Welsya's Note; Penantian Tak Berujung (Bagian I)
Aku
terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Tapi, aku kaya dengan memiliki dua
ayah dan dua ibu. Orangtua-ku sudah lama bercerai, sewaktu aku masih kecil,
sekitar umur 4 tahun. Ayahku menikah sewaktu aku masih di Taman kanak-kanak.
Sedangkan ibu menikah empat tahun setelah ayah. Semenjak ayah menikah aku tak
pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan aku tak mengenali seperti apa wajah ayah.
Tapi kata ibu dan keluargaku, aku dan ayahku bagikan pinang dibelah dua. Hanya
jenis kelamin yang membedakan kami.
Waktu
begitu cepat berlalu setelah aku
menduduki bangku kelas lima SD. Ada seorang laki-laki yang mencariku ke
sekolah. Aku bertanya-tanya dalam hati siapa orang ini. Berberapa menit
kemudian aku menemukan jawaban yang aku cari. Ternyata sosok laki-laki yang
berada di depanku adalah ayah yang selama ini menghilang bagaikan ditelan bumi.
Aku
bahagia sekali bisa bertemu dengan ayah, walaupun kami tidak bisa berkumpul
dalam satu keluarga. Tapi aku masih bisa untuk bertemu ayah. Ternyata apa yang
dikatakan ibu benar. Aku sangat mirip dengan ayah. Aku memeluk ayah dengan
penuh kehangatan, seakan-akan aku tidak ingin pelukan itu terlepas dariku.
Seiring
berlalunya waktu, aku lulus SD dengan nilai terbaik. Aku melanjutkan sekolah di
sebuah sekolah agama yang tak begitu jauh dari rumah. Sekitar 3 kilometer dari
rumah. Awalnya aku ingin tinggal di asrama. Tapi setelah dijalani, tinggal di asrama tidak mengasyikkan. Jadi, aku minta
izin sama ibu untuk tidak tinggal diasrama lagi. Ibupun memberi izin, akhirnya
aku pergi sekolah pakai sepeda.
Dua tahun pun berlalu begitu cepat seperti roda
sepedaku yang bergulir saatku kayuh. Suatu sore saat libur akhir tahun, aku dikejutkan oleh sebuah berita yang sangat
mengemparkan. Ayah kecelakaan dan dirawat di
rumah sakit. Aku bingung dengan apa akan menjenguk ayah ke rumah sakit, karena rumah sakit itu sangat jauh dari rumah. Sedangkan
ibu tidak ada uang untuk ongkos.
Di tengah kebingungan itu, aku teringat
celengan yang rencananya akan kugunakan untuk keperluan ketika tamat sekolah nanti. Aku kemudian mengambil celengan itu dari
dalam lemari. Hatiku sangat sedih karena celengan itu sangat berharga bagiku,
tapi disisi lain ayahpun sangat berharga bagiku. Aku mengambil pisau dan
mengoyak kaleng plastik tersebut. Isinya cuma dua ratus ribu. Seratus ribu kuberikan pada ibu untuk disimpan sedang yang sisanya kujadikan ongkos dan
biaya lainnya di perjalanan nanti
Ibu
tidak bisa ikut, karena ongkosnya tidak cukup. Aku pergi dengan sepupu ayah dan berangkat pada sore hari. Perjalanan terasa begitu membosankan. Aku tak
sabar lagi ingin melihat ayah. Sekitar jam sepuluh malam aku akhirnya sampai
juga di rumah sakit tempat ayahku dirawat.
Ayah tampak terbaring lemah. Keadaannya belum begitu stabil. Kudengar beliau harus
menjalani operasi; tumitnya harus diamputasi. Aku sangat sedih dengan keadaan ayah saat itu. Yang bisa aku lakukan hanya menangis dan berdoa. Semoga ayahku sabar dan cepat
sebuh dari penyakitnya.
Beberapa
minggu kemudian akhirnya ayah dibolehkan pulang ke rumah. Rumah istri
ayah tidak begitu jauh dari rumahku. Jadi, aku bisa menjeguk ayah kapan saja
aku mau.
Allah
masih mengujiku. Ketika UN SMP, aku termasuk siswa yang belum
beruntung. Aku tidak lulus, aku sangat terpukul dengan semua itu. Bahkan aku
tidak mau sekolah lagi percuma saja sekolah kalau hanya buat kecewa. Ibu sudah
membujukku dengan berbagai cara supaya aku mau sekolah lagi. Tapi, semua itu
sia-sia, karena keputusanku waktu itu tidak berubah.
Akhirnya aku
bertemu dengan kakak angkatku. Kata-katanya sangat pedas, dia memarahiku karena
aku tidak mau sekolah. Ada sebuah kalimat yang terlontar dari mulutnya yang
sampai sekarang masih kuingat; kenapa kita harus berhenti karena tertarung batu
di awal perjalanan padahal perjalanan
masih panjang. Setelah kurenungi kata-katanya itu, akhirnya kuputuskan untuk mengulang kembali di kelas tiga. Tapi, aku tidak ingin sekolah di SMP yang sama.
Berkat
bantuan kepala sekolah di sebuah MTsN aku akhirnya masuk ke sebuah Madrasah Aliyah
dengan mengunakan ijazah paket B. Awalnya aku masih malu karena aku memakai
ijazah paket B. Tapi, lama-kelamaan aku pun berusaha sekuat tenaga kalau aku
bisa seperti teman-temanku yang lain. Disinilah aku mulai mandiri, paling
tidak bisa menambah uang sakuku sendiri. Ternyata mencari uang itu memang
sulit, tidak semudah menampung kepada orang tua.
Tanpa
terasa kini ku sudah menduduki bangku kelas 3 MAN. Beberapa bulan saat
menjalani tugas sebagai siswa kelas tiga, seorang guru melontarkan sebuah pertanyaan padaku; mau kuliah di mana, Nak? Mungkin bagi orang lain itu sebuah pertanyaan yang
biasa saja. Tapi, bagiku itu sebuah pertanyaan yang memukul. Alhamdulillah,
aku memang berprestasi sewaktu di MAN. Tapi, tak pernah terpikir olehku untuk
kuliah. Kareana ibu bilang, kalau aku tamat MAN itu sudah lebih dari
cukup.
Saat itu kuputuskan setelah tamat MAN nanti aku akan mencari kerja. Tapi, takdir
berkehendak lain. Awal semester dua teman-teman mulai sibuk
mengisi formulir mahasiswa undangan. Aku
pun tergiur untuk mengisi undangan itu. Tapi, aku bimbang apakah ibu akan
mengizikanku untuk kuliah. Tanpa pertimbangan yang matang aku mengambil
formulir yang harganya murah dengan perguruan tinggi yang biayanya terjangkau oleh
saku ibuku.
Sesampai di rumah
dengan penuh keraguan aku memberikan kertas itu pada ibu. Aku takut ibu merasa
sedih jika beliau tidak bisa memenuhi keinginannku yaang mendadak ingin kuliah.
Tapi, ibu menyambut keinginanku dengan memberiku motivasi; orang bisa, kenapa
kita tidak.
Aku sangat
bahagia sekali, karena ibu memberiku peluang untuk kuliah. Aku mengisi
formulir itu dengan semangat. Aku mengisi pilihan pertama manajemen informatika
dan pilihan kedua Bimbingan dan Konseling. Sebelum ujian UN, hasil PMDK itu keluar. Aku lulus pada pilihan
kedua. Sekarang aku harus fokus pada UN dulu baru aku memikirkan kuliah lagi.
Ujian
nasional sudah dia ambang pintu. Hari pertama ujian aku sangat khawatir. Aku tak ingin gagallagi di ujian nasional kali ini. Aku melewati ujian dengan keyakinan penuh, sangat optimis. Akhirnya aku menyelesaiakan
dengan baik. Walaupun ada kerikil-kerikil kecil yang menghadang ditengah
perjalananku.
Beberapa
minggu setelah ujian nasional hasilnya pun keluar. Isu yang berkembang, ada 4 orang anak kelas tiga yang tidak lulus UN. Aku sangat
takut, jangan-jangan yang diantara empat orang itu aku salah satu nya.
Alhamdulillah, ternyata aku beruntung. Aku lulus dengan nilai yang memuaskan.
Mataku
berkaca-kaca karena akhirnya aku tamat dengan nilai memuaskan dan bisa juga
mencicipi bangku perkuliahan. Sebelum berangkat ke kampus tujuan, aku memenui ayah
untuk minta izin. Ayah memberi izin, tapi kata ayah, ayah hanya
bisa membantu dengan doa. Itu pun sudah lebih dari cukup bagiku. Ternyata di hari yang sama ayah juga berangkat
dari rumah istrinya, karena mertua ayah tidak menyukai ayah. Ayah sudah
cacat. Aku sangat sedih melihat semua kenyataan itu. Tapi apa dayaku, aku
hanya bisa berdoa semoga ayah bisa sabar menghadapi semua ini. Mulai saat itu aku
bertekad akan menamatkan kuliah dan mencari pekerjaan yang layak. Itu semua agar aku bisa
membantu ayah.
Kampus itu mungil. Tapi, memberikan kesan tersendiri bagiku. Diawal perkuliahan aku bingung karena semua yang ada di sekelilngku baru. Teman baru,
suasana yang baru. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Kata
kebanyakan orang kuliah itu sulit. Tenyata setelah aku jalani tidak begitu
sulit. Awal-awalnya ku memang canggung karena sistem belajarnya yang berbeda dengan ketika aku masih sekolah di MAN dulu.
Tapi,
dengan bergulirnya waktu aku bisa melewatinya. Di sini aku harus bisa lebih
mandiri lagi karena jauh dari orangtua. Terkadang uang yang dikirimkan ibu tidak cukup untuk biayaku di sini.
Aku memililki sedikit
keterampilan menyulam yang aku dapat sewaktu di Aliyah dulu. Jadi aku kembangkan
di sini. Itu pun tidak berjalan dengan mulus, akhirnya dengan bantuan salah
seorang dosen aku pun mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik yaitu mengajar
privat. Sebenarnya ini juga merupakan pekerjaan yang sulit, tapi, aku harus
bisa lalui.
Sekarang libur semester. Libur yang panjang itu kuhabiskan dengan membantu ibu dan mencari uang untuk bayar SPP. Seminggu sebelum libur usai, aku merasa sangat merindukan ayah. Malam harinya, ku hubungi hpnya.
Nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sangat rindu ayah karena sudah enam
bulan tidak bertemu ayah. Terakhir ayah datang kerumah sewaktu aku awal
semester empat.
Aku pun
berniat untuk menengok ayah kerumahnya. Tapi Tuhan berkehendak lain, besok
malamnya hp ibu berdering; pamanku memanggil. Kebetulan hp itu di tanganku. Jadi aku angkat aja
telpon itu. Sebelumnya aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba paman nelpon ke hp ibu, tidak biasanya paman menelpon kami. Paman
berharap ibu yang angkat telpon karena ini berita buruk untukku. Karena aku
yang angkat telponnya, paman dengan suara gemetar bilang padaku kalau ayahku
sudah menghadap ilahi.
Berita itu
membuat sekujur tubuh ini gemetar. Tubuhku lemah tak berdaya. Ku tak tau apa
yang harus ku lakukan. Aku hanya bisa menangis pilu karena ayah yang aku cinta
sudah meninggalkanku untuk selamanya. Impianku untuk membahagiakannya sudah
hancur. Aku belum sempat memberikan kebahagian padanya, beliau sudah pergi. Karena
hari sudah malam jadi aku tidak bisa pergi ke rumah ayah. Karena jalan ke sana
sangat buruk.
Menunggu pagi begitu lama rasanya. Mataku tidak bisa tertidur, akhirnya jam
lima subuh aku di jemput oleh seorang keponakan ayah. Aku sudah tidak sabar untuk
melihat ayah. Sesampai di depan rumah ayah orang sudah ramai. Aku naik ke atas
rumah melihat ayah terbujur di atas kasur yang tak berbentuk dan di selimuti
kain lusuh. Hatiku tambah tersayat melihat keadaan ayah. Seakan-akan ayah tidak
punya siapa-siapa yang merawatnya, padahal ia memiliki istri (Ibu tiriku) dan anak-anaknya. Pun sanak saudara.
Aku duduk di sudut rumah itu menangis pilu. Kematian ayah membuatku sangat terpukul. ***
OK ...
BalasHapus