Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Welsya's Note; Penantian Tak Berujung (Bagian I)

       Aku terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Tapi, aku kaya dengan memiliki dua ayah dan dua ibu. Orangtua-ku sudah lama bercerai, sewaktu aku masih kecil, sekitar umur 4 tahun. Ayahku menikah sewaktu aku masih di Taman kanak-kanak. Sedangkan ibu menikah empat tahun setelah ayah. Semenjak ayah menikah aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan aku tak mengenali seperti apa wajah ayah. Tapi kata ibu dan keluargaku, aku dan ayahku bagikan pinang dibelah dua. Hanya jenis kelamin yang membedakan kami.   Waktu begitu cepat berlalu setelah   aku menduduki bangku kelas lima SD. Ada seorang laki-laki yang mencariku ke sekolah. Aku bertanya-tanya dalam hati siapa orang ini. Berberapa menit kemudian aku menemukan jawaban yang aku cari. Ternyata sosok laki-laki yang berada di depanku adalah ayah yang selama ini menghilang bagaikan ditelan bumi.   Aku bahagia sekali bisa bertemu dengan ayah, walaupun kami tidak bisa berkumpul dalam satu keluarga. Tapi aku masih bisa untuk bertemu

Nikah Sambil Kuliah?

Apa yang anda pikirkan jika seseorang melontarkan pernyataan,   menikah sambil kuliah?   Wow, pasti tidak ada seorangpun yang menginginkan   - terutama sekali mahasiswa wanita (baca: mahasiswi) -   ataupun sekedar mambayangkan hal itu terjadi pada mereka.   Banyak alasan yang mereka kemukakan. Diantaranya adalah belum siap,   takut mengganggu kuliah, dan masih ingin menikmati masa-masa remaja.       Dampak psikologis yang sangat besar dirasakan oleh mahasiswa wanita. Sebagai contoh bunga (nama samaran), mahasiswi semester   tiga jurusan tarbiyah. Ia memutuskan mengakhiri masa lajangnya karena faktor ekonomi, dengan catatan sang suami membiayai kuliahnya sampai selesai. Menurut sahabatnya beban psikologis jelas terlihat pada bunga. Meski tidak sampai mengganggu tugas-tugas kuliah, sahabatnya merasakan perbedaan pada diri bunga.   Seperti sering membicarakan hal-yang tidak penting, dan badan terlihat lebih kurus.   Selain itu bunga terlihat sangat sensitif, dan sering merasa ti

Ravi's Note; Ya, Aku Bisa! (Bagian I)

TK dan Sambalado Panggang Bada Malam itu aku tidur di rumah Etek [1] . Sudah dua hari aku tidak ke rumah Etek. Etek adalah adik Amak [2] satu-satunya. Amak hanya bertiga bersaudara, yang tua biasa kupanggil Mak Adang . Karena selalu memanggilnya dengan sebutan itu aku bahkan sampai lupa siapa nama Mak Adang yang sebenarnya. Beliau tinggal di kampung isterinya. Lima kilometer dari sini. Meski Amak dan Etek sama-sama tinggal di kampung, tapi nasib mereka sangat jauh berbeda. Bagaikan bumi dan langit saja. Rumah Etek terbuat dari beton, besar. Ada empat buah kamarnya. Sudah pula pakai listrik. Sedang rumah Amak kecil. Rumah papan berjenjang. Belum ada listrik.   Rumahku dan rumah Etek tidak jauh. Sesungguhnya hanya bukit kecil ini sajalah yang membatasi kami. Rumah Etek di bagian puncak dan rumahku di bagian lembah. Rumahku adalah satu-satunya yang terlihat dari bawah sana. Orang-orang kampungku biasa menyebut lembah itu dengan sebutan Pasia. Karena dulu di lembah itu banyak