksi yang ada di sini
menjelaskan tentang sejarah peradaban manusia di wilayah ini, sejak zaman
pra-sejarah, zaman klasik, ketika nusantara didominasi oleh agama buddha-hindu,
dan zaman tradisional. Sangat menarik.
Kami menyempatkan berfoto bersama
di ruangan penyimpanan ini. Pukul 14.48 WIB, kami kembali ke aula. Panitia membagikan
dua lembar kertas untuk menuliskan rencana masing-masing kami usai mengikuti
kegiatan ini. Kemudian, penentuan terbaik penulisan baik dari kelompok cerpen
maupun dari kelompok puisi. Dari kelompok cerpen terpilih 3 terbaik, yaitu Vika,
Kak Putry, dan saya (saya tak menyangka akan menjadi salah satu diantara
mereka).
Sementara dari kelompok puisi ada 6
pemenang. Harapan III dengan judul puisi ‘Khalayak Negeri Tua’, harapan II ‘Mahligai’,
harapan I ‘Minang Maimbau’, Juara III ‘Pagaruyung 2006’, juara II ‘Sansaro
Pukek Mambao Rabah’, dan juara I ‘Tangguk Kemenangan’.
Usai pengumuman terbaik, dilanjutkan
dengan agenda pembentukan komunitas. Karena selama ini, belum ada komunitas
sastra di Tanah Datar. Dialog tentang nama komunitaspun dimulai. Banyak nama
yang bermunculan, seperti kampung sastra, komunitas langit, kertas, dan lembar.
Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya terpilihlah ‘lembar’ sebagai nama
komunitas.
Menurut Om Gus Tf Sakai, lembar
memiliki filosofi yang dalam, dari skeptik menjadi holistik. Ke depannya, Om
Gus berharap komunitas lembar tak hanya tentang sastra, tapi lebih universal,
termasuk seni. Pak De Tri pun menuai harap agar komunitas lembar menjadi maju dan menantang semua harapan. Ya, harapan lembar tertumpang pada kami
selanjutnya. Hari semakin sore, kamipun berfoto bersama. Selama 3 hari
mengikuti workshop ini, banyak pengalaman berharga dan ilmu yang telah saya
dapatkan.
Sahari Ramadhani, salah seorang
peserta dari kelompok cerpen mengungkapkan perasaannya selama mengikuti acara
ini, “enak bertemu dengan orang-orang besar, makanya kita harus besar pula.
Tapi kalau sudah besar jangan pula tak mau berteman dengan orang-orang kecil,”
ungkapnya. (*)
Komentar
Posting Komentar