Ihkwan Penjaga Warnet Itu...
Tugas
kuliah semakin menumpuk. Planning ku
siang ini adalah mencari tugas ke fresh
net. Sebenarnya ada warnet yang lebih dekat dari kos tapi lola alias loading lama. Usai makan siang, ku sambar jelbab pink mini dibelakang pintu kos. Ku
sarungkan asal. Aku berangkat ke fresh
net.
Pandangan
ku menyapu ruangan warnet. Penuh. Satu komputer ada yang digunakan dua orang.
Mungkin mereka sahabat. Aku hendak beranjak pergi ketika seseorakang berdiri
dan menuju meja operator untuk membayar. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya
ada juga yang kosong. Komputer nomor 13. paling sudut.
Setelah
log in aku segera berselancar dengan google. Mencari tugas yang diberikan Pak
Dul minggu lalu. Bicara tentang Pak Dul sangat menakutkan kecuali kumis ala Jojon-nya.
Yap , akhirnya tugas itu kudapatkan. Masih ada
waktu, kubuka facebook. Hanya
mengkonfirmasi beberapa permintaan pertemanan dan update status. Tepat dua
jam. Aku segera meng-close situs
jejaring sosial itu
“Berapa
Bang? “Aku bertanya pada operator warnet itu dan mencari-cari uang didalam
tasku.
“Enam
ribu” katanya. Yap , dapat. Uang sepuluh ribuan.
Aku mendongak dan…oh my god. Aku bengong. Penjaga warnet itu
manis sekali. Tampangnya klimis. Skin white. Masih muda. Kupikir umurnya
kira-kira dua puluh satu tahunan. Cukup menunjukkan bahwa ia penuh wibawa. Dan senyum
nya…aku melayang.
Seseorang
tiba-tiba menepuk pundakku.
Ya
ampun…antri ternyata. Aku memberikan uang sepuluh ribu itu dan penjaga warnet
itu memeberikan kembaliannya. Aku segera keluar dari warnet itu. Penjaga warnet
itu masih menari-nari dikepalaku. Eiits, tunggu dulu. Aku merasa ada yang
terlupakan. Sesuatu yang sangat penting. Astaghfirullah…aku
lupa memprint out tugas yang kucari tadi. Padahal tujuan utamaku adalah tugas
itu. Memang benar tugas itu untuk besok siang, tapi mana sempat mencari ulang
besok. Besok pagi ada kuliah dasar-dasar konseling, mata kuliah paling penting
dijurusanku semester ini.
Aku
kembali ke fresh net. Ragu kembali kemeja operator itu. Tapi kumis ala Jojon
Pak Dul ikut serta menari-nari dikepalaku. Membiaskan seketika wajah penjaga
warnet itu. Bismillah…dengan langkah
pasti aku menuju meja operator itu.
“Bang…
bisa nge-print?” Lamat-lamat aku
bersuara. Seperti memohon kupikir. Lebay. Masih sibuk dengan komputer
didepannya penjaga warnet itu menjawab. “Bisa. Mana flesh nya?”
Aku
bingung. flesh? Jangankan punya,
ngerti aja gak. Aku diam. Keki. Kak Ifa, kakak ku bilang bisa nge-print
tanpa flesh. Asalkan disave di dokumen komputer warnet itu. Nah
ini? Aku memang gaptek. Boro-boro punya flesh disk, berbaur dengan komputer,
internet dan sejenisnya baru sekarang ku lakoni. Ketika es-em-a kami memang
belajar komputer. Tapi unit komputer yang tersedia tidak sebanding dengan
jumlah siswa yang ada. Bayangkan…satu unit komputer digunakan oleh empat sampai
lima orang
siswa. Komputer itu digunakan bergantian. Dan aku selalu dapat giliran
terakhir. Baru beberapa menit, bel istirahat berbunyi, pertanda pelajaran
berakhir. Dan selesailah praktekku dalam beberapa menit itu. Sementara untuk
minggu selanjutnya adalah materi baru.
Abang
penjaga warnet itu menatapku. Kemudian tersenyum. Senyumnya seakan
mentertawakanku. Aku pias.
“Bang…gak di flesh. Tadi datanya disimpan di file
computer nomor tiga belas itu. Tadi lupa” Aku menunjuk ke komputer yang ku
maksud. Malu. Wajahku mungkin sudah seperti tomat sekarang.
“Oo..ya
udah. Apa nama file nya?” tidak marah
abang itu ternyata. Mungkin dia tau aku anak baru disini. Hihi…nice and cute sekali penjaga warnet itu.
“Tugas
gaul 1,2,3,” aku semangat.
Mesin
printer bekerja dengan baik. Tugasku
selesai diprint.
“Berapa
Bang?”Tanyaku.
“Hitunglah
sendiri, “ perintahnya. Nah lho? Mau tidak mau aku menghitung tugas itu. Ya
hitung-hitung membantu abang penjaga warnet yang handsome ini. Hehe.
“Sembilan
belas lembar, Bang”.
“Oya?
Kalikan dua ratus lima
puluh.” Lho kog? Tapi ya sudahlah, aku melakukan apa yang disuruh si Abang.
Dikepalaku bergelayutan perkalian. Dua ratus lima puluh dikali sembilan belas. Sembilan
kali nol sama dengan nol. Sembilan kali lima
sama dengan empat puluh lima .
Disisip empat. Sembilan kali dua sama dengan….what? tak sengaja mataku beradu pandang dengan si abang penjaga
warnet itu. Perkalianku buyar. Grogi. Dan penjaga warnet itu tidak berusaha
menyebutkan berapa angka yang harus kubayar. Sial. Aku memang lemah di matematika.
Bahkan nilai matematikaku dari es-de sampai es-em-a tidak pernah lebih dari 6. Enam
adalah angka paling tinggi. Tapi masak iya aku tidak tahu perkalian anak es-de
seperti ini. Aku berharap bisa sehebat Hanif sekarang, kawan es-em-a ku dulu
yang selalu juara umum.
Tet..tet..
Handphone ku bergetar.
Aku kaget. Syukurlah. Ponsel ini menyelamatkanku. Sebuah pesan dari Asty,
sahabatku. Menanyakan apakah tugas yang diberikan Pak Dul itu sudah kucari.
Yah, ini adalah tugas kelompok. Aku ingat sesuatu sekarang. kalkulator! Ini
dia. Kenapa tidak dari tadi sih…Hhe. Aku langsung mengalikan.
“4750,”
kataku.
Orang-orang
memandangku aneh. Hmm… apa suara ku terlalu keras ya. Biar sajalah. Aku
memberikan uang seribu-seribu lima
pada penjaga warnet itu. Ia memberikan kembaliannya. Aku tak berhenti menatap
senyuman abang penjaga warnet itu. So
sweet euuyy. Bahkan sampai dkos pun masih belum bisa kulupakan. Hmmm…
###@###
Kenapa hatiku cenat cenut setiap
ada kamu
Selalu….
U know me soel…
Girl I need u, girl I love u,
girl I heart u…
I know u soel..
Girl I need u, girl I love u,
girl I heart u…
Entah
sudah berapa kali alarm di handphone
ku berbunyi. Selalu saja kumatikan. Abang..eh, ikhwan penjaga warnet itu masih
terbayang-bayang olehku. Ya, kata Kak Ifa penjaga atau operator fresh net itu adalah mahasiswa. Mereaka
adalah anak-anak rohis kampus yang kuliah nyambi
kerja. Hitung-hitung nambah uang saku dan ngeringanin
beban orang tua, begitu kata Kak Ifa mengutip pernyataan salah seorang
temannya yang juga bekerja di fresh net.
Aku salut. Dua jempol, eh empat jempol untuk mereka. Dan aku semakin kagum pada
ikhwan penjaga warnet itu. Inikah yang
dinamakan cenat cenut cinta? Hhii..aku senyum-senyum sendiri. Lebay. Pukul
setengah enam lewat lima .
Kulihat Kak Ifa dari kamar mandi. Senyumku buyar. Ia menyuruhku sholat. Rasanya
masih enggan meninggalkan kasurku yang empuk ini. Kurang dari lima menit aku selesai membereskan tempat
tidur.
Aroma
kegiatan telah tercium dikompleks kos. Setiap kamar kos aktifitasnya berbeda.
Deburan kecil air, berpadu dengan denting-denting piring yang dicuci oleh
tangan-tangan terampil. Plus bunyi desau kain yang beradu dengan brosh, dikombinasikan
dengan bunyi air yang ditimba lengkap dengan nyanyian-nyanyian si empunya
kegiatan. Sungguh sebuah nada yang unik.
Jarum
jam bergerak pelan. Padahal sesungguhnya ia begitu cepat. Maka beruntunglah
orang-orang yang menghargai waktu. Belok sana
belok sini ternyata hari sudah pukul setengah delapan lewat. Pukul delapan
lewat lima-lima ada mata kuliah Dasar-Dasar Konseling. Aku bergegas ke kamar
mandi. Antri. Ada
seseorang didalam. Entah siapa, yang pasti bukan Kak Ifa. Mungkin Kak Dina,
anak kos kamar depan. Ya, dari seluruh kamar kos yang ada di kompleks ini hanya
kamar kami yang memiliki satu kamar mandi untuk dua kamar. Sayang, aku tidak
tahu apa alasan si empunya kos menyatukan kamar mandi ini.
Sambil
menunggu seseorang yang kuduga Kak Dina itu keluar, aku mengirim sms pada Asty.
Simple, minta bareng berangkat kuliah. Sms terkirim. Orang yang kuduga Kak Dina itu
benar-benar Kak Dina ternyata. Ia keluar. Tanpa buang –buang waktu aku segera
masuk kamar mandi. Tak peduli Kak Lila yang sedang menyandang handuk didepan
pintu kamarnya memandangku tanpa kata-kata. Sory
kak. Kita sama-sama telat. Hhe. Byar byur. Selesai.
Asty
tiba di kos ku saat aku sedang memasang jelbab. Ia bersama Amy dan Ai. Dua
sahabatku lainnya. Kos mereka berdekatan jadi
mereka selalu berangkat bareng. Dan kos ku sebelum kos mereka. Jalan ke kampus.
Setiap pergi kuliah mereka pasti menjemputku kekos meski kadang tanpa sms dari ku. Aku selesai memasang
jelbab. Perfecto. Lets go guys. We go to campus. Sepanjang perjalanan
kekampus tak ada hal menarik yang kami bicarakan selain pangeran berbaju biru-nya
Asty. Ya, Asty ternyata diam-diam suka pada kakak firqah-nya ketika marhaban (baca:
ospek). Ia sibuk mencari-cari alamat facebook
sang pangeran. Dan kami juga ikut
membantu. Sayang, sampai sekarang belum bertemu.
A little bit about my friendship. The first, Asty. Aku kenal dia pada mata
kuliah intensif bahasa inggris. Masih awal-awal kuliah waktu itu. Dosen
pengampu mata kuliah itu menugaskan kami membuat sebuah dialog. Dan aku
dipasangkan dengan Asty. Asty orangnya ramah. Tidak sombong. Dan kami cocok.
Jadilah kami bersahabat sampai sekarang. next,
Amy. Dia dari Bengkulu. Aku sering bertanya-tanya tentang bengkulu padanya. dan
juga alasannya memilih kuliah jauh dari orangtua. Amy, dia adalah seorang anak broken home. Masa es-em-pe dan es-em a
dihabiskannya di Padang Panjang. Sekolah jauh dari orang tua adalah sebuah
pilihan yang harus dilakoninya. Ayahnya menghendaki ia menjadi seorang anak
yang mandiri dan tahu agama. Dan Padang Panjang adalah pilihan yang ada difikiran
sang ayah waktu itu. Kalimat inilah yang selalu dikatakan Amy” anak broken home tidak selalu berperilaku
negatif, contohnya aku”. Dan kami selalu memberikan applauss padanya setiap kali ia selesai mengatakan itu. Salut.
Sungguh, ia memiliki motivasi yang begitu kuat dari dalam dirinya. Kupikir ia
pasti akan menjadi orang hebat. Minimal untuk sang ayah.
And the last one, Ai. Tidak bisa
dipungkiri, berasal dari kota
yang sama adalah faktor utama kedekatan kami. Ai menghabiskan masa es-em-a nya
di Padang Panjang. Sama halnya Amy, tapi di sekolah yang berbeda. ia lebih dulu
mengerti bagaimana suka duka anak kos. Berbeda tiga ratus enam puluh derjat
denganku. Aku baru sekarang merasakan bagaimana rasanya kos, jauh dari
orangtua. Untung ada Kak Ifa, kalau tidak sudah bisa dibayangkan aku menangis bombay setiap malam.
Hiks…lebayy.
Tak
terasa ternyata kami tiba dikampus. Kami langsung menuju gedung I 3. lantai
bawah pustaka. Dulu, waktu masih es-em-a ketika libur sekolah aku juga sering
di ajak Kak Ifa kekampus ini. Ketika Kak Ifa kuliah, aku sering keperpustakaan
sendiri. Memanfaatkan komputer pustaka yang sudah menggunakan jaringan
internet. Memang kampusku sudah memiliki hotspot
yang juga bebas di akses mahasiswa sekitar kampus. Dulu ini sangat hebat
menurutku. Ini juga salah satu alasan kenapa aku memilih kuliah disini. Tapi
aku tak pernah menduga ada sebuah lokal dibawah pustaka ini. Ruangannya lumayan
besar. Berkapasitas empat puluh orang mahasiswa kurang lebih.
Teman-teman
sekelasku sudah datang lebih awal. Mereka duduk-duduk didepan kelas. Untunglah
kami tidak terlambat. Tidak lama kemudian datang Bu Hana, dosen pengampu mata
kuliah ini bersama dengan asistennya. kami memasuki ruangan. Dan aku lupa
menceritakan tentang ikhwan penjaga warnet itu kepada sahabat-sahabatku.
Padahal planningku ikhwan penjaga warnet
itu adalah headline news pagi ini.
Bu
Hana membagi kami menjadi sembilan kelompok. Sesuai dengan materi hari ini,
layanan konseling. Sepanjang mata kuliah Bu Hana pikiranku hanya tertuju pada
sang ikhwan. Aku tidak begitu mendengarkan jalannya diskusi. Tidak juga saat
kelompok ku tampil. Beruntung ada kakak-kakak senior semester sembilan yang
mengambil mata kuliah di kelas kami. Mungkin nilainya c, d , atau d sehingga
dia harus mengulang. Sepertinya mereka yang menyelamatkan kelompok ku ini. Thanks bro. kulihat Asty, dia sama
seperti ku. Mungkin dia juga sedang memikirkan pangeran berbaju biru-nya itu.
Hanya Amy dan Ai yang kulihat serius. Ai bahkan mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya didepan kelas. Juga menjawab beberapa pertanyaan. Hebat dia.
Jam
habis. Mata kuliah tiga sks itupun berakhir. Setiap orang seakan ingin mencapai
pintu keluar lebih dulu. Aku membiarkan semua mereka. Tak ingin ikut serta
dalam arus berdesak-desakan itu. Apalah arti seorang mahasiswa jika budaya
antri, hal semudah itu saja tak bisa dilakukan. Pantaslah negara ini tak pernah
besar, karena ternyata orang-orang berpendidikan itu sendiri tak menyadari arti sesuatu yang terlihat
sepele. Aku menarik nafas. Pantas orang-orang seperti gayus tambunan itu
menjamur di negri ini. Lho kog? Aku senyum-senyum sendiri. Apa hubungannya ya
budaya antri dengan gayus tambunan. Hhe.
Ketiga
sahabatku menunggu di luar kelas. topik pembicaraan mereka telah berubah. Kali
ini the hot news adalah kosma (baca:
ketua kelas). aku bahkan tak ada dalam pembicaraan ini. Amy memulai
pembicaraan.
“Gila
juga ya tuh si Hadi. Lagaknya dah kayak anak semester sembilan aja. Hebat. Kapan
ya kita seperti dia.”
“Makanya
belajar semprot Asty.“ Aku mulai mengikuti arah pembicaraan.
“Iya
beneran hebat lho dia. Bayangin aja, bahkan dia dapat pujian dari Bu Hana ckckck.”
Aku tidak tahu soal yang satu ini. Hmm..hebat juga ya dia.
“Ah..gak
kog biasa aja. Lu hebat juga lagi Ai.” Hmm…mending aku memuji sahabatku
sendiri.
Ai
merendah tak suka dipuji. inilah karakter sahabat-sahabatku. Dan aku semakin
salut pada mereka. Tiba-tiba…
“Kosmaku
hebat…kosmaku sayang. Kosmaku hebat kosmaku sayang. “ Amy menynyi-nyanyi.
Suaranya bahkan terdengar olehku yang berada lima langkah dibelakangnya. Bocah edan. Dan
yang terjadi berikutnya sudah bisa ditebak. Lol.
Laughing out load. Dan edannya lagi, Asty ikut-ikutan bernyanyi. Seperti
paduan suara. Dan aku tidak bisa untuk tidak tertawa. Ya, membuat orang tertawa
adalah salah satu kelebihan lain dari mereka.
Aku
baru saja ingin menceritakan tentang ikhwan penjaga warnet itu pada Ai, ketika Ai
memegang tanganku kuat.
“Ada apa sih… “tanyaku.
“I…itu..”
“Itu
itu apaan.”
“Itu
lho, Fi…” aku mengikuti telunjuk Ai. Deg. Jantungku marathon. Itu kan ikhwan penjaga
warnet-ku. Ada
apa ya, Ai menunjuk-nunjuknya. Jangan-jangan…aku ngeri membayangkan Ai juga
suka pada sang ikhwan. Tabuh perang belum selesai dibunyikan, tapi pemenangnya
sudah bisa ditebak. Ya dialah Ai. Ia lebih segala-segalanya dariku. Ia cantik
dan juga pintar. Hiyy..aku bergidik. Semoga bukan ini maksudnya.
Kami
tiba didepan fresh net. Ai mengajak
kewarnet. Sudah lama tidak update
status, katanya. Semua setuju. Aku mungkin yang paling setuju. Hhayy. Melongok
kedalam, beruntung ada empat komputer kosong. Aku memilih sebuah komputer,
komputer nomor tiga belas. Di sudut. Ini strategis. Aku bisa melihat ke
sekeliling ruangan. Bahkan ikhwan penjaga warnet itu berada dalam pengawasanku
sekarang. Aku buka facebook. Online dengan manusia-manusia dunia
maya. Tapi sang ikhwan tetaplah fokus utama. Hmm..kata guru alqur’an hadistku
dulu, ini namanya ghadul bashar. Ya
gimana lagi…begitulah cinta, ia bahkan bisa melangkahi norma agama. Dan
biasanya pada saat seperti inilah pihak ketiga alias syaithon ikut campur pula.
Baru
sebentar mataku beranjak dari sang ikhwan ketika kembali aku sudah tidak
menemukannya lagi. Hmm…kemana ya dia? Aku beralih ke layar facebook. Sebuah pesan baru dari ai.
Sweety
AaYi: aaaaaaaaaaa
Fhy
cute: npa?
Sweety
AaYi: fi…grogi nih
Fhy
cute: ???/
Sweety
AaYi: lihat sini dong. K Comp numb 18.
disamping q…
Aku melongok. Astaga…ternyata ikhwan
penjaga warnet ku menggunakan komputer itu. Aku melihat kemeja operator, sudah
berganti dengan yang lain. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi. Duuh..gusti.
Fhy
cute: JELOUS
Sweety AaYi: hihihi……..
bkan wktu x cnda
Q serius ni,,
grogi banget euuyyy
Ihh…ni anak gak ngerti apa orang serius. Aku gak suka Ai.
Fhy cute: udahan yuuuk
Sweety AaYi: lho kog?
Fhy cute: iy…udahan.
Lupa ya ntar lagi
qta kul sma pak jojon,
ntar telat lho
Dah
jam brpa nih
Sweety AaYi: pak dul kalii…
Iya deh
buk..
Fhy cute: bilang sm asty n amy…keey
Sweety AaYi: siip dah
Fhy cute: ^_^
Aku
segera log out. Dan langsung membayar kemeja operator. Empat ribu
rupiah. Aku menunggu mereka diluar. Setelah mereka selesai, kami langsung ke kampus.
Tidak pulang, karena mata kuliah pak dul sebentar lagi. Di perjalanan kekampus,
ai sibuk bercerita tentang ikhwan penjaga warnet itu. Dan juga tentang
perasaannya. Ai dan asty menanggapi, kadang diselilingi cekikikan. Aku diam.
Kesal. Aku benci Ai. Sekarang, mana mungkin aku ikut-ikutan bercerita tentang
sang ikhwan. Ntar apa tanggapan mereka. Sahabat macam apa aku ini. Sebenarnya
ini juga salahku, seandainya aku yang duluan menceritakan semua itu. Pasti
kejadian nya bukan seperti ini, karena aku tahu siapa Ai. Dia bukanlah tipe
teman makan teman.
Tidak
lama kemudian pelajaran Pak Dul dimulai. Aku tidak bisa konsentrasi. Tiba-tiba Asty
menyikut ku.“Napa? Sakit?”
“Heehh..gak
kog. Ni lagi mikir aja. Bener pa gak ya apa yang dibilang Pak Dul itu”
“Yeee…
“ Asty kembali berkonsentrasi.
Aku
bahkan tidak sadar kalau pelajaran telah berakhir. Sepanjang perjalanan pulang
yang kupikirkan hanya Ai dan ikhwan penjaga warnet itu. Ai, ikhwan. Ai, ikhwan.
Semakin kupikirkan, nama mereka semakin cocok rasanya. Aku makin kesal. Untung
diantara mereka tidak ada yang menyadari itu.
Setiba
dikos aku langsung memburu Kak Ifa dengan ceramah-ceramah tidak jelas. Kak Ifa yang
sedang tidur-tiduran ku buat kaget. Tanpa harus menunggu pertanyaan Kak Ifa,
aku langsung menjelaskan semuanya panjang lebar. Dari A sampai Z. Kak Ifa manggut-manggut.
Tapi ekspresi yang muncul kemudian tak pernah kuduga. Laughing out load.
Nah lho? Bahkan Kak Ifa sampai keluar air matanya. Aku makin kesal. Apanya yang
lucu coba. Sedikit berbela sungkawa kek. Huuh. Menyebalkan.
“Dimana
lucunya ya,” aku tak bisa menyembunyikan kekesalanku.
“Ya
iyalah lucu. Adik ku sayang yang manis yag cantik yang pintar. Gini ya…ikhwan
penjaga warnet mu itu suami orang.”
“Masak
siih” aku kaget sperti kesambar petir. Tapi kemudian aku yang tertawa.
“Hhha…rencananya
sih aku isterinya” aku ikut-ikutan bercanda.
Tapi
ternyata Kak Ifa serius. Ia menceritakan semuanya tentang sang ikhwan. Kak Ifa tahu,
karena mereka seangkatan tapi beda jurusan. Dan isteri ikhwan penjaga warnet ku
itu adalah teman Kak Ifa. Air mataku luruh. Perih. Pantaslah selama ini setiap
kali aku melihatnya dia tidak pernah melihat balik padaku. Aku salah sangka,
ternyata senyumnya yang dulu bukan untuk ku. Tapi untuk kebodohanku. Aku malu.
Bahkan dua ekor murai yang sedang bertengger di atap kos itu seakan
mentertawakanku. Bunyi cicitan mereka terdengar seperti mencemooh ku. Duuh.
Aku
akan menceritakan semua ini pada Ai. Anggap informasi ini sebagai tanda
permintaan maaf ku padanya. Aku menyesal telah membenci Ai, meski itu hanya
dalam diam. Aku berharap semoga hal serupa tidak terjadi pada pangeran berbaju
birunya Asty. Yah…semoga.
Komentar
Posting Komentar